Setelah dinyatakan “buron” oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), akhirnya Walikota Blitar Muhammad Samanhudi Anwar dan Bupati Tulungagung non aktif Syahri Mulyo telah menyerahkan diri langsung ke KPK. Mereka membantah melarikan diri.
Syahri sempat mempublikasikan video berdurasi 28 detik yang menyebar melalui aplikasi pesan Whatsapp. Calon bupati petahana itu memakai b”aju kotak-kotak berwarna hitam dan merah. Sambil duduk, ia menyampaikan pesan untuk para relawan dan simpatisannya.
“Kepada simpatisan dan relawan Sahto (Syahri Mulyo – Maryoto Birowo), biarlah saya menjadi korban politik. Saya harap semangatlah berjuang untuk tetap memenangkan Sahto pada tanggal 27 Juni 2018 yang akan datang dan Pak Maryoto bisa dilantik untuk periode yang akan datang, salam dua jari. Lanjutkan,” kata Syahri Mulyo, seperti dilansir Detikcom, Jumat (8/6/2018).
Saat dikonfirmasi usai diperiksa KPK mengenai ucapannya terkait korban Pilkada, Syahri tak mengungkapkan dengan gamblang. “Intinya hari ini di sana kan ada pilkada,” sebutnya. Dari pernyataan itu, Syahri menuding bahwa penangkapan dirinya beraroma politik.
Pilkada Tulungagung 2018 ini diikuti dua kontestan yakni paslon nomor urut satu Margiono – Eko Prisdianto yang diusung koalisi sembilan parpol dan paslon petahana Syahri Mulyo – Maryoto Birowo nomor urut dua yang diusung PDIP dan Partai NasDem.
Meski telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan gratifikasi proyek infrastruktur, Syahri tetap bisa mengikuti pilkada 27 Juni 2018. Ketua KPU Tulungagung Suprihno memstikan, pihaknya tidak akan terpengaruh dengan penetapan status Syahri itu.
“Tidak apa-apa, proses hukum tetap jalan, dan pilkada tetap jalan,” tegasnya, seperti dikutip Merdeka.com, Jumat (8/6/2018). Menurut Suprihno, sesuai dengan PKPU No 15/2017, cabup Bupati Tulungagung bisa dibatalkan dalam pencalonannya karena tiga faktor.
Yaitu: karena terganggu kesehatan, berhalangan tetap, dan dijatuhi hukuman pidana. Terjerat kasus pidana yang dimaksud adalah apabila terkena pidana dengan ancaman hukuman lima tahun dengan putusan in kracht.
Sehingga, apabila Syahri saat ini baru sebatas menjalani proses hukum dan belum menjalani persidangan maupun mendapatkan vonis hukuman, maka calon petahana ini masih tetap bisa mengikuti kontestasi pilkada. Parpol pengusung juga tak bisa mengganti dengan calon lain.
“Pergantian bisa dilakukan maksimal 30 hari sebelum pemungutan suara. Karena masa pencoblosan tinggal 19 hari lagi (27 Juni 2018), jelas tidak bisa dilakukan. Dan, kami tegaskan, proses yang dialami tidak mengganggu pelaksanaan tahapan,” tandas Suprihno.
Apabila paslon Syahri Mulyo – Maryoto Birowo menang dalam Pilbup Tulungagung 27 Juni 2018, berdasarkan undang-undang, calon yang menang dan sudah diputus in kracht dalam peraturan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dibatalkan.
“Apabila calon yang menang terjerat kasus hukum dan sudah berkekuatan hukum tetap maka bisa dibatalkan. Kemudian digantikan oleh wakilnya. Sementara pergantian wakil diusulkan oleh partai pengusung,” pungkasnya.
KPK memastikan kasus Syahri Mulyo tidak berkaitan dengan Pilkada Serentak 2018. KPK mengatakan penetapan Syahri tidak berkaitan dengan pencalonannya yang kedua kalinya. “Jadi nggak ada kaitan sama pilkada itu, bukti-buktinya sudah cukup,” kata Saut Situmorang.
Menurut Wakil Ketua KPK itu, KPK tidak menghendaki bila Syahri tetap bisa maju dalam Pilkada. Tapi, Saut memastikan akan mengikuti aturan yang berlaku. “Kita tak menghendaki itu, tapi kalau kemudian terpilih, dia dilantik di ruang tahanan,” ungkapnya.
“Seperti kan ada kejadian sebelumnya dilantik di ruang tahanan, dimana. Itu kan prosedur-prosedur itu aja,” sebut Saut di Gedung KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, seperti dilansir Detik.com, Minggu (10/6/2018).
Bersamaan dengan Syahri, KPK juga menetapkan Walikota Blitar Muhammad Samanhudi Anwar sebagai tersangka gratifikasi. Meski tidak ditangkap KPK, kedua politisi PDIP ini akhirnya menyerahkan diri.
“Seperti yang sudah kami duga sebelumnya. Artinya, pasti akan datang (menyerahkan diri),” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di Gedung Merah-Putih, Jakarta, Ahad dinihari, seperti dikutip Tempo.co (10 Juni 2018).
Tempo.co mencatat, terdapat sejumlah persamaan dalam operasi tangkap tangan oleh KPK terhadap Samanhudi dan Syahri. Berikut ini sejumlah persamaan OTT terhadap dua kepala daerah itu.
Pertama, penangkapan Samanhudi dan Syahri melibatkan Susilo Prabowo. Kontraktor ini diduga berperan sebagai penyuap untuk sejumlah proyek di dalam lingkungan pemerintah kabupaten/kota. “OTT itu tindak lanjut dari informasi akan adanya penyerahan uang dari seorang kontraktor Susilo Prabowo kepada Agung Prayitno,” kata Saut, Jumat (8/6/ 2018).
Susilo bukan kali pertama dijerat kasus hukum. Direktur PT Moderna Teknik Perkasa ini pernah dijerat dengan dakwaan pelanggaran izin pengelolaan hasil tambang di Blitar. Tapi, Susilo dibebaskan PN Blitar karena tak terbukti.
Di Blitar, KPK menduga Samanhudi menerima suap dari seorang kontraktor bernama Susilo. Dugaan suap itu terkait dengan izin proyek pembangunan SMP di Kota Blitar dengan nilai proyek Rp 23 miliar. Imbalan itu diduga bagian dari 8 persen, menjadi bagian walikota, dari total imbalan 10 persen yang disepakati.
Hal serupa juga dituduhkan pada Susilo yang diduga menyuap Syahri terkait dengan imbalan dari proyek infrastruktur peningkatan jalan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Tulungagung. Syahri adalah Bupati Tulungangung, yang kembali diusung PDIP sebagai calon petahana pada pilbub Tulungagung 2018.
Kedua, KPK menyita sejumlah uang tunai yang digunakan Susilo untuk menyuap. Di Blitar, KPK menyita uang Rp 1,5 miliar di rumah Susilo. Uang itu diduga akan diantarkan kepada Samanhudi melalui perantara Bambang Purnomo. KPK menyita duit Rp 1 miliar, yang diduga akan dikirimkan kepada Syahri melalui perantara Agung Prayitno.
Ketiga, Samanhudi dan Syahri adalah kader PDIP. Samanhudi adalah DPC Blitar dan Syahri, Ketua DPC Tulungagung. Sekjen DPP PDIP Kristiyanto mempertanyakan OTT atas kedua kadernya tersebut.
Sebab, ia menduga penangkapan ini berkaitan dengan kontestasi pemilihan kepala daerah 2018. “Kesan adanya kepentingan politik ini dapat dicermati pada kasus OTT terhadap Samanhudi dan Syahri Mulyo, calon bupati terkuat di Tulungagung,” katanya.
KPK membantah OTT itu terkait dengan pilkada. “Khusus untuk yang terakhir ini (Syahri), kan sudah penyerahan uang ketiga. Jadi, tidak ada kaitan sama pilkada itu. Bukti-buktinya sudah cukup," ujar Saut.
Keempat, KPK tak langsung menangkap Samanhudi dan Syahri dalam OTT itu. Keduanya tak berada di lokasi penangkapan saat operasi berlangsung. KPK hanya menangkap Susilo Prabowo dan istrinya, Andriani.
Bambang Purnomo dan Agung Prayitno sebagai perantara dan Sutrisno, pejabat pemerintah Kabupaten Tulungagung, juga ditangkap. Samanhudi dan Syahri menyerahkan diri dua hari setelah operasi.
Kelima, Samanhudi dan Syahri dijerat dengan pelanggaran yang sama, keduanya melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Ancaman hukuman penjara minimal 4 tahun atau maksimal 20 tahun dengan pidana denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar. Benarkah penetapan kedua politisi PDIP ini terkait dengan kontestasi pilkada, terutama Pilkada Jatim 2018?
Yang jelas, penetapan Samanhudi dan Syahri setidaknya membuat pilar penyokong kekuatan untuk paslon Gubernur – Wakil Gubernur Jatim, Saifullah Yusuf (Gus Ipul) – Puti Guntur Soekarno yang mengikiti kontestasi Pilkada Jatim 2018, bisa terganggu.
Sebelumnya, pilar penyokong Gus Ipul – Puti Guntur lain, Bupati Mojokerto Musfofa Kemal Pasha juga ditangkap KPK terkait korupsi. Mustofa dikenal sebagai politisi PKB “orangnya” Gus Ipul. Kabupaten Mojokerto dikenal sebagai basisnya PKB dan PDIP.
Walikota Mojokerto Mas’ud Yunus yang sedianya maju pada Pilkada Kota Mojokerto 2018 via PDIP sebagai calon walikota petahana juga diciduk KPK karena diduga terlibat korupsi. Pada 17 November 2017, KPK menetapkannya sebagai tersangka.
Jauh sebelumnya, KPK menetapkan Walikota Madiun Bambang Irianto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pada Oktober 2016. Ia menjadi tersangka pada proyek pembangunan Pasar Besar Madiun dengan biaya sebesar Rp 76,5 miliar, dan divonis 6 tahun penjara.
Selain Bambang, pilar penyokong Gus Ipul – Puti Guntur lainnya adalah Walikota Batu Eddy Rumpoko yang ditangkap KPK dengan dugaan menerima suap terkait pengadaan barang dan jasa di Pemkot Batu dari rekanan pada Sabtu (16/9/2017).
Politisi PDIP lainnya yang diciduk KPK adalah Bupati Nganjuk Taufiqurrahman yang dijerat oleh KPK dalam OTT pada Rabu (25/10/2017). Ia dituduh menerima suap Rp 298 juta terkait perekrutan dan pengelolaan ASN/PNS di Kabupaten Nganjuk pada 2017.
Masih ada lagi pilar penyokong Gus Ipul – Puti Guntur yang diciduk KPK. Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko terkena OTT pada Sabtu (3/2/2018). Cabup petahana dari Partai Golkar ini juga dikenal sangat dekat dengan Gus Ipul.
Walikota Malang yang juga petahana calon walikot Mohammad Anton, politisi PKB Kota Malang juga diciduk KPK terkait korupsi bersama sejumlah anggota DPRD Kota Malang. Itulah sebagian pilar penyokong Gus Ipul - Puti Guntur di kawaan Mataraman dan Arek yang berususan dengan KPK.
Adakah pilar penyokong Gus Ipul – Puti Guntur lainnya yang juga akan diciduk KPK? Hanya KPK yang tahu siapa yang pantas di-KPK-in. Yang jelas, langkah KPK ini bisa memuluskan jalan paslon Khofifah Indar Parawansa – Emil Elestianto.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews