Partai Setan dan Partai Allah Tak Laku, Kini Poros Beijing vs Poros Mekah

Jumat, 22 Juni 2018 | 18:30 WIB
0
725
Partai Setan dan Partai Allah Tak Laku, Kini Poros Beijing vs Poros Mekah

Agama sering kali menjadi barang dagangan atau kendaraan politik bagi sebagian orang. Mereka menjual ayat-ayat dengan harga yang sangat murah dan menggunakan ayat tersebut untuk memperoleh dukungan massa atau umat untuk tujuan politik dan kekuasaan.

Almarhum Kyai Zainudin MZ pernah mengatakan: lebih banyak orang menggunakan agama untuk kepentingan politik dibanding menghidupi agama itu sendiri.

Maksudnya kurang lebih: banyak orang untuk mencapai tujuan politik dan kekuasaan sering kali menggunakan sentimen agama, menghidupi agama maksudnya: seperti menyantuni anak-anak yatim atau yatim-piatu, bersedekah dan membantu para fakir-miskin.

Karena tahun ini tahun politik,maka suhu politik mulai memanas dengan menggunakan isu-isu atau sentimen agama. Mereka ingin mengulang kesuksesan dalam pilkada DKI tahun lalu. Yang mana isu agama menjadi barang dagangan paling laku dan dibeli oleh para jamaahnya atau umatnya. Dan mereka sukses mencapai tujuan dengan memainkan isu atau sentimen agama.

Dan mereka ingin mengulang kesuksesan tersebut dalam pilpres tahun depan dan isu-isu atau sentimen agama sudah mulai digarap dengan istilah-istilah tertentu. Seperti: Partai Setan dan Partai Allah. Mereka melabeli diri sendiri dengan partai Allah dan menuduh atau melabeli pihak lawan dengan "Partai Setan". Seakan Tuhan berpihak dengan mereka yang menyebut dirinya dengan Partai Allah.

Padahal, semua itu hanya permainan sang politikus untuk memperoleh dukungan atau untuk kepentingan politik dan kekuasaan.

Partai-partai yang dianggap tidak satu aliran atau koalisi, dianggap Partai Setan. Dan hanya partai dan kelompoknya yang mendapat restu dari Tuhan, karena ini demi amar ma'ruf nahimunkar. Kata mereka.

Karena isu Partai Setan dan Partai Allah tidak mendapat respon yang baik dari para pendukungnya dan tidak laku, mereka tidak putus asa untuk membuat istilah baru, yaitu Koalisi Keumatan. Istilah ini dipilih dengan maksud dan tujuan untuk memperoleh dukungan dan respon yang positif dari para jamaah atau umat.

Mereka ingin membuat stigma seakan mereka adalah politikus yang memperjuangan suara umat Islam, padahal semua itu hanya akal-akalan para politikus tersebut untuk meraih kekuasaan dengan atas nama umat. Mereka ingin memisahkan atau membuat jarak dengan partai-partai yang dianggap memusuhi atau tidak mendukung gagasan mereka.

Tidak laku istilah "koalisi keumatan" mereka bikin istilah baru lagi, yaitu "Poros Beijing" dan Poros Mekah". Mereka menuduh pemerintah berkiblat atau berporos ke China, sedangkan mereka mengklaim sebagai poros Mekah.

Tujuan dan maksud dari istilah "Poros Beijing" dan "Poros Mekah"tak lain tak bukan hanya ingin memainkan psikologis massa/umat dan untuk memperoleh dukungan. Sentimen ini dengan harapan akan sukses untuk memperoleh kemenangan politik. Mereka melabeli diri seakan Poros Mekah akan mendapat berkah dari istilah nama Poros Mekah. Padahal negara Arab Saudi sendiri juga berporos ke China dalam perdagangannya dan menanamkan dana investasi di negara China.

Memang isu China seakan menjadi isu yang akan tetap dimainkan atau digoreng sampai pilpres tahun depan. Isu China memang paling laku untuk dijual kepada masyarakat.

Mereka akan selalu memproduksi istilah-istilah baru untuk memperoleh dukungan dengan menggunakan isu atau sentimen agama.Karena tidak ada cara lain lagi yang paling laku dan efektif,selain sentimen atau isu agama. Mereka membuat label sendiri dan  stigma kepada pihak lawan.

Tuhan diajak untuk bersekutu atau memihak kepada mereka, sedangkan pihak lawan dianggap sebagai musuh Tuhan dan harus dikalahkan, kalau perlu Tuhan disuruh menurunkan laknatnya kepada pihak lawan yang dianggap sudah jauh dari nilai-nilai Tuhan.

***