Prof Widi Pratikto: Kejujuran, Tantangan Cendekiawan Masa Depan

Selasa, 10 Juli 2018 | 12:22 WIB
0
1100
Prof Widi Pratikto: Kejujuran, Tantangan Cendekiawan Masa Depan

Tinggal menghitung hari bagi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya untuk menapaki usia 57 tahun. Lebih dari setengah abad mengabdi pada pendidikan nasional, sudah tak terhitung berapa banyak cendekiawan bangsa yang lahir dari kampus perjuangan.

“Menyandang gelar sebagai kaum intelektual, para cendekiawan ITS harus menjadikan nilai-nilai kejujuran sebagai pondasi kehidupan,” ungkap Prof. Ir. Widi Agoes Pratikto, MSc, PhD, Guru Besar Departemen Teknik Kelautan ITS.

Dihubungi melalui konferensi video, pria yang saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF) tersebut memaparkan, saat ini semakin banyak kaum intelektual yang mengesampingkan kejujuran.

“Perilaku jujur itu terlihat sepele, saking sepelenya sering dikesampingkan,” lanjut pria yang akrab disapa Widi ini. Menurut Alumnus Teknik Perkapalan ITS tersebut, banyaknya alumni perguruan tinggi yang menjadi pelaku tindak pidana korupsi adalah salah satu bukti bahwa kaum intelektual tidak bertanggung jawab atas ilmu yang mereka miliki.

“Negara akan menjadi besar jika cendekiawan berperan dan berkontribusi menopang negara, salah satunya dengan mendidik dan mengajarkan soal kebenaran,” tambah Sekretaris Jendral Kementrian Kelautan dan Perikanan RI periode 2006-2009 ini.

Menurut Mahasiswa Teladan ITS pada 1977 ini, kampus adalah wahana untuk menyemaikan kejujuran. “Kampus harus ideal dan mengedepankan kebenaran. Sebagai institusi pendidikan, ITS tak boleh diam melihat berbagai kemungkaran yang terus terjadi di bangsa ini,” ujarnya.

Kaum intelektual juga harus memiliki tujuan hidup yang jelas. Berilmu saja tidaklah cukup untuk menjadi bekal kehidupan. Tujuan hidup yang baik seyogyanya menempatkan kejujuran sebagai hal yang utama.

“Oleh karenanya cendekiawan harus berkata sesuai dengan apa yang ia yakini dan pelajari,” imbuh Widi. Selain itu, Peraih Doktor Honoris Causa Universitas Terengganu Malaysia ini beranggapan kaum intelektual juga tidak boleh serampangan.

“Ketika lulus dari kampus perjuangan, para intelektual muda ini harus paham betul atas ilmu yang mereka pelajari dan tujuan hidup yang mereka yakini,” lanjut Doktor jebolan North Carolina State University Ameria Serikat tersebut.

Untuk itu, pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pengembangan Pendidikan Tinggi Kementrian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi itu membeberkan tugas rumah ITS dalam mewujudkan hal tersebut.

“ITS memiliki tugas besar untuk menciptakan lingkungan yang membuat mahasiswanya terus haus akan ilmu pengetauhan dan berpikiran kedepan,” ucap Sekretaris Jendral Developing 8 Countries (D-8) periode 2010-2012 itu.

Profesor yang telah mengawali karir profesionalnya di ITS sejak 1979 ini meyakini, secara fasilitas fisik ITS telah mumpuni. Malah, ia menyarankan ITS untuk tidak terlalu banyak berinvestasi pada sektor fisik.

“Pada usia 57 tahun ini, seharusnya ITS mulai untuk lebih berkonsentrasi pada sumber daya manusia, penciptaan lingkungan yang baik serta budaya yang positif,” jelas penulis dengan sembilan buku tersebut.

Misalnya, dengan menambah frekuensi dosen tamu dari luar negeri. Penyandang gelar guru besar sejak usia 46 tahun ini beranggapan bahwa dengan semakin seringnya mahasiswa mendapatkan kuliah dari dosen luar negeri, pikiran mereka akan semakin terbuka dan muncul kekhawatiran melihat persaingan yang ada.

“Kekhawatiran adalah ciri orang maju, belajar dari buku atau mendengar materi yang diulang dosen setiap tahunnya tidaklah cukup membuat mahasiswa ITS berpikiran luas dan terbuka,” ungkap pria kelahiran Surakarta tersebut.

Widi melanjutkan, ITS juga harus meningkatkan jumlah kelas bersama lintas departemen. Sebab berdasarkan pengalamannya, interaksi antar disiplin ilmu akan memunculkan sifat bijaksana pada diri intelek.

“Mahasiswa akan sadar betapa kompleksnya masalah dan mengerti bahwa disiplin ilmunya saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah tersebut," urai pria 64 tahun ini. Selain itu, Widi menekankan laboratorium di ITS harus menjadi istana ilmu bagi mahasiswanya.

“Calon intelektual muda harus bersemangat mengeksplorasi ilmu pengetauhan melalui laboratorium, terlebih apabila laboratoriumnya dapat terintregasi satu sama lain,” papar Widi kepada Pepnews.com.

Sebab, di masa yang akan datang tantangan yang dihadapi kaum intelektual saat ini jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya. PBB memprediksi penduduk dunia akan meningkat dari 7,2 miliar hari ini menjadi 8,1 miliar pada 2025 dan mencapai angka 9,6 miliar pada 2050.

“Ledakan populasi penduduk dunia ini memberikan tiga tantangan besar bagi cendekiawan terkait ketahanan pangan, energi dan ketersediaan air bersih,” ujar profesor yang hobinya menulis ini.

Widi berharap, di masa depan tantangan ini dapat dijawab dengan baik oleh ITS dan kaum intelektual. Ayah tiga orang anak ini berpesan, pada usia ke-57 tahun ini ITS harus makin serius menggodok mahasiswanya demi menciptakan kaum intelektual yang berwawasan dan berkepribadian luhur.

“Jika idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki mahasiswa, maka kejujuran dan haus akan ilmu pengetauhan adalah modal bagi kaum intelektual muda,” tegasnya.

Penjaga Negeri Bahari

Prof. Ir. Widi Agoes Pratikto, MSc, PhD adalah Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) ITS. Saat ini ia menjabat Direktur Eksekutif dari Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF) sejak 2014.

Sebelummnya, Widi menjabat sebagai Sekretaris Jenderal dari Developing 8 Countries (D-8). Ia pernah dipercaya menjabat Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil ((KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Republik Indonesia.

Menurut Doctor of Philosophy (PhD) in Civil Engineering (Ocean/Coastal Engineering) dari North Carolina State University, Raleigh, NC – USA, 1992, ini, kekuatan laut tidak berarti tentara dan angkatan perang saja.

“Penguasaan kegiatan ekonomi di wilayah laut dan pulau-pulau kecil lebih menentukan tetap tegak-utuhnya NKRI sebagai negeri bahari,” ujarnya. Sarjana Teknik Perkapalan ITS, 1979, ini sudah menjadi Guru Besar (Profesor) sejak 1 September 1999.

Di tengah kesibukannya, ia tetap rajin menulis artikel, bahan presentasi, diktat kuliah, buku, dan memberikan ceramah di berbagai seminar. Master of Science (MSc) in Civil Engineering (Ocean/Coastal Engineering), diperoleh dari The George Washington University, USA, 1983.

Sebagaimana tujuan terpenting dari seorang kaum cerdik cendekia, Widi, yang beruntung memperoleh kesempatan pencerahan secara akademis hingga jenjang tertinggi, bertekad untuk mengangkat harkat hidup dan martabat masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil supaya menjadi lebih baik.

Menurutnya, kejujuran dan ketulusan, ciri yang juga inheren dalam diri setiap ilmuwan, turut memberi inspirasi untuk membulatkan pilihan filosofi hidup. Ketika tangan kanan melakukan perbuatan yang baik, maka tangan kiri jangan sampai sekali-kali turut mengetahui.

***