Juara Dunia Lalu Muhammad Zohri dan "Maqom"-nya

Kamis, 12 Juli 2018 | 20:03 WIB
0
648
Juara Dunia Lalu Muhammad Zohri dan "Maqom"-nya

Ketika pagi ini video tentang Lalu Muhammad Zohri dibagikan ribuan orang di group-group dan media sosial, kepala saya langsung menari-nari tentang NTB.

Yang bikin saya semangat, Zohri membuat orang bicara NTB hari ini bukan cuma urusan TGB atau Tuan Guru Bajang. Yang ini memang lagi ramai dibincang orang, dipuji dan dicaci, dengan sudut pandang masing-masing.

Tiba-tiba ada Lalu Zohri. Anak NTB pertama, anak Indonesia pertama, yang berhasil meraih medali emas di sebuah kejuaraan dunia atletik, meski masih dalam level junior. Itu tentu saja membanggakan semua dari kita.

Gara-gara Zohri ini juga, ingatan saya kemudian melayang ke pengalaman beberapa bulan silam soal NTB. Ini soal Tuan Guru juga, yang bukan Bajang melainkan Hasanain.

Beberapa bulan silam, saya ditugaskan membawakan tas dan mengawal pejabat teras ibukota Abetnego Tarigan yang diajak kawan baiknya, Ahmad Sh, untuk bersilaturahmi ke padepokan dan pesantren Tuan Guru Hasanain Juaini di sebuah perbukitan di kawasan Narmada, Nusa Tenggara Barat.

Di padepokan ini, TG Hasanain bercerita tentang mimpi-mimpinya. Dia juga bercerita tentang kegiatan yang tengah berlangsung di pondoknya. Saat itu, ada anak-anak muda dari pelbagai daerah dan ponpes sedang mondok untuk menghafal Quran atau tahfizan.

Tuan Guru lalu bercerita, kawasan yang tengah dikembangkannya ini ia bayangkan sebagai padepokan besar untuk mendidik anak-anak sejak dini. Mendidik apa? Apa saja yang baik-baik dan berguna untuk anak-anak, kata Tuan Guru. Ya olahraga, ya seni, ya pengetahuan, ya kebudayaan dan kesusastraan. Tentu saja juga keagamaan.

Bisa saja padepokan untuk mendidik anak-anak di bidang keolahragaan, tapi dalam benak Tuan Guru, pengasuh juga membekali mereka dengan karakter kepribadian yang kuat, bersandar pada nilai-nilai keagamaan dan budaya tinggi Indonesia.

"Masa kalau anak-anak itu kita latih sejak umur lima, enam, tujuh tahun, dalam sepuluh lima belas tahun kita nggak bisa mencetak juara? Juara provinsi, juara nasional, juara dunia pun bisa!" Begitu Tuan Guru menegaskan optimismenya.

Kawasan padepokan di Narmada itu memang berbukit-bukit. Ada lembah dalam di tepiannya. Udaranya sangat sejuk. Sebagian sudah dihijaukan dengan buah-buahan lokal seperti durian atau manggis atau rambutan.

Setiap orang itu memang punya maqom atau tingkatannya sendiri-sendiri. Dan Kepulauan Nusa Tenggara ini sudah membuktikan di masa silam, menjadi gudang dari banyak atlet lari nasional. Ada Eduardus Nabunome dari timur Nusa Tenggara yang merajai lari jarak jauh selama belasan tahun tidak hanya secara nasional melainkan sampai di kawasan Asia Tenggara.

Saya lalu ingat cerita bagaimana atlet-atlet Kenya itu menjadikan lari sebagai mobilitas vertikal paling prestisius bagi setiap anak dan remaja di Kenya. Lari, bisa menjadi mata pencaharian yang membanggakan, tapi juga menghasilkan uang.

Kejuaraan nasional atletik di negeri itu, sudah menjadi ajang penerawangan para pemandu bakat dari Eropa maupun Amerika mencari bibit-bibit terbaik. Kini, hampir di setiap lomba lari jarak jauh, nama-nama agak asing di telinga selalu menggema. Dan bisa dipastikan itu salah satu atau dua atau semuanya pasti anak Kenya.

Melalui mekanisme itu, ada ribuan, mungkin ratusan ribu, anak-anak Kenya, yang diajak bermimpi dan menempa diri sejak dini. Dari mekanisme ini, Kenya telah mendunia sebagai gudang pelari jarak menengah dan jauh.

Nusa Tenggara mungkin bisa dikembangkan menjadi seperti Kenya. Nabunome dulu, dan Zohri kini sudah membuktikan, potongan fisik anak-anak itu sudah mendukung untuk bisa menjadi pelari hebat. Dan gagasan untuk itu sudah mulai berkeliaran. Tuan Guru bahkan sudah memikirkan dan menyiapkan lahan.

***