Ahok melarang acara Sahur on The Road, karena berpotensi mengganggu khusyuknya Ramadhan. Tapi Ahok dituduh anti Islam. Dia diserang sebagai pemimpin yang membatasi kegiatan keagamaan. Salah satu penyerangnya adalah anggota DPD Fahira Idris.
Lalu tahun ini Pemda DKI yang katanya pro-Islam membebaskan acara Sahur on The Road. Apa yang terjadi? Berbagai tawuran terjadi. Fasilitas umum rusak. Ada juga korban.
Malam-malam Ramadhan kita dihiasi oleh orang berlarian di jalanan. Mengacungkan-acungkan senjata tajam bersiap untuk saling melukai.
Pemda DKI akhirnya sadar, Islam tidak bisa dibangun dengan cara yang barbar. Dia bingung mengapa kegiatan yang katanya 'islami' itu malah memicu tawuran.
Bukan hanya tawuran. Peserta Sahur on The Road juga melakukan kegiatan vandalisme dengan mencoret-coret jalanan.
Jujur, setiap mendengar ada kerusakan akibat Sahur on The Road, saya adalah salah satu orang yang ikut merasa bersalah. Ini bermula saat saya masih jadi aktivis HMI dan pengurus sebuah LSM yang konsen pada pendidikan dan kemiskinan.
Saya ingat, waktu itu sedang ngobrol-ngobrol iseng menjelang Ramadhan. Ada Indra Jaya, ada Sudarmarianto, ada juga bang Irwan Awing dan beberapa teman lainnya. Mulanya kita berfikir, jika ada orang gak bisa puasa karena sakit, uzur atau hamil, dia harus membayar fidyah. Memberi makan 60 orang fakir miskin. Pertanyaanya, kemana kita bisa menyalurkan pemberian makan itu agar efektif.
Mungkin orangtua kita yang sakit. Mungkin saudara. Atau siapa saja yang tidak sanggup berpuasa. Tidak ada salahnya membayar fidyah itu.
Kalau disiapkan untuk makanan berbuka, sudah terlalu banyak yang mempersiapkan. Gimana kalau untuk makan sahur saja? Bagikan makanan untuk bayar fidyah kita ke orang-orang yang membutuhkan pada saat sahur.
Lalu saya mencetuskan ide dibuatnya acara Sahur on The Road. Indra membantu membuat desain logo spanduk. Bang Awing seperti biasa menjadi motor kegiatan. Juga Sudarmarianto. Dan setiap malam minggu Ramadhan, kita kumpulkan makanan bungkus untuk dibagikan.
Di ujung acara peserta malah sahur bersama di perkampungan kumuh. Kadang sahur bersama Pemulung di sekitar Cikini. Kadang bersama anak yatim di Panti Asuhan.
Saya ingat, karena ini merupakan gerakan awal, waktu itu sempat diliput oleh sebuah stasiun TV. Diberitakan sebagai gerakan berbagi yang baik. Dari mulai teman-teman cewek yang sedang memasak sampai bersahur di lapak pemulung ikut digambarkan dalam tayangannya.
Senengnya minta ampun. Wajah kita yang unyu-unyu mengibakan itu tetiba nongol di TV, kalaupun cuma sekilatan doang. Maaakkk, masuk TV, makkk...
Setelah beberapa Ramadhan, kami sudah tidak lagi mengadakan acara tersebut. Selain karena sudah sama-sama sibuk, juga karena makin banyak orang yang melakukan hal serupa. Sahur on the Road dimana-mana.
Tapi itu dulu. Sahur on the Road tidak menjadi pemicu apa-apa. Kami bisa membagikan makan sahur. Kami bisa sahur bersama di lapak pemulung.
Sekarang ketika acara itu jadi semacam show off anak orang berada yang mau sedekah, akibatnya saling ada gesekan. SOTR jadi gak asyik lagi. Bahkan jadi lebih mengerikan dampaknya.
Makanya ketika mendengar Jakarta terjadi tawuran saat SOTR, saya ikut merasa bersalah. Saya dulu ikut meletakkan ide acara itu awalnya. Lalu berkembang. Dicontoh banyak komunitas.
Ketika Ahok melarang acara SOTR saya gak merasa Ahok membatasi kegiatan Islami. Saya memahami logika dan kemungkinan yang timbul jika itu terus dijalankan. Saya bahkan jadi pembela Ahok.
Saya mulai sadar, kegiatan agama yang dipakai untuk menunjukan power memang bisa berbahaya. Bahkan sekadar rombongan memgantar jenazah saja, kita bisa berlaku sewenang-wenang di jalan. Alasannya, karena agama memerintahkan setiap jenazah harus secepatnya dimakamkan.
Jadi SOTR itu, bisa saja dijadikan kegiatan show, kegiatan yang menunjukan massa. Power.
Dan kini Sandiaga Uno, pejabat yang ngaku pewakiki aspirasi muslim itu, juga melarang SOTR.
"Sekarang bukan cuma sahur. Kadang ada sholat jumat on the road juga, mas," ujar Abu Kumkum. "Mas, tahu itu ide siapa?"
"Gak tahu, kang."
"Itu idenya imam on the road."
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews