Kemunafikan, Penyakit Kronis Politikus yang Susah Terobati

Selasa, 5 Juni 2018 | 05:32 WIB
0
637
Kemunafikan, Penyakit Kronis Politikus yang Susah Terobati

Penulis merasa semakin lama mengamati perkembangan politik di Indonesia, semakin pengin muntah rasanya. Maaf, sorry, nyuwun ngapunten.

Terus terang belum ada simpati sedikit pun melihat kiprah politikus apalagi yang sesukanya menebarkan berita hoaks hanya karena ingin menang. Penulis yakin mereka para politikus itu bukan orang bodoh, mereka cerdas, pandai dan mempunyai pendukung, makanya bisa menjaring massa dan terpilih sebagai wakil rakyat.

Dan maaf, sekali lagi saya menuliskan tentang politikus itu adalah representasi dari kemuakan saya pada wakil rakyat yang lagi – lagi mengecewakan.

Ada beberapa alasan penulis kecewa :

  1. Sebagai rakyat yang menggantungkan harapan tinggi pada wakil rakyat agar mampu menyalurkan aspirasi , memberikan mandat besar agar mereka bekerja keras membangun bangsa, menyatukan suara yang terpecah dan merajut tenun kebinnekaan mereka sibuk sendiri dengan kepentingan masing-masing, terutama partai politik yang terus berulah, sibuk menyerang dan menjelek-jelekkan lawan yang sekiranya tidak segaris dengan kebijakan partainya.
  2. Mereka sibuk dengan dikotomi agama dan politik. Bahkan mungkin malah mencampuradukkan kepentingan agama dengan politik. Dunia politik yang cenderung abu-abu, hanya kepentingan yang setia terus mengawal mereka, sedangkan hati nurani hampir tidak pernah didengar. Lebih banyak menipu, bersandiwara dan saling tikam agar mereka bisa menang apapun caranya. Apakah hati nurani mereka begitu tumpul silau oleh nikmatnya kedudukan sebagai wakil rakyat?

Dunia begitu meradang menyaksikan saling sikut politisi saat ini. Tidak agamawan, tidak mereka yang selalu berbalut oleh dresscode “orang suci”, selalu menampilkan dua muka berbeda. Di wajahnya tampak seperti ada aura “suci” tetapi mulut dan kelakuan politisnya kontra, malah berani membayar mahal informasi, orang-orang yang berusaha memutarbalikkan fakta dan membuat fitnah hanya untuk membuat dirinya menang.

Berbagai cara dilakukan untuk mengaduk-aduk informasi, memotong dan menambah isu yang tidak benar menjadi seakan-akan benar.

  1. Politik itu sungguh tidak tahu bayangkan kemarin mulut mereka itu tajam menghajar penguasa dan musuh politiknya dengan kata-kata “Nyelekit”, nyinyir, dan menyakitkan hati, tapi saat lain mereka akhirnya luluh, memuji-muji dan menjadi kawan seakan-sahabat lama yang jarang bertemu. Memang benar kata orang politik itu hanya setia pada kepentingan. Di saat kepentingan mereka terakomodasi bisa jadi mereka tidak lagi nyinyir, malah memuji-muji. Kepentingan yang sama membuat tadinya musuh jadi berbalik arah 360 derajat. Pernah lihat tokoh seperti itu” Anda cerdas karena pasti tahu siapa orang-orang itu” . Maka urat malu tidak usah ditanyakan karena merekapun tentu “sudah diobral”.
  2. Bayangkan ada kepentingan yang lebih besar menyangkut persatuan dan kesatuan bangsa tetapi mereka malah lebih asyik mengaduk –aduk emosi masyarakat sehingga seakan-akan elite politisi itu dibelah menjadi dua. Sang Incumbent dan sang penantang yang sudah gencar menyerang dengan berita- berita panas, berita-berita hoaks dan mencari titik lemah petahana agar jatuh reputasinya dan mereka bisa mengambil alih simpati rakyat. Bahkan untuk memuji keberhasilan lawan politiknya mereka tidak sanggup. Pertarungan politisi itu tidak pernah menampakkan sebagai sosok”petarung sejati” yang berani mengaku kalah dengan sportif dan jantan, selalu ada buntut masalah setelahnya sehingga dendam itu terus dibawa untuk menyerang dan mengganggu roda pemerintahan yang seharusnya menjadi tanggungjawab bersama.
  3. Komponen bangsa terdiri dari beberapa pilar. Ada rakyat, wakil rakyat, hukum, pemerintah, agama dan pendidikan dan masih banyak pilar lain yang diperlukan untuk memperkuat pondasi rumah bangsa. Jika pilar - pilar itu saling bersinggungan, saling serang dan tidak mau bekerja sama akan membahayakan rumah yang seharusnya kokoh. Ketika kekuatan yudikatif tidak mau kompak dengan eksekutif, dan legislatif lebih sibuk menyerang eksekutif tentu berbahaya bagi negara.

Indonesia susah payah dibangun oleh para pendiri bangsa ini, tapi sekarang banyak politikus cenderung nekat untuk melemahkan negara melalui  informasi-informasi jahat yang sengaja didengungkan agar masyarakat kecewa dengan pemerintah, dengan penguasa dengan mereka yang dianggap tokoh jujur dalam mengelola negara.

Para petualang politik itu sangat senang bisa mengaduk-aduk emosi masyarakat. Makanya tokoh –tokoh yang disebut Sengkuni, Durna (dalam lingkup pewayangan Jawa), Cakil (lawan abadi ksatria seperti Arjuna) selalu menjadi simbol kekisruhan dan jago “nyinyir tingkat dewa”.

[irp posts="16454" name="Ideologi Itu Bernama Kemunafikan, Manusia Tak Bisa Lepas Darinya"]

Apapun, jika ternyata para politisi itu tidak pernah menyatukan suara nuraninya dengan informasi yang sengaja dilontarkan ke rakyat dan akhirnya saling serang dan memecah belah maka mereka tetaplah cerminan orang munafik. Maka jangan salahkan rakyat jika menganggap wakil rakyat itu adalah sekumpulan orang-orang munafik.

Silakan buktikan bahwa Anda bukan politikus munafik. Apakah Anda seberani AR Fahchrudin, Jendral Hoegeng. Mengirimkan keteladanan yang susah ditiru oleh agamawan dan politikus.

Penulis amat rindu jika politikus itu, elite politik itu saling menghargai saling respek dan saling memuji, jikapun nanti ada kontes memilih pemimpin bangsa dilakukan dengan cara elegan, tidak saling serang pibadi, tidak membangkitkan sejarah yang sebetulnya tidak terkait tetapi diutak-atik gathuk sehingga rakyat merasa termakan isu tersebut.

Penulis percaya Pancasila tetaplah menjadi dasar negara yang mepersatukan bangsa, bukan budaya luar yang belum tentu cocok dengan Indonesia.

Salam Damai Selalu.

***