Dahlan Iskan Menjawab (8): Mahathir, Akal Sehat dan Nasionalisme

Minggu, 3 Juni 2018 | 05:34 WIB
0
648
Dahlan Iskan Menjawab (8): Mahathir, Akal Sehat dan Nasionalisme

Jadi Fikri,  Soal peternakan kolektif, apa yang menghalangi Indonesia bisa melakukan ini?

Tanggapan Dahlan Iskan:

Hanya satu; kemauan.

Panjang dikit; sudah ada beberapa inisiatif menuju ke situ. Misalnya yang dilakukan di Boyolali dan Klaten (uhuk uhuk saya kehilangan nomor tilponnya, judul tulisan saya dulu rasanya: hotel sapi). Atau yang dirintis mas Dalu di Surabaya, Disway dua bulan lalu).

Kita doakan mereka tekun dan sukses.

Saya cenderung dilakukan oleh swasta madani seperti itu. Ini menyangkut kepercayaan dan sustainability. Jangan oleh pemerintah. Yang birokratis.

Badan Zakat bisa memilih penyelenggara peternakan seperti itu yang serius dan teruji. Bantuan ternak untuk orang miskin juga bisa berwujud dengan cara itu: orang miskinnya sekalian jadi tenaga kerjanya.

Perlu pengusaha ulet dan mandiri. Bukan yang coba-coba dan iseng. Juga jangan yang motivasinya politik. Ternak itu benda hidup. Tidak mudah mengelolanya.

Arif Purnomosidi, membayangkan makan makanan Arab yang berlebihan dan terkena aorta dissection…. Apakah ada gangguan aktivitas terkait dengan itu?

Tanggapan Dahlan Iskan:

Saya lebih hati- hati sekarang. Malam itu, sambil meraih kambing, otak saya menegur: jangan emosi. Lalu makan sekedarnya. Dan lagi sudah terlalu malam. Sebenarnya saya juga harus disiplin: sudah harus tidur jam 11 malam. Tapi sesekali rasanya ok. Itu hambatan utama saya untuk selalu ikut tarawih berjamaah di Amerika. Rata-rata baru selesai jam 23.30.

Saya membawa alat pengukur tekanan darah. Setiap hari test sendiri. Setelah makan kambing itu pagi-pagi saya test. Alhamdulillah: 122/63. Itu juga karena saya lebih disiplin minum obat. Belum pernah tekanan darah saya sebagus itu. Sebelum minum obat dulu, sebelum terkena aorta dissection, tekanan darah saya sekitar 155/95.

Bukan hanya kambing. Saya juga mengurangi drastis daging sapi. Padahal itu kesukaan saya dulu. Yang juga ketat saya lakukan adalah: hampir tidak minum apa pun kecuali air putih hangat atau tidak dingin. Hampir berhenti total minum coca cola atau apa pun yang ada dalam botol/kaleng. Di Amerika ini sesekali saya minum jus jeruk atau apel. Saya tahu: makanan dan minuman di Amerika dikontrol keras kualitas isinya.

Kalau lagi nyetir jarak jauh kadang saya paksakan berhenti di rest area. Setidaknya tiap sekitar 2 jam: sekalian pipis.

Wawan, yang membuat saya iri adalah nasionalisme mereka. Mahathir bersatu dengan Anwar Ibrahim (yang sebelumnya musuhan). Clare R. Brown sang jurnalis berani membuat berita. Seluruh etnis bisa bersatu melawan Najib Razak. Apa yang mendasarinya? Padahal kemerdekaan mereka tidak seperti Indonesia yang berdarah-darah. Tidak pula ada Pancasila dan sebagainya.

Komentar Dahlan Iskan:

Ada yang bisa jawab? Please. Rasanya setiap bangsa punya nasionalisme masing-masing. Dengan cara masing-masing. Di Amerika nasionalisme dan patriotismenya juga luar biasa. Dengan cara mereka: menjadikan bendera sebagai alas duduk-duduk tidak dikecam sebagai tidak nasionalis. Juga tidak dihukum.

Di Tiongkok nasionalismenya juga luar biasa. Saya bayangkan: seandainya Amerika tetap melarang ekspor chip ke Tiongkok. Dan Tiongkok gagal menciptakannya. Lalu ditemukan cara bikin hp tanpa chip. Lalu rakyat diminta ganti hp semua: rasanya akan dilakukan. IPhone tidak seberapa laku, Samsung keok. Huawei nomor satu. Oppo nomor 2. Xiaomi nomor 3.

Nasionalisme kita juga tinggi. Lihatlah setiap ada bencana: solidaritas kita tinggi. Saya berkesimpulan: tingginya nasionalisme terkait dengan kemajuan sebuah negara. Nasionalisme dimulai dari kebanggaan. Bukan lewat paksaan. Atau seruan.

Umar Faridz El Hamdy, awal 1MDB bukan perusahaan negeri Selangor Pak, tapi negeri Terengganu.

Tanggapan Dahlan Iskan:

Anda betul. Trims. Meski saya beberapa ke Terengganu, tapi ternyata lebih sering ke Selangor. Hahaha… terbawa.

Amir Acha, berapa hari menyiapkan tulisan yang dept reporting seperti ini? Saya berpikir pasti berhari-hari, dengan latar tokoh dan adegan yang ada, bisa berbulan waktu nulisnya.

Komentar Dahlan Iskan:

Nulisnya sih 2 jam selesai. Tapi Anda betul mengumpulkan bahannya berbulan-bulan. Bahkan tahun. Meski pun tidak sengaja untuk mengumpulkan.

Yang intensif sejak tiga bulan lalu. Saat saya dua kali ke Malaysia. Kepergian saya bukan untuk itu. Tapi kan dapat bahan-bahan sekitar itu.

Dua tahun lalu saya juga keliling keenam negara bagian. Berarti tuntas sudah: sudah ke semua negara bagian di Malaysia.

Tanpa semua itu tidak mungkin bisa menulis kisah tersebut. Meski pun saya banyak juga membaca dari begitu banyak media dan bahan bahan cerita.

Tapi sebaiknya jangan sering-sering menulis panjang seperti itu: bisa balik jadi wartawan lagi…

***