Merupakan ciri inferiority complex ketika mudah kagum terhadap pihak luar tanpa mampu menyadari bahwa dirinya juga punya keunggulan. Dan itu yang terjadi pada beberapa orang ketika melihat aksi bersih-bersih suporter Jepang di stadion usai sebuah laga Piala Dunia kemarin.
Musikus Addie MS memulai pujian itu. Di Twitter ia mengatakan bahwa Jepang menjadi bangsa yang unggul karena aksi pendukung timnasnya di stadion Mordovia Arena. Lalu Menteri Agama Lukman Saifuddin menimpali. "Mestinya kita juga bisa melakukannya," tulis beliau. Mestinya???
Di situ lah saat inferiority complex tampak. Netizen kemudian mengingatkan mereka, bahwa pada aksi 411 dan 212 pun masyarakat kita bisa menjaga kebersihan lokasi acara. Lalu apa yang "mestinya kita bisa juga melakukannya"? Sudah kok.
Mungkinkah kebaikan yang dimiliki bangsa ini mudah dilupakan? Yang diingat hanya keburukannya saja. Sehingga ada masyarakat yang tidak bangga terhadap negeri sendiri, dan mudah kagum kepada dunia luar.
Kita juga punya potensi kebaikan, kalau mau jujur. Tak perlulah rendah diri.
Kalau begitu apakah bangsa kita juga bisa maju, seperti penilaian Adie MS kepada Jepang? Saya yakin bisa. Asalkan para pendukung 212 yang diamanahi mengelola negara. Tapi kalau pendukung aksi 412 (yang diselenggarakan 2 hari berselang) yang mengurus negeri ini, saya pesimis. Karena setelah acara itu sampah berserakan di mana-mana.
Kebaikan lain yang tak boleh dilupakan
Tak hanya soal kebersihan, aksi-aksi umat Islam kemarin juga memberi kesan indah bagi bangsa ini. Yaitu toleransi.
Ada dua kali sepasang pengantin non muslim menyelenggarakan resepsi bertepatan dengan aksi umat Islam. Dan para penganti itu diberi kemudahan jalan oleh massa menuju gereja tempat mereka melangsungkan pernikahan.
Pertama pada 411, Wiwi Margaretta dan Andreas dengan lancar memasuki Katedral. "Bahkan saya tadi sempat dibantu oleh polisi dan tim demo untuk bisa masuk ke Gereja Katedral," cerita Wiwi.
Dan yang kedua pada 112. Massa tak menghambat sepasang kekasih untuk upacara mengikat janji setia. Bahkan ikut memayungi calon pengantin. "Ayo Pak, tenang kami akan kawal sampai ke depan gereja. Ayo, minggir dulu, kita beri jalan untuk saudara kita umat Nasrani yang akan melangsungkan pernikahan," ucap seorang peserta aksi.
Tak ada pemandangan teror, meski dua sejoli itu berbeda agama, dan umat Islam sedang memprotes penodaan terhadap kitab suci mereka. Tapi bangsa kita mampu menempatkan toleransi di posisi yang pas. Tentu ini hal yang bisa kita banggakan.
Kebetulan saat itu tidak ada peserta aksi yang terkoordinir memakai gelang "penanda" seperti di acara Car Free Day beberapa waktu lalu.
Lalu nanti apakah ada yang akan memuji negara lain atas kehidupan toleransi beragama sembari mencibir negara sendiri? Nah itu lah ciri inferiority complex. Lupa bahwa kita juga bisa dan sudah bertoleransi dengan baik.
Banyak lagi kebaikan yang bisa dikenang dari agenda umat Islam, tak hanya dari peristiwa di penghujung 2016 dan awal 2017 lalu. Tapi tergantung orang yang memandangnya. Bila keki duluan karena loyalitas ke junjungan, maka tak kan bisa diakui satu kebaikan pun dari acara-acara itu.
Sebaliknya bila mau objektif, maka akan sadar kalau negara ini bisa juga tertib, bertoleransi, menjalankan demokrasi dengan damai, dan bisa bersatu.
Bangsa ini masih membanggakan kok. Terutama pendukung aksi 212 lho ya...
***
Zico Alviandri
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews