Dalam dunia pendidikan di negeri kita terkadang berganti pemerintahan dan menteri pendidikan, maka akan berganti pula kebijakannya. Bukannya bertambah semakin baik dan bermutu dunia pendidikan, tetapi malah semrawut atau banyak menimbulkan kebingungan anak didik atau orang tua wali murid.
Seperti yang terjadi minggu kemarin saat pendaftaran dan minggu ini saat pengumuman anak didik yang baru.
Banyak orang tua wali murid khususnya ibu-ibu yang mengantar mendaftarkan anaknya dibuat kebingungan dan harus memasang wajah sedikit garang dan penuh emosi kepada panitia sekolah karena sistem pendaftaran sekarang memakai sistem zonasi, kavling atau sekat.
Pemerintah atau menteri pendidikan membuat suatu kebijakan untuk jenjang SD, SMP dan SMU memakai sistem zonasi atau kavling. Alasannya,supaya tidak terjadi penumpukan murid-murid di sekolah unggulan atau favorit dan ingin menghapus istilah sekolah unggulan atau favorit supaya terjadi pemerataan murid-murid yang pintar di semua sekolah. Dan supaya lebih dekat dengan rumah.
Tetapi sistem ini lebih banyak menimbulkan masalah baru atau justru menimbulkan praktek-praktek suap supaya anaknya bisa diterima di sekolah yang di inginkan.
Sistem zonasi seakan ingin mengavling atau menyekat supaya murid-murid bersekolah di lokasi lingkungan rumahnya. Hanya di lingkungan satu kecamatan saja. Dan tidak boleh keluar dari zonasi yang telah ditetapkan atau ditentukan. Ini seakan ingin menciptakan semangat kedaerahan atau keistimewaan kepada murid yang dekat dengan sekolah.
Dan sistem zonasi mirip dengan sistem "ombyokan" atau tidak ada standar yang jelas atau seleksi. Pokoknya asal murid itu dekat dengan sekolah, apakah nilainya itu jelek atau bagus atau memenuhi syarat atau tidak, bukan menjadi soal. Dan dalam sistem "ombyokan" ini tentu ada murid yang pinter, setengah pinter atau kurang pinter dan biasa saja.
Bahkan supaya bisa diterima di sekolah tertentu banyak orang tua murid yang memalsukan SKTM atau surat tidak mampu atau miskin, kenapa orang tua murid banyak memalsukan SKTM? Karena dengan melampirkan SKTM akan mendapat prioritas atau akan diterima, karena memang ada aturan yang mengaturnya. Padahal orang tuanya tadi mampu, tetapi mereka menempuh cara itu supaya anaknya diterima di sekolah yang diinginkan.
Dan sistem zonasi atau kavling juga menciptakan murid-murid menjadi tidak mandiri. Lho ko bisa? Murid-murid menjadi tidak mandiri bukan karena tidak ingin mandiri, tetapi sistemnya memaksa murid-murid tidak mandiri.
Anak-anak sekarang yang ingin mendaftarkan sekolah untuk jenjang SMP dan SMU pasti akan melibatkan atau mengajak orang tuanya untuk menemani mereka untuk pendaftaran. Dan orang tua harus meluangkan waktu seharian demi mendaftarkan anak-anaknya.
Padahal dulu, anak-anak yang ingin mencari sekolah atau mendaftar bisa sendiri atau bareng dengan teman-temannya tanpa ditemani orang tuanya, kenapa ini bisa terjadi? Karena sistemnya memang melatih anak untuk bisa mandiri dan sekolah-sekolah menetapkan syarat yang jelas, seperti NEM atau nilai murni atau melalui test. Tidak ada embel-embel zonasi atau kavling.
Sistem zonasi juga menciptakan ada orang tua yang memalsukan Kartu Keluarga karena ingin anaknya diterima di sekolah yang diinginkan.
Dengan sistem zonasi, orang tua yang hidupnya sering berpindah karena tugas negara: seperti TNI, POLRI atau pegawai BUMN atau pegawai swasta dan harus membawa keluarganya di suatu provinsi atau kota, padahal Kartu Keluarganya domisilinya masih di provinsi atau kota yang lama, maka dengan sistem zonasi ini anak tidak bisa masuk sekolah negeri di tempat orang tuanya bertugas. Karena mensyaratkan domisili dengan menunjukkan Kartu Keluarga.
Sekolah-sekolah unggulan atau sekolah favorit adalah termasuk seleksi alamiah, kalau sekolah unggulan dianggap membuat jarak dengan sekolah tidak unggulan, harusnya guru-guru sekolah unggulan di rotasi ke sekolah-sekolah yang bukan unggulan, toh guru-guru itu PNS/ASN.
Yang harus siap dirotasi kapanpun, supaya terjadi pemerataan guru yang berkualitas. Sekalipun sekolah-sekolah unggulan itu memang murid-murid atau bibitnya sendiri sudah unggul, guru-guru hanya tinggal mengarahkan saja.
Apalagi banyak guru-guru yang tidak mau dirotasi dengan alasan jauh dengan keluarga.
Sistem zonasi juga susah diterapkan di luar Jawa seperti Papua, Ambon, atau kalimantan yang jarak sekolah dengan rumah puluhan kilometer tidak sama di pulau Jawa yang jarak rumah dan sekolah dekat-dekat.
Bukankan warga negara Indonesia dari Sabang sampai Merauke boleh memilih sekolah yang mereka inginkan tanpa ada sekat atau zonasi?
Bagaimana kalau saudara-saudara kita dari Papua kalau ingin bersekolah di pulau Jawa? Dengan sistem zonasi hampir tidak mungkin bisa diterima sekolah negeri di Pulau Jawa.
Dengan sistem zonasi ini banyak orang tua murid sebelum pendaftaran dibuka sudah melakukan pendekatan-pendekatan kepada kepala sekolah dan guru, tentu tidak ada yang gratis, ada amplop sebagai imbal balik supaya anaknya bisa diterima. Bahkan kepala sekolah banyak menerima tekanan atau titipan oleh pihak-pihak tertentu supaya anaknya diterima.
Karena sistem zonasi tidak mempunyai standar yang jelas dalam penerimaan siswa didik baru, maka banyak pintu yang dibuka, ada pintu depan, maksudnya pintu resmi, ada pintu samping dan pintu belakang,dua pintu yang terakhir ini sering banyak disalahgunakan. Bahkan di Banten untuk bisa masuk SMU/SMK tertentu harus menyediakan dana 5 juta sampai dengan 15 juta dan ini ada calonya sebagai penghubung kepada oknum guru atau kepala sekolah.
Sistem zonasi juga melatih anak didik tidak berani berkompetisi secara fair karena anak didik yang pinter dengan nilai bagus bisa terpental tidak diterima dengan sistem zonasi atau kavling ini.
Dan dampak lain dari sistem zonasi yaitu banyaknya sekolah-sekolah yang tidak bisa memenuhi kuota atau kekurangan murid.
Mudah-mudahan sistem zonasi ini dievaluasi lagi, jangan-jangan tanpa disadari dunia suap sudah diperkenalkan pada waktu mendaftar sekolah. Namanya orang tua tentu anaknya ingin sekolah sesuai yang diharapkan, apapun akan dilakukan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews