Kode Keras untuk Anies ketika Maju ke Gelanggang Pilpres 2019

Selasa, 10 Juli 2018 | 16:00 WIB
0
426

Jogja, kota kecil, tua, tapi menolak keras untuk mulai lapuk ini. Sebenarnya menghasilkan ribuan orang sejenis Anis Baswedan (AB), dengan ciri-ciri dasar yang sama: memulai segala sesuatunya dengan manis, simpatik, dan menarik, tapi berakhir tragik dan memalukan. Karena walau mereka masih tetap punya posisi tinggi, tapi secara "moral, secara kesejatian", mereka telah lama habis.

Ini alasan dasar untuk menjelaskan kenapa "orang-orang sejenis" ini, akan ngotot bertahan atau bahkan mencapai level yang lebih tinggi. Ini menjelaskan juga tidak banyak orang Jogja yang sampai ke level tertinggi, karena sebagian memilih tiarap dan bersahaja untuk tetap dianggap baik.

Menjadi orang baik itu jauh lebih berharga dan bermakna. Karena itu contoh lainnya, tentu saja seniornya dalam berpolitik, Mien Rais (AR), yang makin tua makin membingungkan itu! Karena hanya dengan cara demikian, mereka bisa membuang rasa malu.

Akar dasar orang Jogja itu apa yang disebut "duwe isin, kudu duwe isin" (punya rasa malu, harus punya rasa malu). Sejelek-jelek Pak Harto, sejahat-jahatnya Pak Harto, ketika ia memutuskan mundur: ia betul-betul berdiam diri (minimal demikian adanya tampaknya dari luar), karena ia memiliki rasa malu.

Ia bisa saja melakukan keonaran, kebisingan, dan resek, sebagaimana "anaknya" yang endut itu lakukan setelah ia sepuluh tahun jadi presiden. Tapi Suharto memilih diam: orang lain mengatakan ia menderita dengan sakit tuanya. Orang Jawa bilang ia "seleh, semeleh", menerima dengan pasrah segala kesalahannya. Ia tidak pernah betul-betul dihukum, tapi ia telah menghukum dirinya sendiri "dengan diam-nya", hingga ajal menjemputnya.

Ini mungkin pelajaran yang susah diterima oleh para pembencinya!

Kompas beberapa hari lalu, membuat laporan bahwa tingkat kriminalitas di DKI Jakarta meningkat dalam 6 bulan terakhir. Dalam sebuah razia narkoba, berhasil ditangkap cukup banyak wajah baru. Dan bagian yang paling memprihatinkan adalah usia mereka makin muda, bila sebelumnya berkisar antara 25-30 tahun, bergeser menjadi 18-23 tahun.

Semuda itu mereka sudah mulai jadi bandar shabu dan ganja. Seorang kriminolog UI mensinyalir bahwa realitas ini menunjukkan social disorder yang makin parah.

Apa itu social dis-order? Sederhananya adalah terjadinya keterasingan dalam interaksi sosial, sehingga mereka membutuhkan pelarian-pelarian. Pelarian tersebut bisa saja (yang umum) bergelayut pada agama, bisa pada hobby, komunitas, dan yang paling buruk tentu saja narkoba. Benang merahnya sama: membuat mereka merasa "mabuk" dan memiliki ketergantungan.

Dan jangan salah, dalam pra-kondisi seperti inilah menjadi alasan kelompok fasis masuk dan mulai menancapkan kekuasaannya.

Yang kadang diabaikan, fasisme itu sebenarnya tidak hanya sebagaimana dipahami dalam bentuk-bentuk seperti Nazi di Jerman yang lebih rasis dan nasinalistik, tapi juga bergaya (atau berdasar) agama. Dan fasisme gaya baru inilah yang tampaknya akan semakin menguat di Indonesia. Pemerintah yang demokratis akan dianggap sebagai bentuk pemerintah yang lemah dan gagal memelihara ketertiban sosial.

Dan ketertiban sosial inilah yang tampaknya sengaja dihilangkan di Jakarta. Suatu ke-absurd-an yang luar biasa, saat Asian Games, sebuah perhelatan yang belum tentu 30 tahun sekali terselenggara di sebuah negara, bisa sedemikian diabaikan. Jalanan justru makin kumuh, kali-kali kembali kotor, dan kemacetan nyaris tanpa solusi. Pedagang kaki lima kembali merampok trotoar jalan, ojek dalam segala bentuknya semakin menguasai jalanan.

Padahal, ukuran dasar peradaban modern itu mula-mula dilihat bagaimana masyarakatnya bisa bersikap disiplin dan terhormat di jalanan. Dalam konteks inilah: pasangan Upin-Ipin ini betul-betul cuma mengurusi "interest" masing-masing. Sialnya keduanya sama-sama Amerikanis, yang bolak-balik ke negara itu untuk entah apa yang diperjuangkannya. Sementara kotanya sendiri makin amburadul!

Kasus pohon dan bunga plastik, tampaknya akan selalu tercatat "absurditas" yang menandai makin busuknya birokrasi yang tergadai di kota ini. Kita menganggap ini sebuah "kecelakaan", namun sebenarnya tidak sama sekali.

Begitulah cara gerombolan pencoleng bekerja. Mereka korbankan sebuah pekerjaan kecil agar jadi isue publik dan ramai dipergunjingkan, agar menutupi isue besar yang sebenarnya sedang mereka kerjakan.

Salah satu kelebihan pasangan Gubernur ini adalah mereka punya pembela fanatik, di luar tentu saja kaum ultra-nasionalis, kelompok agama yang fanatik, dan yang gak pernah disebut sebagaimana saya singgung di atas para Amerikanis di segala bidang yang tampak mulai kehilangan peran.

Anies pasti akan ikut gelanggang Pilpres, karena tanpa itu ia akan ambruk (di Jakarta) di tengah jalan. Sandi akan menggantikannya didampingi dari kelompok who do you know. Tentu dengan agenda berupaya keras mengembalikan uang yang sudah banyak keluar dan membayar janji yang telah terucap.

Saya pikir setahun saja, bila ia sabar sudah balik, selebihnya tentu tinggal berhitung untung. Dan yang tersisa adalah Jakarta yang berantakan, dan Indonesia yang ikut tunggang langgang.

Coba lihat saat ia justru bertanya pada warga Jakarta bagaimana ia harusnya mengatasi kemacetan. Tampak bijak tapi sesungguhnya dongok sekali. Itulah contoh ngeles model orang Jogja yang klasik dan tengik. Ciri dasar orang yang telah gagal, bahkan sebelum ia melakukan apa-apa.

Sekali lagi, dari perspektif kampung halaman-nya sendiri: Anis adalah contoh produk gagal dari kota yang selama ini mengedepankan segala hal baik. Dan segala hal yang baik selalu menuntut batas, sedang ia dalam istilah kami "wis kepunjulen" (terlalu jauh, lewat batas). Terlalu banyak meminta, dan akhirnya membuatnya mengambil terlalu banyak.

Sialnya orang seperti ini akan tetap bertahan untuk menularkan rasa sakitnya!

Sakit haus kuasa yang tak terperi...

***