Artikel ini menanggapi tulisan Tarli Nugroho berjudul "Jangan Permainkan Hukum, Pak Presiden!" di PepNews.
Judul dan kalimat pembuka tulisan saudara Tarli Nugroho, menggoda saya untuk menanggapai beberapa hal. Pertama, soal posisi Komjen M. Irawan sebagai Sestama Lemhanas tak bisa disamakan dengan jabatan eselon I seperti disyaratkan Pasal 201 Undang-undang Pilkada.
Kenapa demikian? Sebab Pasal 19 ayat 1 huruf b sudah jelas merinci tentang Jabatan Pimpinan Tinggi Madya, yakni meliputi Sekretaris Jenderal Kementerian, Sekretaris Kementerian, Sekretaris Utama, Sekretaris Jenderal Kesekretariatan Lembaga Negara, Sekretaris Jenderal Lembaga Non Struktural, Direktur Jenderal, Deputi, Inspektur Jenderal, Inspektur Utama, Kepala Badan Staf Ahli Menteri, Kepala Kesekretariatan Presiden, Kepala Kesekretariatan Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Kesekretariatan Dewan Pertimbangan Presiden, Sekda Provinsi dan Jabatan lain yang setara".
Jelas disebut di situ jabatan Sekretaris Utama, dan itu antara lain (cuma) ada di Lemhanas. Jadi status dan kedudukan Iriawan tidak bertentangan dengan pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 (UU ASN). Pasal 20 ayat 2 dan ayat 3 UU ASN, membolehkan anggota Polri/TNI mengisi jabatan ASN tertentu yang ada di instansi pusat, seperti dijelaskan pada Pasal 19 ayat 1 huruf b.
Dalam kasus Iriawan sebagai Pj Gubernur dia adalah pejabat administratif yang mendapat penugasan dari instansi pusat, karena yang meng-SK-kan adalah pemerintah pusat.
Kedua, Tarli menyatakan penunjukan perwira aktif Polri sebagai Pj Gubernur jelas melanggar UU No. 2/2002 tentang Kepolisian. Lo, dia menjadi Pj Gubernur bukan karena polisinya tapi karena jabatannya sebagai Sestama Lemhanas. Itulah kenapada pada Januari lalu, penunjukkan Iriawan dibatalkan karena disadari dia masih berada di struktur Mabes Polri. Tapi begitu di Lemhanas, meski belum pensiun, dia sudah mengemban jabatan sipil.
Karena itu, Mendagri tak lagi meminta izin kepada Kapolri, melainkan ke Gubernur Lemhanas. Tak heran bila Letjen (Purn) Agus Widjojo hadir saat pelantikan Iriawan, sebagai wujud restu.
Agar lebih terang, saya beri contoh kasus penunjukkan Mayjen TNI Tanribali Lamo sebagai Pj Sulwesi Selatan. Pengumuman soal ini disampaikan kepada pers 18 Januari 2008, dan akan dilantik ke esokan harinya oleh Mendagri Mardianto. Sebelumnya, ada dua calon yang dijagokan untuk menjadi Pj Gubernur Sulsel, yakni Direktur Jenderal Otonomi Daerah Depdagri Sodjoangun Situmorang dan mantan Panglima Kodam Brawidjaya Mayjen TNI Syamsul Mapareppa.
Kenapa Tanribali yang dipilih sebagai Pj Gub. Sulsel? Karena dia dianggap putra daerah. Apalagi ayahnya, Achmad Lamo, pernah menjadi gubernur di Sulsel, 1966–1978.
Sejumlah pengamat sempat mengkritik penunjukkan Tanribali karena dinilai menyalahi UU TNI. Kenapa? Karena saat itu dia masih perwira tinggi aktif dengan jabatan Asisten Personalia KSAD.
Guna meredam hal itu, Kapuspen TNI Marsekal Muda Sagom Tamboen menyatakan bahwa Tanribali sebelum dilantik sebagai Pj Gubernur Sulsel sudah beralih tugas sebagai staf ahli Mendagri. Surat penugasan alih tugas dari Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso tertanggal 18 Januari 2008.
"Jadi yang bersangkutan sudah bukan lagi TNI aktif walau belum pensiun," kata Marsekal Muda Sagom Tamboen kepada pers kala itu.
Coba bayangkan, bukan dalam hitungan hari, tapi cuma beberapa jam beralih tugas dan jabatan. Bila dibandingkan dengan Iriawan yang beralih tugas sejak 8 Maret 2018, dan dilantik sebagai Pj Gubernur Jabar pada 18 Juni 2018, mana lebih masuk akal eh akal-kalan?
Bila saudara Tarli Nugroho menyatakan agar kasus 2008 tak dijadikan yurisprudensi, mungkin ada benarnya. Akal-akalan yang cuma dalam hitungan jam itu tak layak ditiru.
Tapi Mayjen Tanribali tak cuma menjabat di Sulsel. Selepas dari sana dia diberi jabatan sepatutnya dari sekedar staf ahli Mendagri menjadi Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri, 2009-2015. Dalam masa jabatan itu, dia tiga kali menjadi penjabat gubernur, yakni di Sulawesi Tengah (31 Maret 2011-...), Papua Barat (2011-2012), dan Maluku Utara (2013-2014). Kini, Tanribali Lamo menjadi calon Wakil Gubernur Sulsel, yang berpasangan dengan Agus Nu'mang.
Selain Tanribali, Mayjen TNI Setia Purwaka juga pernah ditunjuk sebagai sebagai Pj Gubernur Jawa Timur pada 26 Agustus 2008, menggantikan Mayjen TNI Imam Utomo. Sebelumnya, Setia menjadi Inspektur Jenderal Departemen Komunikasi dan Informatika.
Salah satu alasan penunjukkan Setia Purwaka sebagai Pj Gubernur adalah karena dia dianggap mengenal wilayah Jawa Timur. Selain lahir di Kediri, dia pernah menjadi Komandan Kodim Sidoarjo.
Bagaimana dengan Iriawan? Selain diaku sebagai putra daerah Jawa Barat, dia juga pernah berdinas sebagai Kepala Polda, November 2013 – Juni 2015.
Muncul pula pertanyaan, kenapa sih harus menugas TNI-Polri sebagai Pj gubernur. Kenapa pemerintah tak menugaskan pejabat Depdagri? Menurut Mardianto, tak ada keharusan Pj gubernur diisi oleh pejabat Depdagri. "Yang terpenting, dia menjabat eselon I,” ujarnya usai melantikan Setia Purwaka kala itu.
Bila demikian halnya, aturan mana lagi yang dilanggar? Tak bolehkah semua itu menjadi yurisprudensi?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews