Orang Betawi dan Ulang Tahun Jakarta

Minggu, 24 Juni 2018 | 07:08 WIB
0
902
Orang Betawi dan Ulang Tahun Jakarta

Bila banyak yang mempertanyakan kok HUT Jakarta tahun ini, yang jatuh tanggal 22 Juni kemarin adem ayem saja. Ada sebagian yang apriori menuduh hal ini menunjukkan "kualitas" pasangan Gubernur dan Cawagubnya, yang asyik jalan sendiri-sendiri.

Tapi setidaknya bila kita bisa sedikit berempati (walau secara negatif), mereka mungkin ingin lebih bertenggang rasa pada seorang tokoh budaya Betawi, seorang tokoh tua yang kalau nulis sejarah selalu kontroversial dan gak pernah runtut itu: Ridwan Saidi (RS).

[caption id="attachment_17448" align="alignleft" width="492"] Ridwan Saidi (Foto: Senayanpost.com)[/caption]

RS sendiri bukanlah seorang sejarahwan akademik, ia kakak kelas jauh saya di FISIP UI, namun karena kevokal-annya sebagai orang Betawi asli yang membelai etnisnya suaranya selalu layak didengar. Ia tidak setuju tanggal 22 Juni ditetapkan sebagai hari ulang tahun Jakarta.

Apalagi, dasar penetapannya adalah pada tanggal itu, tepatnya 22 Juni di tahun 1527 adalah hari kemenangan Fatahillah atas apa yang disebut penaklukan Sunda Kelapa yang kala itu berada di bawah penguasaan Portugis. Hal mana dilanjutkan dengan perubahan nama dari Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.

Tentu saja, bagi yang sedikit mau baca sejarah realitas ini memang sangat menyakitkan bagi orang Betawi asli. Kenapa?

Syahdan, seorang tokoh Betawi tertua yang pernah saya catat dalam ejarah bernama Wak Item. Ia adalah orang yang dipercaya oleh penguasa Kerajaan Sunda Pajajaran untuk menjadi pengurus pelabuhan Sunda Kelapa. Istilahnya sebagai Syahbandar, yang tugas pokoknya adalah: mencatat keluar masuk kapal, mengelola bisnis dan mencatat jumlah penduduk.

Wak Item ini pula yang berhasil melakukan persetujuan pakta perdagangan yang termaktub dalam sebuah Padrao (yang saat ini replikanya disimpan di MSJ). Bagi orang Betawi apa yang dilakukan Wak Item adalah bukti kecerdasan orang Betawi. Namun persetujuan inilah yang justru dipakai sebagai alasan oleh Fatahillah untuk menyerang Sunda Kelapa, seraya menuduh Wak Item sebagai seorang "kafir" yang harus ditaklukkan. Alasannya lainnya Wak Item ini memiliki julukan lain bernama Batara Katong yang sangat berbau Non-Islam.

Realitas ini dibantah RS karena, dalam padrao ia menuliskan persetujuannya dengan memakai lafal huruf Arab "wauw" yang menunjukkan bahwa sebenarnya mereka justru adalah generasi pertama muslim di Sunda Kelapa. Bagian yang paling menyakitkan yang dicatat RS, penaklukan oleh Fatahillah, yang sulit dibantah sebagai lebih berciri sebagai etnis Jawa (karena terafiliasi dalam koalisi Cirebon-Demak-Banten itu) adalah sebuah perang yang tidak seimbang.

Konon pada saat Fatahillah menyerbu Labuhan Kalapa, ada 3.000 rumah orang Betawi yang dibumihanguskan oleh pasukan Fatahillah yang jumlahnya ratusan. Wak Item sebagai Syahbandar Labuhan Kalapa hanya punya pasukan pengikut sebanyak 20 orang. Di sinilah, asal usul kontroversi yang bukan saja melibatkan sentimen etnis dengan fakta-fakta sejarah yang justru memang jungkir balik.

Penggagas penetapan hari kelahiran Jakarta sendiri adalah Sudiro, Walikota Djakarta Raja (1953) dan tahun 1958-1960 sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Kotapradja Djakarta Raja.

Saat ia berkuasa, meminta kepada Mr. M. Yamin, Sudarjo Tjokrosiswono (wartawan) dan Mr. DR. Sukanto (ahli hukum adat/sejarahwan) untuk melakukan pengkajian sejarah kelahiran kota Jakarta yang akan ditetapkan sebagai HUT Jakarta dikemudian hari.

Pilihan kepada ketiganya sudah merupakan sebuah kontroversi, karena dianggap kurang mengakomodasi warga Betawi sendiri sebagai "pemilik Jakarta". Apalagi kajian dari Soekanto-lah yang dipilih, yang justru lebih kuat menunjukkan hegemoni orang Jawa terhadap Jakarta.

Namun bagian yang paling rasional yang paling bisa diterima adalah penetapan tersebut adalah buah dari kompromi politik. Kompromi antara dua partai politik yang saat itu sangat dominan di ibukota, yaitu PNI dan Masyumi. Apa yang dikatakan Soediro sebagai bagian dari upaya menetralisasi suasana panas, ketika Konstituante masih ribet membahas Piagam Jakarta.

Di sini peran Hamka, sebagai tokoh Islam yang ikut menyetujui penetapan tersebut. Walau oleh sebagai anggota DPR yang berasal etnis Betawi penetapannya agar ditunda hingga tahun 1977 (artinya 20 tahun lagi) agar mendapat kajian sejarah yang lebih valid.

Realitasnya penetapan HUT Jakarta adalah sebuah kontroversi yang menurut saya tak akan pernah selesai. Penetapan tahun 1527 adalah jarak terjauh yang masih memiliki catatan. Lebih dari itu gelap dan pasti gak mau dianggap animistik, setelah itu masak iya Jakarta semuda itu!

Saya sendiri lebih percaya penetapan HUT pada bulan Juni lebih mengakomodasi pada penyelenggaraan Jakarta Fair, yang telah diselenggarakan rutin sejak zaman Hindia Belanda dengan bernama Pasar Gambir, lalu hari-hari ini berubah jadi Pekan Raya Jakarta (PRJ). Biar momentum-nya pas dan barengan.

Halah dasar otak dagang!

***