Lampu Kuning dari Jawa Barat buat Presiden Jokowi

Jumat, 29 Juni 2018 | 21:06 WIB
0
725
Lampu Kuning dari Jawa Barat buat Presiden Jokowi

Sinyal kuat itu terpancar dari Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani, saat merujuk hasil exit poll Pilkada 2018, bahwa elektabilitas Presiden Joko Widodo belum mencapai mayoritas di Jawa Barat. Jokowi, panggilan akrab Presiden RI itu, tidak boleh menganggap enteng sinyal ini mengingat Jawa Barat adalah lumbung suara yang gemuk yang menyumbang 18 persen suara nasional.

Exit poll dilakukan SMRC sesaat setelah pemilih pada Pilkada Jawa Barat disurvei mengenai pilihan capres pada Pilpres 2019. "Di exit poll terus terang saya buka saja sekarang, Pak Jokowi itu di Jawa Barat sudah kalah lagi. Kita harus terbuka, di Jawa Barat sudah ada mobilisasi," kata Saiful di acara Rosi yang tayang di Kompas TV, Kamis 28 Juni 2018, sebagaimana dilaporkan Kompas.com.

Benar bahwa calon gubernur/wakil gubernur yang diusung Gerindra, PKS, dan PAN, yakni Sudrajat-Ahmad Syaikhu, tidak menang di Pilkada Jawa Barat, setidak-tidaknya berdasarkan hasil hitung-cepat, namun mesin partai yang bekerja berhasil memobilisasi pendukung mereka untuk mengampanyekan sentimen anti-Jokowi.

Survei awal Sudrajat-Syaikhu yang hanya mencapai belasan persen dan mentok di angka 10 persen, namun berubah total pada hari pencoblosan. Bahkan secara mengejutkan "membayangi" perolehan Ridwan-Uu. Pasangan ini berhasil meraup suara 29,53 persen. Karena itu Saiful beranggapan, hal tersebut harus menjadi catatan bagi Jokowi jika ingin memenangkan Pilpres 2019.

"Ada lonjakkan suara walaupun tidak menang, katakanlah hanya 28 persen. Tapi itu signifikan, dari angka belasan persen, bahkan 10 persen," kata Saiful lagi.

Sebagai catatan, pada Pilpres 2014 pasangan Jokowi-Jusuf Kalla kalah melawan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di Jabar. Dari total suara sah 23.697.696 suara, Prabowo-Hatta 14.167.381 suara (59,78 persen), sementara Jokowi-JK 9.530.315 (40,22 persen).

Uniknya, SMRC pulalah yang pada November 2017 mengeluarkan hasil survei yang menunjukkan elektabilitas Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto di Jawa Barat disalip oleh Presiden Joko Widodo. Saat itu metode survei yang digunakan multi-stage random sampling dengan tingkat kesalahan 3,5 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.

Sebanyak 820 responden ditemui untuk melakukan penelitian ini dan pada simulasi dua nama calon presiden, Jokowi menempati posisi teratas dengan 48,8 persen, diikuti Prabowo dengan 43,5 persen, sedangkan yang menjawab tidak tahu atau tidak menjawab sebanyak 7,7 persen. Tren elektabilitas Jokowi tercatat telah meningkat sejak bulan Mei 2017.

Saat itu elektabilitas Jokowi 41,5 persen. Sempat turun menjadi 38,6 persen pada bulan Juni, namun kembali naik 41,6 persen pada bulan Juli dan 48,8 persen pada bulan September sampai Oktober. Sebaliknya, tren elektabilitas Prabowo terus turun sejak Mei tahun yang sama. Pada bulan tersebut elektabilitas Prabowo 52 persen, lalu turun ke angka 49,6 persen pada Juni, 48,8 persen di bulan Juli dan kembali merosot menjadi 43,5 persen di bulan September sampai Oktober.

Benar bahwa exit poll terbaru SMRC di Jawa Barat tidak mengungkapkan apakah elektabilitas Prabowo sebagai rival berat Jokowi naik, tetapi secara "nature" survey, tidak mungkin dua-duanya mengalami penurunan.

Jika elektabilitas Jokowi disebut turun, maka elektablitas Prabowo sesungguhnya naik dan tidak tertutup kemungkinan menyalip lagi elektabilitas Jokowi.

"Jokowi Effect"

Ada banyak hal menarik dari usainya pelaksanaan Pilkada serentak ini. Khusus untuk Jawa Barat, atau Pulau Jawa pada umumnya, kekalahan PDIP selaku pengusung Jokowi di Jabar dan Jatim "diterjemahkan" sementara  pengamat sebagai sentimen negatif Jokowi. Kasarnya, kekalahan PDIP akibat Jokowi. Sebaliknya, perolehan suara Sudrajat-Syaikhu "diterjemahkan" sebagai berjalannya mesin partai khususnya saat menggulirkan tagar #2019GantiPresiden.

Artinya, perolehan suara pasangan Asyik ini terkerek naik karena saat debat cagub di Universitas Indonesia, pasangan ini langsung mempertontonkan kaus bertagar #2019GantiPresiden itu. Tak pelak lagi, asumsi atau praduga yang belum tentu benar ini ditangkap sebagai peluang pihak oposan untuk tetap menggunakan tagar yang sama pada Pilpres 2019 nanti.

Di sisi lain, simpatisan Jokowi tidak mau kalah dan punya tafsir sendiri mengenai kekalahn telak PKS dan Gerindra sebagai pengusung tagar tersebut, bahwa #2019GantiPresiden tidak laku dijual dalam Pilkada dan karenanya tidak akan laku juga saat dijual di Pilpres nanti.

Para pendukung Jokowi beranggapan, jika tagar itu didukung rakyat, maka seharusnya PKS dan Gerindra berjaya di Pilkada. Kenyataannya, duet parpol oposan ini memang harus gigit jari di Pilkada ini. Mereka kehilangan pengaruh di Pulau Jawa sebagai lumbung suara yang gembur.

Tetapi bagi Jokowi, sinyalemen SMRC ini harus ditangkap sebagai lampu kuning, warning yang cukup serius di mana Jokowi harus lebih sering menyapa rakyat Jabar lagi. Sing bisa meuli hate rahayat, begitu istilahnya. Terlebih lagi, dia harus berhasil menghadapi tagar #2019GantiPresiden dengan cara yang lebih elegan.

Tidak bisa lagi Jokowi mengatakan "Masak pakai kaos #2019GantiPresiden bisa ganti presiden!?" sebagaimana yang pernah diucapkannya. Ia harus bergumam sendiri, "Jangan-jangan kaos #2019GantiPresiden bisa benar-benar ganti presiden!"

Upaya melawannya dengan tagar tandingan "2019TetapJokowi" belumlah cukup, secara tagar itu kalah beken dengan tagar #2019GantiPresiden.

Alhasil, tak ada dinamika politik yang seseru dan seheboh Tanah Air Indonesia tercinta ini. Bahkan Turki tidak ada apa-apanya dibanding Indonesia, Sebab di sana tidak ada Cebong yang hidup di air dan Kampret yang selalu bergelantungan dengan kepala terbalik.

***