Mengenang Satu Tahun "Kepergian" HAI Edisi Cetak

Minggu, 10 Juni 2018 | 06:37 WIB
0
779
Mengenang Satu Tahun "Kepergian" HAI Edisi Cetak

"Siapa yang Hatinya Paling Bersedih Saat Edisi Cetak Terakhir Majalah HAI?"

Lantai 5 Gedung Gramedia, Jalan Panjang, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Jam menunjuk pukul 5 sore kurang beberapa menit, pada Rabu, 7 Juni setahun yang lalu. Saat menuju Ruang Redaksi Majalah HAI - tempat acara buka puasa bersama "merayakan" edisi cetak terakhir HAI - masih tampak sepi.

Biasanya, memang, Rabu adalah hari rapat redaksi sehari setelah HAI terbit di pasar. Rapat redaksi menjadi tempat mengevaluasi majalah HAI yang lagi terbit sekaligus mempersiapkan isi untuk edisi berikutnya.

Saat dipimpin Mas Wendo, terkenal dengan nama Arswendo Atmowiloto, tak ada tempat bagi wartawan yang datang telat, pintu ruang rapat segera dikunci pada jam yang ditentukan. Dan buat wartawan yang tanpa ide siap-siap bakal kena semprot Mas Wendo.

Di ruang rapat anggota redaksi bisa "berkelahi" membahas ide-ide yang muncul. Bahkan sampai gebrak-gebrak meja. Tentu saja Mas Wendo yang paling sering gebrak meja.

"HAI itu jualannya ide, jualan gagasan," kata Mas Wendo dalam sebuah rapat redaksi. Tanpa ide HAI itu "tongkring", lanjut Mas Wendo sembari menggebrak meja untuk membangunkan ide-ide anak buahnya.

Idiom "tongkring" adalah kosakata baru yang keluar begitu saja dari mulut Mas Wendo. Mungkin kata "tongkring" berarti "nothing", tak berarti. "Tanpa ide HAI itu 'nothing', tak berarti."

HAI adalah ide besar bagi generasinya. Dari ide besar itu lahir istilah Pers Abu-Abu, Pesta Pelajar HAI, Save Our Ciliwung, Konser Europe, NBA Tour hingga menemukan kata tawuran untuk perkelahian pelajar dan mempopulerkan lagi istilah ABG (Anak Baru Gede) dalam laporan utamanya.

Mengapa ide-ide besar lahir di HAI dan menginspirasi generasinya? Dharmawan Handonowarih, salah satu wartawan yang khusus direkrut Mas Wendo untuk mengurusi dunia sekolah dan dinamika pelajar, mencatat ada tiga faktor mengapa ide-ide tumbuh di HAI.

"Pertama, kebebasan dan kemerdekaan berpikir. Kedua, kepeloporan. Ketiga, memberi ruang bagi tumbuhnya bakat-bakat baru," ungkap redaktur berinisial DHW ini yang disebut sebagai "redaktur killer" oleh para reporter dan koresponden HAI.

Maka dari HAI lahir generasi yang kini jadi orang penting di negeri ini. Seperti duet Anies Baswedan - Sandiaga Uno yang menang pilkada dan Fadli Zon, politikus yang suka asal ngomong.

Pendapat Anies suka dikutip HAI. Sandi pernah jadi sampul muka HAI yang berpose gagah dan macho dengan memamerkan bulu ketiaknya saat HAI berubah menjadi majalah khusus cowok dengan jargon "Bacaan Paten Cowok Tulen" yang sempat kontroversial. Sementara Fadli Zon "mengemis" kepada Dharmawan supaya tulisannya bisa dimuat di Halaman Opini.

Buat M.M. Tristiastini (inisial TRIS) edisi cetak terakhir HAI yang terbit pada bulan Juni 2017 ini merupakan "kematian tragis satu-satunya majalah remaja yang menginspirasi sebuah bangsa."

"HAI itu majalah. Bentuknya cetakan. Kalau dalam bentuk cetak tidak terbit lagi, buat saya HAI hanya tinggal nama," ungkap Tris yang sengaja tak mau datang ke acara karena tahu ia pasti akan menangis.

Kesedihan juga dirasakan Redaktur Otomotif Agus Langgeng alias AL. Kerajaan Bisnis Otomotif Group yang sukses dipimpinnya menjadi tulang punggung Kelompok Majalah KOMPAS GRAMEDIA bermula dari "nebeng" ruang rapat redaksi HAI yang jadi kantor saat ia mempersiapkan lahirnya Tabloid Otomotif.

AL, yang biasa dipanggil Chief oleh anak buahnya, tak mau banyak berkomentar. "Mendingan kita makan bakso aja," kata AL didampingi fotografer lepas HAI Nanang Baso alias NB.

Ada yang bilang jangan tanyakan mengapa "Cuma HAI yang Bisa Begini" akhirnya menjadi "mati tragis dengan cara seperti ini".

Saya tak percaya teori "senja kala media cetak" sebagai rasionalisasi perpindahan platform HAI dari media cetak menjadi format digital sekarang ini.

Saya lebih percaya apa yang dikatakan Mas Wendo: HAI itu tempatnya ide dan gagasan besar. Majalah HAI berhenti cetak itu karena ide sudah mati! Tongkring.

***

Abi Hasantoso, inisial abiha atau ABI, staf redaksi Majalah HAI 1988 - 1994