Belajar dari Kegigihan, Kerja Keras dan Pantang Menyerah Khofifah

Senin, 2 Juli 2018 | 22:54 WIB
0
577
Belajar dari Kegigihan, Kerja Keras dan Pantang Menyerah Khofifah

Biasanya seorang yang kalah dalam pilkada, maka ia akan berfikir ulang untuk maju lagi dalam pilkada berikutnya, apalagi yang dilawan sang petahana. Sebagian orang lebih memilih menunggu sampai jabatan sang petahana habis dua periode.

Apalagi biaya pilkada tidak murah dan sangat menguras logistik yang bermilyar-milyar untuk tingkat provinsi. Makanya biasanya pada kapok kalau sudah kalah dan tidak mau mencalonkan lagi.

Tapi rupanya itu tidak berlaku bagi Khofifah Indar Parawansa. Sekalipun ia seorang ibu dan wanita, tetapi ia tetap gigih dan pantang menyerah untuk ingin menjadi seorang kepala daerah di Jawa Timur yang didominasi oleh laki-laki yang menjadi kepala daerah. Ia ingin mengubah atau membuktikan mitos bahwa di Jawa Timur seorang wanita juga bisa menjadi seorang gubernur.

Perasaan sedih, kecewa dan tetesan air mata pernah dialaminya ketika kalah dalam pilkada, dan itu bukan hanya sekali, tetapi dua kali. Untung saja yang ketiga kali,tetesan air mata itu bukan tetesan air mata kesedihan atau rasa kecewa tetapi rasa haru dan bangga karena menang dalam pilkada,yang sudah tiga kali diikuti-nya.

Dulu Gus Ipul selalu gembira dan senang karena setiap pilkada yang diikuti-nya selalu menang dan jabatan sebagai wakil gubernur tetap disandangnya. Sekarang keadaan terbalik atau berubah karena ingin naik jabatan dari wakil gubernur menjadi gubernur, dan untuk yang ketiga ini Gus Ipul ternyata kalah dan tidak jadi gubernur. Tentu perasaan sedih dan kecewa dirasakan oleh Gus Ipul dan ini wajar atau normal.

Khofifah pertama kali mencalonkan diri sebagai calon gubernur di Jawa Timur pada tahun 2008. Itu pun melalui drama politik dulu. Karena pada waktu itu Khofifah yang berpasangan dengan Mudjiono didukung oleh partai PPP saja. Dan tentu dukungan ini kurang dan belum memenuhi syarat. Maka ada partai-partai kecil seperti PNI Marhaen. Ini pun masih menjadi masalah karena ada dua dukungan dan pengurusan ganda.

Dan akhirnya dukungan untuk maju dalam pilkada 2008 memenuhi syarat,dan diikuti oleh lima pasangan calon.

Dan pasangan Soekarwo-Gus Ipul menang, tetapi karena tidak ada yang mendapat 30% suara, maka ada putaran kedua dan pada putaran kedua ini selisih suara antara Soekarwo dan Khofiah sangat tipis. Pasangan Soekawo (50,11%) dan pasangan Khofifah(49,89%). Dan berakhir ke MK, tetapi keputusan MK tetap memenangkan pasangan Soekarwo.

Dan pada tahun 2013 Khofifah maju lagi dalam bursa pilkada Jawa Timur dengan menantang sang petahana, tentu posisi Soekarwo lebih kuat karena sebagai gubernur aktif. Dan Khofifah kalah lagi.

Dan pada tahun 2018 dalam pilkada serentak, Khofifah yang sudah punya jabatan sebagai menteri, ingin maju dalam bursa pilkada Jawa Timur. Ini pun tidak mudah, karena Khofifah pernah dilarang untuk tidak maju sebagai caolon gubernur oleh ketum PKB Cak Imin dengan alasan sama-sama kader NU dan akan memecah suara NU.

Rupanya larangan Cak Imin ini mendapat tanggapan dari Khofifah dan tetap pada pendirian atau keyakinannya akan tetap maju dalam bursa pilkada Jawa Timur.

Inilah sedikit cerita kegigihan, pantang menyerah dan kerja keras Khofifah untuk bisa menjadi gubernur. Dua kali gagal tidak menyurutkan niatnya. Kegagalan atau rasa sedih tidak menjadi penghalang untuk mewujudkan cita-citanya. Ia sudah terbiasa menghadapi kegagalan dalam pilkada dan rasa sedih atau kecewa juga sudah biasa.

Berkat dari sifat pantang menyerah itulah akhirnya menghantarkannya kepada cita-cita yang sudah lama diidam-idamkan yaitu menjadi seorang gubernur wanita. Belum tentu seorang laki-laki bisa seperti Khofifah.

Ini bisa menjadi cermin bagi orang-orang yang gagal dalam pilkada, jangan menyerah dengan kegagalan, asal siap logistiknya dan siap mental. Jangan sampai gara-gara pilkada malah terkena virus mental tempe bongkrek atau berakhir di rumah sakit jiwa.

***