Lucunya Dalih Calon Kepala Daerah yang Kalah di Pilkada

Jumat, 29 Juni 2018 | 15:59 WIB
0
559
Lucunya Dalih Calon Kepala Daerah yang Kalah di Pilkada

Ada calon pasangan gubernur atau walikota yang menolak hasil lembaga survey hitung cepat dan mereka lebih percaya pada hasil hitung cepat versi internal mereka sendiri. Ada yang belum bisa menerima kekalahan versi hitung cepat dengan menggelar konferensi pers.

Alasannya, ada inkonstensi dari lembaga survey tersebut yang mana pada sebelum pencoblosan banyak lembaga survey yang menempatkan calon pasangan gubernur tersebut dengan elektabilitas rendah, tetapi dalam faktanya setelah pencoblosan malah "menyodok" pada urutan kedua. Ini terjadi pada pilgub di Jabar.

Harusnya bisa membedakan antara lembaga survey yang mengukur tingkat elektabilitas tiap pasangan dalam pilkada dengan hasil survey hasil hitung cepat.

Survey yang di lakukan oleh banyak lembaga survey hanya ingin mengetahui atau mengukur tingkat elektabilitas tiap pasangan yang maju dalam pilkada. Dan sampel yang diambil oleh lembaga survey dengan  metode random di tiap wiliyah. Selama metodenya tidak ada manupulasi dan benar tentu hasilnya bisa untuk dijadikan rujukan. Sekalipun banyak juga hasil lembaga survey yang meleset seperti yang terjadi di Jateng dan Jabar.

Sedangkan hasil survey hitung cepat atau Quick Count adalah berbeda dengan survey untuk mengetahui atau mengukur tingkat elektabilitas para calon yang ikut pilkada. Lembaga survey hitung cepat data atau sumber primernya mengambil dari TPS-TPS tempat pencoblosan di sebar secara merata supaya bisa menghasilkan hasil hitung cepat secara akurat dan bisa dipertanggungjawabkan.

Jadi, lembaga survey hitung cepat itu mengambil sempel datanya bener-bener real dari TPS-TPS bukan pendapat atau opini dari masyarakat. Beda lagi dengan ExitPoll. Kalau ExitPoll ingin mengatahui pilihan masyarakat dalam pilkada dengan metode wawancara setelah masyarakat selesai melakukan pencoblosan.

Hasil hitung cepat versi lembaga survey biasanya hasilnya tidak akan berbeda jauh dengan rekapitulasi hasil resmi KPU, paling selisih dalam batas margin error 1 sekian persen.

Dan hasil hitung cepat dilakukan untuk mengetahui hasil pilkada dalam waktu singkat atau beberapa jam setelah pencoblosan selesai, karena kalau menunggu hasil resmi KPU bisa memakan waktu berhari-hari atau dua minggu. Dan hasil hitung cepat juga bisa sebagai alat kontrol untuk terjadinya kecurangan hasil pilkada.

Sebagai contoh, pemilihan walikota Makasar berdasarkan versi hitung cepat dimenangkan oleh kotak kosong. Kalau nanti hasil resmi KPU ternyata yang menang bukan kota kosong, maka perlu diwaspadai akan terjadinya kecurangan. Karena ada pernyataan oleh Wakapolri yang mengatakan,bahwa hasil versi hitung cepat yang menang kotak kosong adalah hoaks. Masak seorang Wakapolri ikut-ikut soal hasil hitung cepat.

Kita tahu, Wakapolri sangat denkat dengan petinggi negeri ini, dan sudah bukan rahasia umum si petinggi ini erat kaitannya dengan calon walikota Makassar yang dikalahkan kotak kosong itu. Jadi, benang merahnya terlalu tampak ke permukaan.

Nah, kalau ada yang menolak atau tidak percaya hasil hitung cepat versi lembaga survey, mungkin orang-orang itu mengindap penyakit "mental tempe bongkrek".

Mereka belum bisa menerima hasil kekalahan versi hitung cepat. Mereka menghibur diri dengan hasil hitung cepat versi mereka sendiri atau internal, tentu hasilnya mereka yang menang. Dan mereka merilis dan share angka-angka yang entah dari mana, yang penting calonnya yang unggul atau menang.

Mereka juga mengalami penyakit halusinasi stadium 4 atau berandai-andai. Seperti: seandainya pilkada kemarin diundur dua minggu atau sebulan lagi, pasti kita yang akan menang. Atau seperti yang dikatakan oleh calon pilkada Jawa Tengah yang kalah versi hitung cepat: kalau diberi kesempatan dengan kompetisi secara sehat, pasti kita yang akan menang.

Dan calon tadi juga menggelar konpers bahwa sebelum hari pencoblosan tim suksesnya mendapat ancaman dari pihak-pihak tertentu dengan menodong pistol dan cara ini termasuk intimidasi menjelang hari pencoblosan.

Kenapa tidak konpers sebelum pencoblosan? Supaya dapat simpati dari masyarakat, kok malah setelah pilkada selesai. Bukankan pilkada Jateng termasuk pilkada yang paling anteng atau adem ayem? Malah menjelang pencoblosan membuat pernyataan lewat ketua umum Gerindra, kalau calon gubernur Jateng menggadaikan rumahnya untuk biaya logistik pilkada.

Bahkan mereka juga belum mau mengucapkan selamat kepada calon gubernur yang menang dalam versi hitung cepat dengan alasan menunggu hasil resmi KPU.

Mereka tidak percaya bukan kepada lembaga survey versi hitung cepat, tetapi juga tidak percaya kepada Real Count KPU dengan alasan: real count hampir sama dengan lembaga survey hitung cepat,dan masih bisa terbantahkan dengan hitung manual KPU. Mumet-mumet ngadepin orang bermental tempe bongkrek.

Dan mereka juga menunggu keajaiban turun dari langit semoga hasilnya bisa berubah dan mereka yang menang, padahal turunnya mukjizat seperti pada masa kenabian sudah berakhir dan tak akan pernah ada lagi.

Rupanya penyakit "mental tempe bongkrek" ini virus yang berasal dari pilpres 2014, menjalar pada pilkada di Jabar dan Jateng. Bahkan ada satu lembaga survei versi hitung cepat yang memenangkan kubu mereka. Ini lembaga survey versi hitung cepat yang "nyeleneh atau menyimpang" dan ini juga terjadi pada pilpres 2014. Jangan-jangan ini lembaga survey yang keracunan tempe bongkrek beneran.

Orang yang tidak waras pengin waras, malah orang yang waras malah jadi tidak waras. Ini gara-gara pilkada.

Salam waras...

***