Tak Bisa Hidup Bebas dan Setara, Apakah Negara Masih Kita Perlukan?

Minggu, 1 Juli 2018 | 06:59 WIB
0
636
Tak Bisa Hidup Bebas dan Setara, Apakah Negara Masih Kita Perlukan?

Apakah kita masih memerlukan negara? Ketika negara harus berhutang ribuan trilyun rupiah, guna menggaji para pejabat negara ratusan juta rupiah setiap bulannya, apakah kita masih memerlukan negara? Ketika banyak kepala daerah dan pejabat negara melakukan korupsi terhadap uang rakyat, apakah kita masih memerlukan negara?

Ketika para penegak hukum tunduk pada suap dan hanya membela hak-hak orang kaya dan kelompok mayoritas, apakah kita masih memerlukan negara? Ketika pejabat negara bertindak layaknya raja kecil di jalan raya, dan menindas hak pengguna jalan lainnya, apakah kita masih memerlukan negara?

Ketika para pejabat negara memeluk paham radikal, dan menindas kelompok minoritas, apakah kita masih memerlukan negara? Ketika berbagai institusi pendidikan negeri, yang dibangun dan dipelihara oleh uang rakyat, menjadi sarang kaum radikal, dan melakukan diskriminasi kepada kelompok minoritas, apakah kita masih memerlukan negara?

Pertanyaan ini amatlah mendasar dan penting untuk dijawab. Bagi sebagian orang, ia mungkin terdengar provokatif. Namun, bagi sebagian besar orang, saya yakin, ini adalah pertanyaan yang amat mendesak untuk diajukan. Mari kita telaah lebih dalam.

Sebelum Negara

Sebelum negara, manusia hidup dalam berbagai kemungkinan. Ia tidak memiliki hukum yang mengikat. Tentu ada hukum adat dan hukum moral. Namun, lingkupnya masih amat kecil, dan daya paksanya pun seringkali amat lemah.

Di mata Thomas Hobbes, seorang pemikir politik asal Inggris, sebelum adanya negara, manusia hidup dalam keadaan kacau. Setiap orang hanya mengejar kebebasan dan kenikmatannya masing-masing. Alhasil, konflik terjadi secara berkelanjutan. Ini semua terjadi, sampai setiap orang menyerahkan hak-haknya kepada otoritas politik tertentu (Leviathan) yang akan menciptakan dan menjaga stabilitas sosial.

Pandangan berbeda dikemukakan oleh Jean Jacques Rousseau, seorang pemikir politik asal Perancis. Baginya, justru sebelum adanya negara, manusia hidup dalam kebebasan dan kedamaian. Tidak ada hirarki antarmanusia. Semua orang hidup dalam keadaan bebas dan setara, bagaikan di surga.

Ini semua berubah, ketika negara terbentuk. Seluruh filsafat politik Rousseau ingin menjawab satu pertanyaan berikut, bagaimana manusia bisa hidup dalam sebuah tatanan politik, semacam negara, tetapi bisa tetap bebas dan setara? Rousseau berusaha memberikan pendasaran moral sekaligus filosofis, bahwa hal itu mungkin, dan bahkan harus terjadi. Untuk menjawab pertanyaan itu, ia merumuskan sebuah konsep yang amat penting di dalam kajian politik, yakni konsep kehendak umum (volonté générale).

Kehendak Umum

Kehendak umum adalah kehendak bersama dari seluruh rakyat sebagai kesatuan. Ia menjadi sumber dari segala hukum yang dibuat oleh negara tersebut. Hukum yang didasarkan pada kehendak umum adalah hukum yang sah, yang ditaati oleh semua warga negara dengan kebebasan yang mereka punya. Dengan mematuhi hukum yang didasarkan pada kehendak umum, warga negara juga menjalankan kebebasannya sendiri sebagai pribadi.

Bagaimana proses merumuskan kehendak umum ini? Ada dua jalan yang mungkin. Pertama, kehendak umum ditemukan melalui proses dialog antar warga tentang apa yang menjadi kehendak dan kepentingan bersama. Dua, kehendak umum ditemukan di dalam kehendak terdalam setiap warga melalui proses abstraksi.

Jalan pertama disebut sebagai jalan deliberatif. Sementara, jalan kedua disebut sebagai jalan transendental. Jalan kedua membutuhkan proses abstraksi tentang apa yang sesungguhnya menjadi kehendak terdalam setiap orang. Kehendak terdalam itu lalu menjadi kehendak umum yang diinginkan oleh semua warga.

Kehendak umum sulit ditemukan di dalam dua keadaan. Yang pertama adalah ketika masyarakat menjadi begitu majemuk dalam soal tata nilai dan gaya hidup.

Yang kedua adalah ketika masyarakat hidup dalam ketimpangan sosial ekonomi yang amat tinggi. Dibutuhkan sebuah usaha untuk mengurangi ketimpangan sosial, sekaligus menemukan titik penyatu di antara berbagai kelompok yang berbeda tata nilai, supaya kehendak umum bisa ditemukan.

