Belajar dari Pilkada DKI 2017, Jangan Pilih Pemimpin yang Jualan Agama

Rabu, 27 Juni 2018 | 19:31 WIB
0
500
Belajar dari Pilkada DKI 2017, Jangan Pilih Pemimpin yang Jualan Agama

Indonesia sudah memutuskan menjadi negara demokrasi -yang dilandasi ideologi Pancasila- untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya. Demokrasi dalam pemilihan pemimpin ini tercatat dalam sejarah empat belas tahun lalu, untuk pertama kalinya dimulai dalam pemilihan presiden tahun 2004.

Sejak saat itu tiap pemilihan presiden (pilpres) ataupun pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk gubernur dan walikota/bupati dilakukan melalui pengumpulan suara rakyat terbanyak sebagai penentunya.

Sejatinya demokrasi itu adalah pesta rakyat. Rakyat bersuara dan rakyat yang menentukan pilihannya. Sebagaimana esensi sebuah pesta ada kegembiraan di dalamnya. Pilpres dan pilkada hanya soal bagaimana kita memilih dan menentukan pemimpin yang kita anggap terbaik tanpa harus mengorbankan persaudaraan dan persatuan kita sebagai sebuah bangsa.

Presiden Jokowi sudah jauh-jauh hari dan sering kali mengingatkan kita soal pilpres/pilkada sebagai pesta rakyat yang menggembirakan dan jangan sampai membuat kita terbelah karena cuma berbeda pilihan saja.

Rabu, 27 Juni 2018 pagi tadi secara khusus Presiden Jokowi mengingatkan kita semua, khususnya yang punya hak memilih dalam pilkada serentak di 17 provinsi untuk memilih 171 pemimpin daerah.

"Hari ini pemilihan kepala daerah secara serentak di 171 daerah di Tanah Air. Para warga memilih 17 gubernur, 115 bupati, dan 39 walikota. Mari memilih pemimpin terbaik di kabupaten, kota, dan provinsi. Pilihan boleh berbeda, tetapi kita tetap bersaudara. Selamat memilih!"

Ajakan yang sungguh simpatik dari Presiden Jokowi. Tapi....

Tapi para politisi busuk, yang penuh nafsu syahwat meraih kekuasaan dan menghalalkan segala cara brutal untuk menang, menghancurkan keindahan demokrasi pesta rakyat yang menggembirakan ini.

Pilpres dan pilkada oleh para politisi busuk ini dijadikan medan perang untuk menghancurkan persaudaraan dan persatuan kita. Mereka menggunakan cara-cara primitif dan biadab untuk menebarkan sikap-sikap intoleransi dan memecah belah kita mengadopsi cara-cara penjajah zaman kolonial Belanda melalui politik "devide et impera" dengan menggunakan sentimen agama mayoritas.

Mereka membakar demokrasi kita dengan membawa-bawa nama Tuhan dengan menjanjikan surga dan ketakutan akan masuk neraka sebagai jualan program saat berkampanye.

Kita bisa belajar dari Pilkada 2017 di DKI Jakarta. Kita tahu bagaimana agama dipakai jor-joran untuk menjatuhkan Ahok yang berpasangan dengan Djarot. "Hanya isu agama yang bisa menjatuhkan Ahok saat itu," ungkap Djarot Saiful Hidayat dalam sebuah pertemuan di Jakarta akhir tahun 2017.

Menurut Djarot kekalahan Ahok-Djarot karena video dengan jargon "penista agama" hasil editan "seorang dosen", yang kini sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan tapi masih bisa bebas tidak ditahan di bui seperti Ahok.

Setelah video "penista agama" itu dimunculkan kampanye melalui spanduk-spanduk yang seram-seram seperti "jenazah tidak akan disholatkan bila memilih penista agama" di masjid-masjid, perkampungan-perkampungan, dan kompleks perumahan.

Tak cuma spanduk, di masjid-masjid dikhotbahkan berulang-ulang untuk tidak memilih "penista agama". Bahkan usai Sholat Jumat di satu masjid di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Djarot disoraki dan diusir karena ia berpasangan dengan Ahok.

Tidak berhenti di situ, dibutuhkan demo berkali-kali yang mengerahkan banyak massa berbagai daerah dari luar ibukota - diklaim jumlahnya sampai tujuh juta orang - dengan tema "aksi bela agama" untuk menjatuhkan seorang Ahok!

Kita tahu hasil Pilkada DKI seperti apa. Pasangan pemenang sudah delapan bulan tapi tidak terlihat kerja dan kinerja yang dirasakan warga.

Alih-alih meneruskan dan mempertahankan program yang sudah baik yang ditinggalkan Jokowi-Ahok-Djarot, mereka justru seperti sengaja mengacak-acak ibukota tampak kumuh dan semrawut menjelang pelaksanaan pesta olahraga akbar Asian Games 2018 yang akan berlangsung 18 Agustus sampai 2 September ini. Bahkan mereka sibuk buat persiapan pilpres tahun depan dan sibuk menyerang kinerja Presiden Jokowi yang sebetulnya atasan mereka.

Jakarta kini seperti tak ada yang mengatur. Hujan sebentar saja di beberapa tempat kembali banjir. Got-got mampet. Sampah berserakan di mana-mana. Pedagang kaki lima menguasai kawasan Tanah Abang, jalan-jalan, dan trotoar-trotoar yang mengambil hak para pejalan kaki dan tuna netra seperti yang dipotret Wartawan Foto Senior Gino Franki Hadi untuk menggambarkan situasi Jakarta terkini yang berulang-tahun ke-491 pada 22 Juni ini.

Buat yang hari ini punya hak memilih dalam Pilkada 2018, belajarlah dari Pilkada DKI tahun lalu. Jangan pilih gubernur dan walikota/bupati yang jualan agama. Jangan pilih juga gubernur dan walikota/bupati yang didukung partai-partai yang hobi menebarkan intoleransi dan membela ormas-ormas anti-Pancasila.

***