Inilah saatnya Megawati Soekarnoputri introspeksi diri. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpinnya, partai berpengalaman dan sudah malang-melintang di dunia perpolitikan Tanah Air tetapi gamang saat menentukan sejumlah calon kepala daerah, harus menelan pil pahit dengan rontoknya kekuatannya di Pulau Jawa.
Dengan hasil Pilkada serentak ini, praktis partai politik yang diketuai Megawati Soekarnoputri ini hanya "menguasai" sepenggal Tanah Jawa, yakni Jawa Tengah, wilayah yang memang dikenal sebagai basis kekuatan massanya.
Berdasarkan hasil Pilkada Serentak, Rabu 27 Juni 2018 hari ini, PDIP rontok di dua provinsi berpenduduk gembur, Jawa Barat dan Jawa Timur. Pada Pilkada sebelumnya, PDIP juga harus "gigit jari" alias menelan pil pahit di Provinsi Banten, dan ini yang paling menyesakkan, Provinsi DKI Jakarta. Rano Karno di Banten dan Basuki Tjahaja Purnama di DKI Jakarta kalah secara menyakitkan.
Provinsi Jawa Barat dikuasai pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum yang tidak disokong PDIP. Pasangan ini mengandaskan tiga pasangan lainnya, termasuk pasangan yang disokong PDIP, yaitu TB Hasanuddin dan Anton Charliyan. Runner-up di Jabar adalah pasangan Sudradjat dan Ahmad Syaikhu yang dalam survey sebelumnya selalu di bawah pasangan petahana Deddy Mizwar dan pasangannya, Dedi Mulyadi, yang menduduki posisi ketiga.
Di Jabar, di mana PDIP tidak harus berkoalisi dengan siapapun, semula pernah mengusung Ridwan Kamil yang biasa disapa Kang Emil. Namun karena Ridwan dianggap lancang karena menerima lebih dahulu pinangan Partai Nasdem, PDIP yang murka tapi tidak terlalu jauh berpikir akibatnya, menarik dukungan, Kang Emil sempat menjadi "layangan putus tali" sebelum kemudian ada sejumlah partai lain yang menyokongnya, antara lain PPP.
Di sisi lain, PDIP akhirnya mendorong pasangan "kartu mati", pasangan militer-polisi TB Hasanuddin dan Anton Charliyan. Akibatnya sudah diketahui bersama, pasangan ini menjadi "underdog" di Pilkada Jabar.
Di Jawa Timur, PDIP memang mendukung Saifullah Yusuf (Gus Ipul) sejak awal yang berpasangan dengan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Pasangan ini dianggap ideal dan kuat, mengingat Anas adalah bupati yang sangat berprestasi. Namun karena dianggap bukan kader tulen, dan karena kepentingan dinasti politik, maka disodorkanlah Puti Guntur Soekarno. Ironisnya, Anas terjungkal akibat isu gambar-gambar panas bersama perempuan yang memang tidak pernah dibantahnya.
Jadilah Gus Ipul berpasangan dengan Puti melawan dua kali petarung Pilkada Jatim sebelumnya, Khofifah Indar Parawansa yang berpasangan dengan Emil Dardak. Khofifah disorong rival bebuyutan Megawati, yaitu Partai Demokrat yang digawangi Susilo Bambang Yudhoyono. Hasilnya sudah diketahui bersama. Khofifah akhirnya bisa duduk di Gubernuran Jatiim setelah melepas jabatan menteri sosialnya.
PDIP kemudian seperti "melepas" begitu saja Ganjar Pranowo yang berpasangan dengan Taj Yasin di Jawa Tengah karena keyakinan basis massa yang masih loyal kepada PDIP, siapapun calon yang diusungnya. Sebaliknya, lawannya, Sudirman Said dan Ida Fauziyah, yang dalam sejumlah survei diposisikan berada di posisi bontot dengan selisih elektabilitas yang tajam, yakni 70 persen melawan 30 persen, mampu melakukan perlawanan sehigga Ganjar-Yasin "hanya" meraih 57 persen suara.
Dengan hanya menguasai sepenggal Tanah Jawa, yaitu Jawa Tengah, akankah PDIP mempertahankan hegemoninya dalam Pemilu dan Pilpres 2019 nanti?
Padahal kita ketahui bersama, 70 persen penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa ini, sementara penduduk terpadat adalah Jawa Barat dan Jawa Timur di mana di dua provinsi ini PDIP kehilangan pengaruhnya.
Agaknya PDIP akan melanjutkan kegamangan politiknya.
Seperti biasa.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews