Jembatan Surabaya – Madura alias Suramadu sudah terbangun. Sekarang ini tinggal rencana industrialisasi Madura yang hingga ini belum terealisasi juga. Sebelum bicara industrialisasi Madura, sebaiknya tinjau dulu historisnya.
Bagaimana sebenarnya awal munculnya gagasan tersebut. Mengapa Madura dijadikan target industrialisasi oleh Pemerintah Pusat (baca: Presiden Soeharto)? Adakah industrialisasi ada katannya dengan Jembatan Suramadu?
Madura adalah nama sebuah pulau yang terletak di sebelah timur Jawa Timur (Jatim) yang dipisahkan dari Jawa oleh Selat Madura. Secara administratif, pulau itu termasuk bagian tidak terpisahkan dari provinsi Jatim.
Walaupun secara geografis pulau tersebut sangat dekat dengan Pulau Jawa, tapi nasib Madura kurang beruntung. Sebab, secara ekonomi, pulau ini tertingal sangat jauh dibadingkan dengan Jawa yang hanya dipisahkan sebuah selat kecil yang jaraknya sekitar 5 km saja.
Kondisi alam Mdura termasuk minus, sehingga menjadikan revolusi hijau dan revolusi biru yang terjadi di Jawa tidak berlangsung di Madura. Keadaan ini memaksa penduduk Madura banyak bermigrasi keluar daerahnya. Bahkan sampai keluar negeri.
Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, hingga Timur Tengah, menjadi daerah tujuannya. Fakta juga menunjukkan bahwa selama kurun waktu lebih dari 50 tahun menjadi bagian dari Provinsi Jatim, pembangunan di Madura dinilai jauh tertinggal dari daerah lainnya di Jatim
Mobilitas masyarakat Madura yang tinggi tentu membutuhkan infrastruktur transportasi yang memadai dalam rangka untuk mengoptimalkan segala potensi SDA di Madura. Selama ini transportasi dari Madura ke Jawa hanya mengandalkan angkutan Ferry.
Kala itu, jumlah kapal Ferry-nya tak lebih dari 14 unit kapal dengan jadwal operasional yang membutuhkan waktu 1 hingga 1,5 jam. Waktu itu belum termasuk untuk antrian yang cukup panjang, baik dari sisi Ujung (di Surabaya) maupun sisi Kamal (Madura).
Sehingga, peningkatan arus angkutan yang setiap tahunnya 6,38% untuk roda empat menjadi sangat tidak memadai untuk dilayani hanya dengan kondisi seperti yang terjadi saat itu. Inilah yang akhirnya mendorong dibangunnya jembatan.
Keinginan masyarakat Madura akan adanya jJembatan Suramadu, pada awal 1991 tak hanya sekedar isu dan isapan jempol semata. Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden RI Nomor 55 Tahun 1990 pada 14 Desember 1990, memutuskan membangun jembatan.
Jembatan Suramadu tersebut dibangun dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian Madura pada khususnya dan provinsi Jatim pada umumnya dengan cara memperlancar arus transportasi dari Surabaya ke Madura.
Dengan ditetapkannya Keppres itu akan bisa mengatasi salah satu kendala kegiatan, yaitu aksebilitas dan sekaligus bisa merealisasikan posisi geografis Madura yang kedudukannya berdekatan dengan Surabaya yang menjadi salah satu potensi Madura untuk mengembangkan perekonomiannya.
Menurut Keppres tersebut, supaya diperoleh nilai ekonomis, maka pembangunan Jembatan Suramadu sekaligus dimaksudkan sebagai sarana untuk memacu perluasan kawasan industri dan perumahan di Surabaya dan Madura.
Pembangunan ketiga proyek tersebut diharapkan bisa mendorong kegiatan sosial ekonomi di Madura yang hingga kini dirasakan belum banyak tersentuh dinamika pembangunan selain akan menampung perkembangan sosial ekonomi di Surabaya yang dirasakan semakin padat.
Dengan demikian, kegiatan ekonomi masyarakat yang dititik-beratkan pada bidang agraris ekstraktif, yang tidak banyak menjanjikan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat yang disebabkan kondisi SDA dan prasarana sarana yang tidak mendukung.
Sehingga, dengan melalui proses industrialisasi diharapkan akan memacu perkembangan dan pertumbuhan ekonomi masyarakatnya dan mampu menampung pengalihan pemanfaatkan sumber daya produktif setempat dari sektor kegiatan ekonomi yang kurang atau tak produktif.
