GM Sudarta, Separuh Ruh Harian Kompas Itu Telah Tiada

Senin, 2 Juli 2018 | 07:59 WIB
0
780
GM Sudarta, Separuh Ruh Harian Kompas Itu Telah Tiada

Nama lengkapnya Gerardus Mayela Sudarta. Lebih sering disingkat menjadi GM Sudarta saja.

Di kantor ia biasa dipanggil "Mas GM" (baca Ge-eM). Kantor yang saya maksud di sini redaksi Harian Kompas, sebuah kantor berlantai 6 berbentuk kapal feri yang siap berangkat. Sekarang kantor redaksi dan seisinya menyebrang Jalan Palmerah, cuma berganti nomor saja. Pindah menempati gedung baru bernama Menara Kompas, ikon baru kawasan Senayan.

Tidak terlalu akrab saya dengannya, seperlunya saja. Itu sepenuhnya salah saya menempatkan Mas GM sebagai "manusia setengah dewa" di Harian Kompas,  sosok yang terlalu bersinar untuk sekadar didekati. Untuk karikatur berisi kritik sosial politik yang menggelitik, saya menempatkannya sebagai "dewa karikaturis" Indonesia yang belum ada tandingannya di Nusantara ini.

Mengapa saya berani mengkalim bombastis seperti itu? Sebab bagi saya seorang karikaturis itu tidak semata-mata pandai menggambar, jago menciptakan karakter. Kalau ini ukurannya, Mas GM mungkin hanya "debu" di galaksi seniman gambar. Lebih dari itu, karikaturis seperti Mas GM adalah "media up-date" berjalan, yang ke mana pun dia pergi di belakang otaknya tersimpan berbagai peristiwa mutakhir lengkap dengan latar belakangnya.

Bre Redana, rekan wartawan Kompas dalam tulisan obituari untuknya di Harian Kompas edisi Minggu kemarin (Mas GM wafat Sabtu, 30 Juni 2018 di usia 73 tahun) mengutip pandangan wartawan qua karikaturis kelahiran Klaten 20 September 1945  ini, yang kurang dikuasai para karikaturis sekarang adalah pemahaman mengenai latar belakang suatu persoalan.

Artinya, hanya peristiwa yang tampak-mata saja yang ditangkap para karikaturis jaman now, yang bahkan di Harian Kompas sendiri sulit mencari penggantinya. Boleh jadi karena Mas GM tidak punya cukup waktu untuk menularkan ilmunya kepada para karikaturis penggantinya kelak.

Nah, latar belakang, keterkaitan satu peristiwa dengan peristiwa sebelumnya, atau bahkan kemungkinan adanya peristiwa lainnya di masa datang atas peristiwa yang terjadi hari ini, yang dimiliki GM Sudarta sehingga karikatur yang tersaji dalam sosok Oom Pasikom (karakter beken ciptaannya, sosok lelaki dewasa berbaret dan dengan jas bertambal di sikutnya) selalu up-date dengan kekinian. Menggelitik, itu pasti.

Setiap karikatur karyanya selalu ada cantelan (hook) dengan peristiwa kekinian yang terjadi.

Prinsip jurnalistik yang terus ia terapkan dalam bentuk visual yang padat, yang tidak bisa terkatakan dalam komunikasi tulis koran ini karena tekanan penguasa, misalnya, bisa Mas GM katakan dengan lancar, straight, dan tidak harus terbata-bata. Itulah kelebihannya.

Tidak banyak kenangan dengannya selagi saya menjadi wartawan Harian Kompas. Saya kerap berpapasan saja dengan sosok yang untuk Indonesia tinggi besar, berpakaian necis hitam-hitam dengan kacamata yang selalu mencangklong di atas pucuk hidungnya. Tapi sekadar berpapasan saja, say hello. Tidak lebih. Kalau sudah membuka pintu mobil sport dua pintunya, seingat saya ada dua bercat hitam dan merah, Mas GM tampak keren banget. Tampilan seperti itu sah-sah saja di Kompas, menunjukkan bahwa dia mampu membelinya.