Bagaimana dengan negara yang memiliki sistem politik demokrasi perwakilan, seperti Indonesia? Rousseau berpendapat, bahwa setiap anggota parlemen, sebagai wakil rakyat, harus memiliki kemampuan untuk melihat masalah dari sudut pandang keseluruhan. Hanya dengan begini, semua kebijakan mereka bisa disepakati dan memiliki dampak bagi keseluruhan masyarakat. Jika keutamaan ini tak dimiliki, maka seorang wakil rakyat harus melepaskan kedudukannya.

Kebebasan

Dasar dari kehendak umum adalah kebebasan setiap manusia. Di dalam negara yang dikelola seturut dengan kehendak umum warganya, setiap warga hidup dalam kebebasan. Inilah kiranya yang disebut Rousseau sebagai “dipaksa untuk bebas”. Ini juga sejalan dengan salah satu kutipan paling terkenal dari tulisan Rousseau, “Manusia dilahirkan bebas, namun di semua tempat ia dirantai.” Dengan kehendak umum sebagai acuan, maka rantai yang membatasi kebebasan itu dianggap sebagai sesuatu yang sah.

Apa pendapat Rousseau soal kebebasan? Baginya, kebebasan adalah kemampuan untuk memilih. Manusia tidak diperbudak oleh dorongan-dorongan instingtualnya. Inilah yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya, sehingga ia mampu merumuskan moralitas, dan bertindak sejalan dengannya.

Dengan kemampuan untuk memilih yang ia punya, manusia juga mampu menunda dorongan-dorongan alamiah yang ada. Walaupun lapar, ia bisa tidak makan. Walaupun lelah, ia bisa tidak tidur. Ini mungkin terjadi, karena manusia memiliki tujuan yang lebih tinggi, daripada sekedar mengikuti dorongan-dorongan alamiahnya.

Lebih jelasnya, Rousseau membagi dua bentuk kebebasan. Yang pertama adalah kebebasan alamiah, yakni kebebasan yang dimiliki manusia untuk bertindak sesuai keinginannya. Kebebasan alamiah tampak jelas di dalam keadaan alamiah manusia, sebelum adanya negara. Di dalam keadaan ini, manusia juga hidup dalam keadaan setara satu sama lain.

Yang kedua adalah kebebasan sipil. Kebebasan ini muncul, ketika manusia hidup dalam negara yang didasarkan pada kehendak umum. Disini, manusia menemukan kebebasan, karena ia mematuhi hukum yang sesuai dengan kehendaknya sendiri. Ia hidup dalam kekangan hukum, namun tetap bebas, karena hukum yang mengikatnya adalah hukum yang dibuatnya sendiri. Kebebasan sipil ini juga melingkupi kebebasan moral dan kebebasan dari perbudakan serta penindasan.

Melampaui Anarkisme

Dewasa ini, banyak orang memilih mengikuti paham anarkisme. Paham ini lahir dari kekecewaan banyak orang terhadap fungsi negara. Negara dianggap gagal menjalankan tugasnya, sehingga tidak lagi diperlukan keberadaannya. Tidak hanya itu, negara bahkan dianggap menjajah kebebasan pribadi warganya.

Di dalam wacana anarkisme, manusia dilihat sebagai mahluk yang bisa berkembang sendiri secara alami. Justru negara dengan segala lembaganyalah yang menghambat perkembangan manusia. Ini kiranya sejalan dengan keprihatinan Rousseau tentang keberadaan negara. Dalam arti ini, filsafat politik Rousseau kiranya bisa dijadikan salah satu kemungkinan untuk melampaui anarkisme.

Negara diperlukan, asal ia didasarkan pada kehendak umum warganya. Negara demokrasi perwakilan dimungkinkan, asal para wakil rakyat mampu melihat dari sudut mata keseluruhan masyarakat, dan bukan hanya dari kelompoknya semata. Jika syarat ini tak dipenuhi, maka upaya perubahan haruslah dilakukan. Jika tidak berhasil, maka tidak ada alasan untuk keberadaan negara itu sendiri.

Indonesia juga bisa belajar banyak dari pemikiran Rousseau ini. Pemerintah harus mengacu pada kehendak umum, ketika membuat kebijakan. Ia tidak boleh hanya berpihak pada kehendak kelompok mayoritas semata. Tindakan ini justru akan menciptakan perpecahan dan konflik berkelanjutan.

Sila ketiga dari Pancasila, yakni Persatuan Indonesia, kiranya harus dimaknai dalam terang pandangan Rousseau ini. Persatuan Indonesia hanya bermakna, jika kehendak umum seluruh warga Indonesia menjadi dasar dari semua kebijakan. Jika tidak, persatuan Indonesia akan menjadi sila yang membenarkan penindasan dan ketidakadilan, terutama kepada kelompok minoritas. Jangan sampai ini terjadi.

***