[caption id="" align="alignleft" width="363"] Mohammad Noer (alm)[/caption]
Gagasan pembangunan Jembatan Suramadu sebenarnya telah dilontarkan pada 1950 saat Pak Noer masih menjabat Patih di Bangkalan, tetapi ide tersebut belum bisa direalisasikan karena terbentur masalah dana. Namun dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 55 Tahun 1990, ide Pak Noer yang sempat tersimpan selama 40 tahun lamanya itu segera terealisasi.
Yang istimewa dengan Keppres itu, selain Pak Noer sebagai anggota Tim Pengarah yang diketuai Menristek/Ketua BPPT (saat itu) BJ Habibie, juga mengangkat Pak Noer sebagai koordinator proyek.
Kemudian dengan Keputusan Menristek/Ketua BPPT Nomor 283/M/BPPT/VI/1991, PT Dhipa Madura Perdana (DMP) ditetapkan sebagai pelaksana proyek pembangunan Jembatan Suramadu dan pengembangan kasawan industri dan kawasan perumahan.
Sebagai pelaksana proyeknya, PT DMP yang didirikan Pak Noer pada 3 Mei 1989 bersama Taipan William Soerjadjaja dan Edward Soerjadjaja (Summa Group) menyarankan kepada Pemda Bangkalan untuk segera menyiapkan tata ruang Kabupaten Bangkalan.
Kawasan industri yang akan dibangun di Madura dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama, meliputi 15 ribu ha bagian selatan Bangkalan di sekitar ujung jembatan sisi Madura, untuk clean industry, yaitu industri elektronik yang non polutif.
Tahap kedua, di bagian utara Bangkalan seluas 8 ribu ha untuk heavy industry, di sini juga akan dibangun Pelabuhan Samudera. Namun, untuk merealisakan pembangunan jembatan lintas selat pertama di Indonesia dan kawasan industrinya itu dibutuhkan biaya besar.
Dengan bentang jembatan sekitar 5,6 km dengan kawasan industrinya itu diperkirakan akan menelan investasi Rp 5 triliun (pada 2000) saat itu dihadapkan pada persoalan yang cukup dilematis, karena ada perbedaan pandangan tentang kebijakan kawasan industri di Madura.
Semula masyarakat Madura mengira jembatan Suramadu akan dibangun semata-mata untuk memperlancar arus transportasi. Tetapi, melalui Keppres 55 Tahun 1990 Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Jembatan Suramadu dan kawasan industri dijadikan satu paket. Artinya, tanpa industrialisasi tidak ada jembatan.
Keputusan pemerintah tersebut didasarkan pada perhitungan ekonomi. Investor yang akan membangun jembatan tersebut tentu keberatan bila modalnya tidak segera kembali. Salah satu alternatif yang bisa dilakukan adalah membangun kawasan industri itu.
Sesuai dengan Keppres 55 Tahun 1990, di daerah sekitar jembatan tersebut menjadi kawasan industri. Keuntungan diperoleh karena dengan adanya industri tersebut tentu lebih cepat dan lebih besar daripada hanya mengharapkan keuntungan dan pajak penggunaan jembatan.
Ada beberapa pandangan yang mendasar dalam konteks ini. Pertama, sebagian ulama Madura yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU) Bangkalan dan Basra merasa keberatan atas rencana ini.
Menurutnya, masyarakat Madura sangat mengharapkan dibangunnya Jembatan Suramadu, namun bila pembangunannya tanpa industrialisasi, harus dipertanyakan industrialisasi yang bagaimana yang pantas untuk Madura, tidak seperti orang membeli kucing dalam karung.
Para ulama itu mengingatkan bahwa Madura sebagai sebuah daerah yang masyarakatnya sangat kental dengan tradisi Islam (tradisional). Bila industri yang masuk ke Madura sama saja dengan daerah lain.
Ulama Madura khawatir kebudayaan baru itu akan merusak budaya Islam di daerah Madura ini. Sebagai penjaga dan pelestari budaya, ulama Madura merasa bertanggung-jawab atas kelangsungan Islam di bumi Madura.
Almarhum Abdul Latief Algaff dan Harun Al Rasyid, aktivis yang ikut membidani lahirnya Badan Silaturahmi Ulama Madura (Basra) yang dekat dengan ulama dan pondok pesantren di Madura, tentu saja tak bisa tinggal diam melihat kekhawatiran tersebut.
Awalnya, memang sebagian ulama ini khawatir bila industri jadi masuk ke Madura. Bersama Pak Noer, keduanya berusaha masuk ke ponpes yang diasuh para ulama ternama di Madura. Dan, berhasil! Jembatan Suramadu sudah terbangun, tapi industrialisasi belum terealisasi.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews