Donasi dalam Politik dan Politikus Jamaah Mamah Dedeh

Senin, 25 Juni 2018 | 06:59 WIB
0
755
Donasi dalam Politik dan Politikus Jamaah Mamah Dedeh

Soal donasi dalam politik, itu hal biasa. Donald Trump yang duitnya segunung juga mengumpulkan donasi dari rakyat untuk biaya kampanye Pilpres. Bukan cuma perkara ngumpulin duit, donasi juga bisa merekam sejauh mana rakyat mau memberi dukungan.

Dukungan yang real, bukan cuma jadi tim hore. Kalau nyumbang duit aja mau dilakukan, masa memberikan suara di gubuk pencoblosan gak mau? Begitu logikanya.

Jadi ketika Prabowo Subianto membuka rekening sumbangan untuk membiayai Partai Gerindra, itu juga harus dilihat sebagai hal biasa. Gak ada yang aneh.

Saat Pilpres dulu, pasangan Jokowo-JK juga membuka ruang donasi. Banyak orang menyumbangkan duitnya, sekaligus menitipkan masa depan bangsa ini di pundak Jokowi.

Pasangan Prabowo-Hatta juga membuka donasi. Meskipun respon rakyat tidak seheboh Jokowi-JK pada saat itu.

Ketika Pilkada Jakarta, Ahok juga membuka rekening sumbangan. Rakyat menyumbangkan uangnya. Mereka berharap dapat membantu perjuangan Ahok membangun Jakarta. Sebagian besar dana kampanye Ahok berasal dari urunan rakyat.

Kenapa rakyat mau menyumbang untuk Ahok? Karena mereka percaya sumbangannya punya arti untuk masa depan Jakarta yang lebih baik. Jika Ahok menang, dia berhutang pada rakyat. Dia wajib mengembalikan dengan membuat kebijakan yang prorakyat.

Berbeda dengan Anies-Sandi. Sebagian besar dana kampanye ditangung Sandi. Pendukungnya boro-boro mau nyumbang. Kebanyakan cuma nyumbang doa sama demonstrasi. Ketika pada akhirnya mereka berkuasa, secara moril gak ada beban hutang kepada rakyat. Jadi santai saja.

Ngomong rumah DP 0%, kalau tidak dilaksanakan, terus lu mau apa?

Berkoar-koar akan menghentikan reklamasi pantai Jakarta, terus kalau akhirnya justru keluar aturan untuk meneruskan proyek itu, lu mau apa?

Mau protes? Emang rakyat udah ngasih apa ke mereka?

Mau KPJ plus, jika pada kenyataannya KJP malah makin ribet dan susah, lu mau apa?

Wong, duit-duit gue.

Meskipun, gak begitu juga seharusnya. Mulut mereka di panggung kampanye, jangan seperti penjual obat. Ngomong seenaknya cuma untuk menarik konsumen. Tapi program rumah DP nol persen jadi nol besar.

Dalam politik elektoral itulah salah satu fungsi donasi. Donasi bukan hanya membiayai seorang petarung politik untuk memenangkan pertarungan. Donasi juga sebagai ukuran dukungan rakyat.

Prabowo beberapa waktu lalu membuka rekening donasi untuk pembiayaan Partai Gerindra yang otomatis juga untuk memuluskan jalan dia pada Pilpres.

Memang belakangan ini Prabowo ngomongnya duit duit melulu. Sebelum ini dia bicara orang yang punya duit bisa menentukan siapa yang akan jadi Presiden di Indonesia. Padahal pada 2014, siapa yang bisa menyangkal duit bertebaran di seputar dia.

[irp posts="17491" name="Memahami Partisipasi Publik dalam Gerakan Politik"]

Raja minyak seperti Riza Chalid habis-habisan bertarung untuk Prabowo. Keluarga cendana yang duitnya gak habis tujuh turunan juga ikut membantu. Belum lagi konglomerat Hasyim Jojohadikusomo. Hasilnya, dia keok juga. Meskipun sempat didahukui dengan drama sujud syukur. Padahal lawannya adalah Jokowi, yang baru kemarin sore masuk ke gelanggang Jakarta. Tukang kayu yang duitnya pas-pasan.

Ini mungkin cuma strategi. Prabowo sedang memposisikan dirinya seperti Cinderella, menjual kesusahan agar dapat simpati publik. Dia ingin dicitrakan sebagai kandidat Presiden yang gak punya duit. Sedangkan lawannya adalah Jokowi sang Presiden petahana.

Dengan cara menjual kesusahan itulah dia ingin agar orang kasian padanya. Lalu buru-buru merogoh kocek, memberikan sumbangan. Juga pada akhirnya memberikan suara.

Strategi yang dimainkan, bergaya seperti kisah Bawang Merah dan Bawang Putih. Dia mau jadi kandidat Bawang Putih; miskin, susah, jomblo, sedih, merana, hingga gak bisa bayar gaji karyawannya.

Sedangkan Jokowi di posisikan sebagai lawannya adalah kandidat Bawang Merah; sang petahana, keluarganya bahagia, anak-anaknya sehat dan normal, suka becanda dan pekerja keras.

Dengan cara itulah dia hendak meraup simpati publik.

Strategi yang sama juga dimainkan oleh bawahannya. Mudik kemarin, katanya seperti di neraka. Padahal dia mudik naik pesawat di kelas bisnis. Sementara jalan darat relatif lancar.

Atau gaya Fadli Zon yang tiada hari tanpa keluhan. Sepanjang karirnya sebagai anggota DPR, omongan Fadli cuma berisi keluh kesah.

Mereka berharap dengan mengumbar keluh-kesah lantas rakyat akan kasihan. Lalu bersimpati pada partainya.

Strategi Bawang Merah-Bawang Putih ini dulu dimainkan dengan cantik oleh SBY. Sedikit dikit prihatin. Sedekit dikit ngeluh. Sedikit dikit curcol.

Tapi sekarang sudah gak musim strategi seperti itu lagi. Kita butuh Presiden yang bisa kerja, punya optimisme, liat dan banyak akal. Kalau cuma bisa curcol, mending gak usah jadi Capres deh. Lebih baik jadi jemaah mamah Dedeh aja.

"Mas, kalau saya nyumbang Indomie buat Prabowo, bisa gak ya? Saya ada sebungkus rasa ayam bawang, dia doyan gak sih?" ujar Abu Kumkum.

"Kang Kumkum emang mau dukung Gerindra?"

"Gak mas, kasian aja..."

Teman saya ini memang gampang jatuh iba.

***