Makromikro Kosmos Freeport

Minggu, 15 Juli 2018 | 07:06 WIB
0
611
Makromikro Kosmos Freeport

Perusahaan Freeport akhirnya dikuasai mayoritas sahamnya oleh bangsa Indonesia. Melalui PT Inalum, kepemilikan Indonesia terhadap tambang emas dan tembaga terbesar di dunia ini mencapai 51%.

Jika ditilik perjalanannya, sungguh sangat panjang dan melelahkan perjuangan untuk mendapatkan kepemilikan mayoritas ini.

Pada suatu kurun waktu tertentu sejak ia resmi beroperasi pada tahun 1967, Freeport adalah belanga jarahan para pemilik kuasa. Ya kuasa politik, ya kuasa ekonomi. Mereka berebut remah-remah dari pekerjaan-pekerjaan yang muncul dari penambangan ini.

Tapi jangan remehkan yang kita kira remah-remah ini. Remah-remahnya perusahaan raksasa seperti Freeport, dalam skala bisnis, tentu saja bisa menjadi bongkahan besar bagi siapa saja. Semua didistribusikan dalam ruang gelap, yang tak mudah untuk ditengok atau diintip publik. Jangankan publik, pebisnis lain yang tak berkepentingan pun pasti kesulitan.

Skala bisnis yang dihadirkan oleh usaha penambangan Freeport ini memang membikin ngiler siapa saja. Ia mengombinasikan setidaknya tiga tingkat tantangan besar, yang membuat nilai bisnisnya menjadi berlipat-lipat.

Tantangan pertama adalah lokasi yang terpencil. Tantangan berikutnya adalah faktor gangguan dan risiko keamanan, dan yang terakhir adalah skala atau volume.

Yang sekilas remeh tapi mendasar misalnya, urusan penyediaan makan. Omset perusahaan katering yang menyuplai makanan untuk para karyawan Freeport, baik yang bekerja di kantor ataupun di area tambang, keuntungannya –sekali lagi keuntungannya—mencapai miliaran rupiah setiap bulan.

Yang lebih serius urusannya, misalnya soal bahan peledak untuk menghancurkan bahan baku tambang. Itu bisnis yang nilainya juga miliaran. Sudah pasti triliunan jika waktunya berjangka lama. Urusan transportasinya, juga pasti miliaran.

Ketika Presiden Jokowi menetapkan target untuk memperjuangkan kepemilikan saham Indonesia Freeport lebih besar, kala itu target tersebut dianggap cuma janji besar atau omong kosong.

Bisa dibayangkan, Freeport itu memulai beroperasi di Tembagapura Papua sejak tahun 1967, dan sampai dengan setengah abad kemudian sudah menggurita ke mana-mana. Apa yang dimaui Freeport selalu bisa didapat, karena ia ditopang penuh oleh kekuatan senjata dan kuasa politik. Siapa yang bisa dan berani mengusiknya?

Ketika target Jokowi itu sudah dalam genggaman melalui perjuangan para menterinya, perlawanan terhadap kepemilikan baru pun juga tak hilang.

Orang-orang yang mulai terusik ini bilang, deposit emas di Papua tinggal sedikit. Datanya dari mana? Dari kebencian. Benci karena apa? Benci karena urusannya diusik, kepentingannya diganggu oleh Jokowi yang membawa kepentingan lebih besar buat negerinya.

Orang-orang yang lain bilang, rakyat Indonesia itu sekarang dikadali oleh pemilik lama karena harga pembelian sahamnya terlalu mahal. Sumbernya dari mana? Lagi-lagi, maaf, dari kebencian.

Lalu ada lagi yang mencibir, dulu Freeport itu merampok kekayaan Indonesia, dan sekarang kita mengusirnya dengan uang? Sumber cibiran itu sumbernya apa? Masih sama. Kebencian!

Lalu ada lagi yang menulis, kepemilikan saham Indonesia menjadi 51% itu adalah tipu-tipu. Tulisan itu datangnya dari mana? Ya sudah pasti dari kebencian!

Lalu, kebencian datang dari mana? Dari dalam hati, tentu saja.

Hati adalah urusan mikrokosmos setiap manusia. Sampai detik ini, kita tak dapat mengukur atau mengetahui apa isi hati setiap manusia lain. Bahkan manusia yang memilikinya sendiri pun, kadang tak tahu bagaimana hati dan emosinya bekerja.

Yang dapat diukur hanyalah ketika isi hati sudah tumpah melalui pikiran dan mulut, melalui tulisan. Maka yang bisa dilakukan hanyalah menakarnya, menerkanya, dari yang sudah muntah atau dimuntahkan keluar melalui mulut.

Tambang di perut bumi pun mirip dengan hati. Tapi ini urusan makrokosmos, bukan mikro lagi. Kita sebenarnya tidak tahu persis berapa jumlah yang tepat dari emas, tembaga, dan logam lain yang ada di perut bumi kita. Yang bisa dilakukan hanyalah memperkirakannya. Dengan apa? Ya dengan teknologi. Dengan akal budi. Dengan pikiran sehat.

Begitulah jagad makrokosmos dan mikrokosmos, bekerja dalam rupa dan irama yang kongruen. Ilmu pengetahuan sudah bisa menjelajah segala hal yang ada di luar bumi. Bintang berjarak ribuan kilometer, galaksi berjarak miliaran kilometer pun, manusia sudah bisa mengetahuinya dengan persis. Bahkan, sebuah benda yang jaraknya harus diukur dalam satuan tahun kecepatan cahaya pun, manusia bisa menemukannya. Setidaknya bisa mengidentifikasi, lalu menamainya.

Namun apa yang sesungguhnya ada di dalam inti dan perut bumi, manusia masih belum benar-benar bisa menjangkaunya. Padahal jaraknya mungkin hanya berkilo-kilometer saja dari tempat ia berpijak di permukaan bumi.

Gempa misalnya, tidak pernah bisa diprediksi oleh manusia kapan akan terjadi dan di mana, sekalipun sebab-sebab gempanya sudah dapat dianalisis dan diduga. Semuanya bersifat dugaan.

Tentang lempeng-lempeng bumi, nalar pikiran dan pengetahuan manusia juga sudah berhasil memetakannya. Juga menamainya. Tapi jauh lebih dalam dari lempeng itu, manusia masih terus mencari dan menemukan polanya.

Jepang sekarang ini tengah mengembangkan riset untuk menggali apa sesungguhnya isi perut bumi dan apa yang terjadi di dalamnya. Para ilmuwan yang terlibat dalam riset itu menggali sampai di kedalaman bumi yang paling dalam di 3 tempat permukaan bumi ini. Salah satunya di Hawai, Amerika Serikat. Satu lagi di sebuah negeri di kawasan Amerika Latin. Sisanya lupa, karena ingatan di kepala saya ternyata telah berkhianat.

Orang Jepang ingin mendapatkan kepastian atau penjelasan lebih ilmiah, senyawa dan barang-barang apa saja yang ada dalam inti perut bumi. Apa gunanya? Untuk memprediksi dan mempelajari lebih jauh ilmu gempa yang menghajar negeri itu bertubi-tubi.

Satu titik jagat makro di perut bumi akan dinilai berharga dari apa yang terkandung di dalamnya. Dari kadar benda dan senyawa di dalamnya. Papua itu jadi tempat yang berharga dan bernilai karena Freeport tahu ada barang dan benda-benda berharga di dalamnya. Orang sudah merasakannya, sudah menikmatinya. Bertahun-tahun. Bahkan berpuluh-puluh tahun.

Lalu dari mana manusia di jagat mikro akan dinilai harga dan martabatnya? Ya sama saja. Dari isi di dalam hatinya, isi di dalam pikirannya. Dari hati dan pikiran yang sudah dinyatakannya. Lha kalau isinya yang terlihat di permukaan cuma kebencian, kebencian, dan kebencian?

Tidak ada analogi yang tepat isi perut bumi untuk menggambarkan hati manusia yang dipenuhi oleh timbunan kebencian semacam ini. Bahkan buangan tahi dalam tampungan perut bumi yang disedot lagi ke permukaan pun masih bisa berguna untuk merabuk tanah.

Sementara hati yang dipenuhi kebencian yang termuntahkan ke udara, bahkan bisa melukai diri mereka sendiri.

***