Biasanya seorang yang kalah dalam pilkada, maka ia akan berfikir ulang untuk maju lagi dalam pilkada berikutnya, apalagi yang dilawan sang petahana. Sebagian orang lebih memilih menunggu sampai jabatan sang petahana habis dua periode.
Apalagi biaya pilkada tidak murah dan sangat menguras logistik yang bermilyar-milyar untuk tingkat provinsi. Makanya biasanya pada kapok kalau sudah kalah dan tidak mau mencalonkan lagi.
Tapi rupanya itu tidak berlaku bagi Khofifah Indar Parawansa. Sekalipun ia seorang ibu dan wanita, tetapi ia tetap gigih dan pantang menyerah untuk ingin menjadi seorang kepala daerah di Jawa Timur yang didominasi oleh laki-laki yang menjadi kepala daerah. Ia ingin mengubah atau membuktikan mitos bahwa di Jawa Timur seorang wanita juga bisa menjadi seorang gubernur.
Perasaan sedih, kecewa dan tetesan air mata pernah dialaminya ketika kalah dalam pilkada, dan itu bukan hanya sekali, tetapi dua kali. Untung saja yang ketiga kali,tetesan air mata itu bukan tetesan air mata kesedihan atau rasa kecewa tetapi rasa haru dan bangga karena menang dalam pilkada,yang sudah tiga kali diikuti-nya.
Dulu Gus Ipul selalu gembira dan senang karena setiap pilkada yang diikuti-nya selalu menang dan jabatan sebagai wakil gubernur tetap disandangnya. Sekarang keadaan terbalik atau berubah karena ingin naik jabatan dari wakil gubernur menjadi gubernur, dan untuk yang ketiga ini Gus Ipul ternyata kalah dan tidak jadi gubernur. Tentu perasaan sedih dan kecewa dirasakan oleh Gus Ipul dan ini wajar atau normal.
Khofifah pertama kali mencalonkan diri sebagai calon gubernur di Jawa Timur pada tahun 2008. Itu pun melalui drama politik dulu. Karena pada waktu itu Khofifah yang berpasangan dengan Mudjiono didukung oleh partai PPP saja. Dan tentu dukungan ini kurang dan belum memenuhi syarat. Maka ada partai-partai kecil seperti PNI Marhaen. Ini pun masih menjadi masalah karena ada dua dukungan dan pengurusan ganda.
Dan akhirnya dukungan untuk maju dalam pilkada 2008 memenuhi syarat,dan diikuti oleh lima pasangan calon.
Dan pasangan Soekarwo-Gus Ipul menang, tetapi karena tidak ada yang mendapat 30% suara, maka ada putaran kedua dan pada putaran kedua ini selisih suara antara Soekarwo dan Khofiah sangat tipis. Pasangan Soekawo (50,11%) dan pasangan Khofifah(49,89%). Dan berakhir ke MK, tetapi keputusan MK tetap memenangkan pasangan Soekarwo.
Dan pada tahun 2013 Khofifah maju lagi dalam bursa pilkada Jawa Timur dengan menantang sang petahana, tentu posisi Soekarwo lebih kuat karena sebagai gubernur aktif. Dan Khofifah kalah lagi.
Dan pada tahun 2018 dalam pilkada serentak, Khofifah yang sudah punya jabatan sebagai menteri, ingin maju dalam bursa pilkada Jawa Timur. Ini pun tidak mudah, karena Khofifah pernah dilarang untuk tidak maju sebagai caolon gubernur oleh ketum PKB Cak Imin dengan alasan sama-sama kader NU dan akan memecah suara NU.
Rupanya larangan Cak Imin ini mendapat tanggapan dari Khofifah dan tetap pada pendirian atau keyakinannya akan tetap maju dalam bursa pilkada Jawa Timur.
Inilah sedikit cerita kegigihan, pantang menyerah dan kerja keras Khofifah untuk bisa menjadi gubernur. Dua kali gagal tidak menyurutkan niatnya. Kegagalan atau rasa sedih tidak menjadi penghalang untuk mewujudkan cita-citanya. Ia sudah terbiasa menghadapi kegagalan dalam pilkada dan rasa sedih atau kecewa juga sudah biasa.
Berkat dari sifat pantang menyerah itulah akhirnya menghantarkannya kepada cita-cita yang sudah lama diidam-idamkan yaitu menjadi seorang gubernur wanita. Belum tentu seorang laki-laki bisa seperti Khofifah.
Ini bisa menjadi cermin bagi orang-orang yang gagal dalam pilkada, jangan menyerah dengan kegagalan, asal siap logistiknya dan siap mental. Jangan sampai gara-gara pilkada malah terkena virus mental tempe bongkrek atau berakhir di rumah sakit jiwa.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews