PKS yang Mesti Ditinggalkan dan Kembali kepada Islam Nusantara

Senin, 9 Juli 2018 | 09:02 WIB
0
900

Ring tinju yang semakin panas, lapangan gangsing yang semakin memercikkan api karena gesekan yang sangat kencang, dan ruang kebencian yang semakin menjamur. Itulah bangsa kita, dengan segala kekurangan dan kelebihannya yang katanya berkarakter, beretika, beragama, beradat, dan berlembaga.

Membangun karakter tak bisa dengan hanya berdiam diri di kamar, tidak bisa juga dengan hanya berdiri di atas menara gading, membangun karakter harus melalui proses-proses pahit sejarah manusia,terbentur, terbentur, dan terbentuk.

Indonesia kini telah mengalami benturan-benturan sejarah pahit manusia Indonesia. Bangsa ini terlahir dan terbentuk karena spirit perlawanan, perjuangan (strugle), atas penjajahan dan ketidakadilan kolonialisme dan imperialisme. Lahirlah kesadaran kolektif pada diri-diri anak bangsa masa itu, untuk membangun sama-sama.

Hari ini nampak di hadapan mata telanjang kita, persinggungan antaranak bangsa, gesekan yang tak pernah berhenti, semua itu adalah dampak dari rasialisme yang sama sekali tidak menghendaki terwujudnya kesatuan dan persatuan.

Kita harus meredefinisi sebuah makna kemajuan, selama ini kita memahami bahwa modernitas dengan segala kemajuannya adalah pijakan kita untuk menggantungkan hidup.

Namun ternyata, kemajuan yang kita pijak adalah kemajuan eksternal saja, hanya nampak di kulit luarnya saja, sedangkan fitrah kita, hati kita, eksistensi kita, dikendalikan bagaikan robot oleh kemajuan yang kita puja dan banggakan, bahkan kita menyebutnya sebagai puncak peradaban.

Peradaban kita hari ini hampir diambang kehancuran, kalau kita hanya beranggapan peradaban yang maju itu adalah kemajuan teknologi itu merupakan sebuah paradigma yang picik. Seakan-akan kita menafikan peradaban masa lalu yang sama kemajuannya, bahkan mungkin lebih maju peradaban dahulu dengan sekarang. Bagaimana manusia dahulu membangun Piramida, Borobudur, menjadikan burung sebagai alat komunikasi dan lain sebagainya. Bahkan dalam penelitian termutakhir, teknologi Bangsa Lemuria mampu membuat bahan bakar dari air.

Boleh jadi, manusia dahulu lebih mempunyai kompleksitas arsitektural yang sangat luar biasa, dan ramah terhadap alam dan lingkungan. Sedangkan teknologi manusia saat ini, semuanya menggunakan bahan yang dapat merusak kelestarian alam, seperti besi, minyak bumi, dan lain sebagainya. Bukankah jiwa perusak itu adalah sebuah kemunduran peradaban?

Sudah saatnya manusia modern keluar dari situasi kemodernan dirinya, dan kembali kepada tradisi yang lebih arif. Di sini lah peran NU menggagas sebuah paradigma melawan arus modernisme, yaitu Islam Nusantara. Islam yang bercorak dan berpijak pada akar tradisi.

Kenapa harus Islam Nusantara? Karena modernisme adalah suatu penyakit, bukan fase kemajuan peradaban, dan modernisme itu mematerialisasikan segala sesuatu, namun di sisi lain merindukan adanya agama spiritual yang dapat mengisi kehidupan mereka sebagai eksistensinya.

Eksistensi manusia butuh suatu makna spiritual, dan dunia modern menciptakan sebuah kerinduan pada agama. Oleh karena itu, kita ketahui New age movement adalah semacam campuran yang mana di satu sisi adalah spiritualisme namun di sisi lain juga adalah materialisme, kapitalisme, komersialisme, dan konsumtifisme.

Yang kita alami saat ini, serasa sangat sulit untuk menangani krisis modernisme ini, kecuali diisi oleh agama yang mampu mengantarkan manusia pada makna spiritualitas yang sebenarnya. Oleh sebab itu, ekspresi agama dan budaya yang mampu mencegah krisis modernisme adalah Islam Nusantara.

Kenapa PKS mesti ditinggalkan?

Kita tahu, bahwa NU itu adalah ormas keagamaan sedangkan PKS adalah partai politik, yang sebenarnya PKS adalah partai yang terkoneksi dengan jaringan Islam Transnasional.

Jadi, dahulu kita dibenturkan dengan dua dikotomi yaitu Islam Tradisional dan Islam Modernis, namun rasanya sulit untuk memecah belah bangsa ini, karena keduanya sangat Nasionalis, maka dilahirkan lah PKS, berikut sebagai partai ia juga mempunyai corak keberagamaan yang berbeda dan memegang kantong-kantong dakwah, inilah yang disebut new age, suatu gerakan tarbiyah dari PKS.

Biasanya gerakan New age sangat materialisme (pengayaan material), dan menjadikan agama modal untuk memperkaya status material, seperti yang kita temukan saat ini, PKS selalu melempar isu-isu agama yang sifatnya rasial, karena itulah karakternya, menjual agama sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan, dan kekuasaannya hanya untuk memperkaya status material partai.

Tapi, di sisi lain banyak juga manusia modern yang mendapatkan nutrisi ruhaniah dari gerakan tarbiyah PKS, inilah yang tercampur aduk.

Dan kenapa banyak dari kalangan Islam modernis yang teriris oleh PKS?

Katakanlah Muhammadiyah, dan Persatuan Islam sebuah ormas yang lahir di masa generasi pertama (as-Sabiquna al-Awwaluuna), yang berpemahaman modernis. Mereka mempunyai irisan kesamaan ideologi dengan PKS, dan sebab itu banyak sekali dari kader PKS itu yang berormas Muhammadiyah dan Persatuan Islam.

Sebenarnya, mereka juga dirugikan, bagaimana tidak? Yang seharusnya Muhammadiyah mengisi dan berkiprah di PAN dan kader Persatuan Islam sudah seharusnya di PBB. Ini yang sebenarnya jadi PR utama Muhammadiyah dan PERSIS, menarik lagi seluruh kadernya di PKS untuk berkiprah di partai yang memang mempunyai irisan ideologi yang sama dengan keduanya.

Memang sudah seharusnya meninggalkan PKS. Dalam analisis intelijen, Hasyim Wahid mengatakan PKS adalah mainan baru Amerika, karena corak Islam PKS yang lebih sesuai dengan pasar global. PKS juga suatu kelompok yang mudah memainkan isu rasial, seperti di Timur Tengah, yaitu Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, ISIS, Al-Qaeda, Jabhat al-Nushra dll.

Untuk apa ini semua? Karena Amerika ingin membawa pembaharuan dan pengelolaan ekonomi di negeri kaya minyak dan mineral, dan jika itu berhasil akan merambat ke Asia untuk menguasai negeri yang kaya akan sumber pangan.

Yang jadi pertanyaan, bukankah itu kemunduran dan kehancuran bagi kita? Apakah itu yang dimaksud modernisme dan kemajuan peradaban?

***

Rikal Dikri Muthahhari