Ideologi Itu Bernama Kemunafikan, Manusia Tak Bisa Lepas Darinya

Minggu, 3 Juni 2018 | 05:59 WIB
0
798
Ideologi Itu Bernama Kemunafikan, Manusia Tak Bisa Lepas Darinya

Berbicara soal ideologi memang rumit. Di satu sisi, ia dianggap sebagai dasar dari sebuah kelompok, termasuk dasar filosofis, tata nilai dan tata kelola hidup sehari-hari. Di sisi lain, ideologi adalah kesadaran palsu yang terwujud di dalam kesalahan berpikir tentang dunia. Ideologi seolah kebal kritik, dan bisa digunakan untuk melenyapkan orang-orang yang berbeda pandangan.

Kedua paham tersebut tak bebas dari kemunafikan. Seringkali, keduanya merupakan wujud nyata dari kemunafikan itu sendiri. Ketika kata-kata indah jauh dari tindakan nyata, kemunafikan lalu tak terhindarkan. Ia bagaikan bau menyengat yang menganggu hidung orang-orang waras.

Mungkin memang hidup manusia tak pernah lepas dari kemunafikan. Soalnya lalu bukan terbebas sama sekali, tetapi soal kadar kemunafikan yang ada. Ketika ketelanjangan kemunafikan tak lagi bisa ditutupi, rasa muak muncul di dalam perut kolektif masyarakat. Adakah politik yang bebas kemunafikan? Jawabannya, seperti kata Bob Dylan, ada di dalam angin yang bertiup.

Kemunafikan Ideologi

Ketika sebuah kelompok mengaku bertuhan, namun menindas dan memelihara terorisme melalui sistem pendidikannya, kemunafikan pun tak terhindarkan. Yang dijadikan tuhan lalu bukanlah pemilik semesta, tetapi uang dan kekuasaan. Ketika uang dan kekuasaan dijadikan tuhan berhala, tata kelola hidup bersama pun jatuh ke dalam tegangan, konflik dan perang terus menerus.

Ketika sebuah kelompok mengaku berperikemanusiaan, tetapi diam saja melihat pemecatan ribuan buruh tak berdaya, kemunafikan langsung tercium di udara. Kemanusiaan menjadi kata indah yang menutupi penindasan. Kemanusiaan menjadi propaganda yang digaungkan demi menutupi bau busuk beragam kesalahan kebijakan yang berujung pada pelanggaran hak-hak dasar hidup manusia.

Ketika sebuah kelompok mengaku demokratis, tetapi mengabaikan suara rakyat, itu jelas adalah kemunafikan.

Ketika rakyat masih kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, masih memperoleh pendidikan yang bermutu rendah dan pelayanan kesehatan yang kurang memadai, namun para pemimpin bagi-bagi uang dan kekuasaan ke teman-temannya, kemunafikan besar langsung tercium.

Ketika banyak orang masih hidup di bawah garis kemiskinan, dan para penguasa membagikan uang rakyat kepada kroni-kroninya, tanpa mempertimbangkan akal sehat dan rasa kepantasan, dimana letak keadilan sosial?

Yang langsung tercium adalah kemunafikan dan kebohongan belaka. Dimana letak keadilan sosial, ketika para penguasa memperkaya orang-orang kaya, demi mengamankan kekuasaan mereka?

Ideologi Kemunafikan

Pada akhirnya, ideologi yang luhur itu kembali digunakan untuk menutupi bagi-bagi uang dan kekuasaan di kalangan elit politik semata. Sejarah seperti mengulang dirinya sendiri. Ketika ideologi yang luhur tersebut jatuh ke dalam lingkaran politik busuk, ia pun bisa dengan mudah digunakan untuk membenarkan beragam bentuk kekerasan, mulai dari korupsi, nepotisme sampai dengan penculikan dan pembunuhan.

Jika boleh jujur, mungkin satu-satunya ideologi abadi di dalam politik adalah kemunafikan. Kata-kata boleh luhur. Penampilan boleh simpatik dan meyakinkan. Namun, bau kemunafikan tak bisa disangkal keberadaannya.

Kemunafikan bisa dihindari, jika para penguasa dan rakyat sebagai keseluruhan memahami inti terdalam dari ideologi yang ada. Pemahaman permukaan akan menghasilkan kedangkalan, dan berujung pada kesalahan pembuatan kebijakan. Kesalahan ini akan menusuk rasa keadilan masyarakat. Penguasa pun akan kehilangan dukungan sahnya dari rakyat, jika ketidakadilan terus didiamkan.

Mau sampai kapan?

***