Menyanjung Negeri Orang, Merendahkan Negeri Sendiri

Minggu, 1 Juli 2018 | 20:50 WIB
0
701
Menyanjung Negeri Orang, Merendahkan Negeri Sendiri

Merupakan ciri inferiority complex ketika mudah kagum terhadap pihak luar tanpa mampu menyadari bahwa dirinya juga punya keunggulan. Dan itu yang terjadi pada beberapa orang ketika melihat aksi bersih-bersih suporter Jepang di stadion usai sebuah laga Piala Dunia kemarin.

Musikus Addie MS memulai pujian itu. Di Twitter ia mengatakan bahwa Jepang menjadi bangsa yang unggul karena aksi pendukung timnasnya di stadion Mordovia Arena. Lalu Menteri Agama Lukman Saifuddin menimpali. "Mestinya kita juga bisa melakukannya," tulis beliau. Mestinya???

Di situ lah saat inferiority complex tampak. Netizen kemudian mengingatkan mereka, bahwa pada aksi 411 dan 212 pun masyarakat kita bisa menjaga kebersihan lokasi acara. Lalu apa yang "mestinya kita bisa juga melakukannya"? Sudah kok.

Mungkinkah kebaikan yang dimiliki bangsa ini mudah dilupakan? Yang diingat hanya keburukannya saja. Sehingga ada masyarakat yang tidak bangga terhadap negeri sendiri, dan mudah kagum kepada dunia luar.

Kita juga punya potensi kebaikan, kalau mau jujur. Tak perlulah rendah diri.

Kalau begitu apakah bangsa kita juga bisa maju, seperti penilaian Adie MS kepada Jepang? Saya yakin bisa. Asalkan para pendukung 212 yang diamanahi mengelola negara. Tapi kalau pendukung aksi 412 (yang diselenggarakan 2 hari berselang) yang mengurus negeri ini, saya pesimis. Karena setelah acara itu sampah berserakan di mana-mana.

Kebaikan lain yang tak boleh dilupakan

Tak hanya soal kebersihan, aksi-aksi umat Islam kemarin juga memberi kesan indah bagi bangsa ini. Yaitu toleransi.

Ada dua kali sepasang pengantin non muslim menyelenggarakan resepsi bertepatan dengan aksi umat Islam. Dan para penganti itu diberi kemudahan jalan oleh massa menuju gereja tempat mereka melangsungkan pernikahan.

Pertama pada 411, Wiwi Margaretta dan Andreas dengan lancar memasuki Katedral. "Bahkan saya tadi sempat dibantu oleh polisi dan tim demo untuk bisa masuk ke Gereja Katedral," cerita Wiwi.

Dan yang kedua pada 112. Massa tak menghambat sepasang kekasih untuk upacara mengikat janji setia. Bahkan ikut memayungi calon pengantin. "Ayo Pak, tenang kami akan kawal sampai ke depan gereja. Ayo, minggir dulu, kita beri jalan untuk saudara kita umat Nasrani yang akan melangsungkan pernikahan," ucap seorang peserta aksi.

Tak ada pemandangan teror, meski dua sejoli itu berbeda agama, dan umat Islam sedang memprotes penodaan terhadap kitab suci mereka. Tapi bangsa kita mampu menempatkan toleransi di posisi yang pas. Tentu ini hal yang bisa kita banggakan.

Kebetulan saat itu tidak ada peserta aksi yang terkoordinir memakai gelang "penanda" seperti di acara Car Free Day beberapa waktu lalu.

Lalu nanti apakah ada yang akan memuji negara lain atas kehidupan toleransi beragama sembari mencibir negara sendiri? Nah itu lah ciri inferiority complex. Lupa bahwa kita juga bisa dan sudah bertoleransi dengan baik.

Banyak lagi kebaikan yang bisa dikenang dari agenda umat Islam, tak hanya dari peristiwa di penghujung 2016 dan awal 2017 lalu. Tapi tergantung orang yang memandangnya. Bila keki duluan karena loyalitas ke junjungan, maka tak kan bisa diakui satu kebaikan pun dari acara-acara itu.

Sebaliknya bila mau objektif, maka akan sadar kalau negara ini bisa juga tertib, bertoleransi, menjalankan demokrasi dengan damai, dan bisa bersatu.

Bangsa ini masih membanggakan kok. Terutama pendukung aksi 212 lho ya...

***

Zico Alviandri