Kenangan saya terhadapnya, dan karenanya banyak ngobrolnya, justru saat saya menjadi pustakawan (sebelum jadi wartawan). Lebih banyak saya berinteraksi dengan Mas GM karena keperluannya mencari sumber-sumber informasi. Saat itu yang ada baru klipping Kompas elektronik. Mas GM tidak mencarinya di sana. Ia minta saya menunjukkan di mana ensiklopedi Britannica diletakkan atau bagaimana dia mendapatkan jenis pistol Glock atau peralatan tempur terbaru dari The Jane's Defenceces Weekly.

Sebagai seorang pelayan informasi bagi wartawan kala itu, rentang waktu 1990-1994, saya sudah cukup senang kalau apa yang saya cari untuknya termuat di karikatur Harian Kompas keesokan harinya. Di kurun waktu itu, saya sudah sering menulis di Harian Kompas dengan tema beragam, belum terspesialisasi.

"Saya baca tulisan Mas Pepih di Kompas. Tanggung Mas, jadi wartawan saja," kata Mas GM saat saya bertugas di Pusat Informasi Kompas pada malam hari. Ia membuka-buka ensiklopedia sendiri. Itu terjadi sekitar tahun 1993. Bagi saya, Mas GM salah satu "kompor" yang menguatkan tekad saya untuk menjadi wartawan Kompas, bagaimanapun caranya.

Selain Mas GM, Mas Rudy Badil juga sering mengompori saya jadi wartawan saja. Itu karena saat dia didapuk menjadi Redpel Majalah Intisari kerap dia meminta tulisan berbentuk narasi (storytelling) mengenai hal beragam, mulai teknologi sampai hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh akal seperti keberadaan UFO dan Hujan Ikan.

"Tulisanmu naratif banget, bagus kalau kamu jadi wartawan saja biar tulisan di koran ngga kering," demikian Mas Badil saat saya mengantarkan disket berisi tulisan saya sebesar kuping gajah itu ke redaksi Majalah Intisari.

Kembali ke Mas GM, di awal-awal saya jadi wartawan, rupanya ia juga "berbisnis" dari keterampilannya melukis, beberapa di antaranya lukisan sosok. Kepada istri saya, yang sama-sama bekerja di Harian Kompas di kesekretariatan redaksi, ia sesekali memberi fee jika ada klien yang ingin wajahnya dilukis dengan gaya karikaturis. "Banyak yang pesen," kata istri saya saat saya tanya untuk keperluan menulis catatan ini.

Mas GM memang kerap berpameran di sejumlah tempat, dalam dan luar negeri. Lukisan dan karikaturnya "sell-able", yang membuat kesejahteraan Mas GM sebagai karakaturis maupun wartawan di atas rata-rata. Pernah ia menghadiahi saya sebuah lukisan kecil. Sebesar sampul buku tulis. Bukan karikatur. Saya menyesal, lukisan itu terselip di antara kertas sebelum saya bingkai. Lalu raib sampai sekarang.

Di lantai empat Harian Kompas di mana saya bekerja, saya kenal baik dengan Mbak Ossy, istrinya. Saya memanggilnya Mbak Ossy saja. Tepatnya karena dia baik maka saya mengenalnya. Bayangkan, punya suami beken, kaya, punya dua mobil sport, mengajar di universitas keren di Tokyo, Jepang, tetapi tidak menunjukkan kesombongan sedikitpun. Belakangan saya tahu, ia sosok perempuan yang penyabar. Sabar banget.

Kesabaran yang menjalar saat prahara rumah tangga datang tak terduga. Intinya saya paham kepedihan seorang mbak Ossy yang kala itu sudah ada anak berwajah oriental (sekarang sudah menikah dan punya anak). Suatu waktu Mas GM menggendong salah satu anak lelaki (kembar) ke kantor. Bukan dari istrinya yang saya kenal baik. Bukan Kinara, anak gadisnya yang berwajah oriental itu. Seorang anak lelaki berkulit agak gelap. Peristiwa yang sangat-sangat sensitif di kantor kami.

Selebihnya, saya tidak tahu lagi kisahnya karena keberadaan saya yang terpisah jauh dari Jakarta karena bertugas di wilayah Timur Indonesia. Saya semakin jarang berjumpa dengan Mas GM, juga Mbak Ossy, bahkan setelah saya merapat kembali ke Palmerah tahun 2006, sehabis bertugas di Surabaya, Jawa Timur.

Saya dengar, Mbak Ossy pulalah yang akhirnya menjadi pelabuhan yang selalu siap menanti kehadiran kembali Mas GM di akhir hayatnya.

***