Arus Industry 4.0 Tak Terbendung, Kita Harus Siapkan Apa Saja? (1)

Sabtu, 2 Juni 2018 | 21:58 WIB
0
768
Arus Industry 4.0 Tak Terbendung, Kita Harus Siapkan Apa Saja? (1)

Sesuai Moore’s Law yang meramalkan perkembangan industri teknologi, terutama yang berhubungan dengan dunia informasi, dunia akan bergerak makin cepat dengan gerak eksponensial. Jika dulu kita harus menunggu puluhan tahun untuk sebuah penemuan baru, kini pendaftaran paten teknologi bekerja super sibuk mengurusi berbagai request yang masuk tiap beberapa menit sekali.

Dalam kondisi seperti ini, jelas hanya bangsa yang cepat dan tanggap menghadapi arus seperti bah ini yang akan sanggup menjadi pemimpin perubahan dunia. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia sebenarnya tidak perlu rendah diri karena merasa selama ini tertinggal dalam perkembangan teknologi. Justru masuknya tren Industry 4.0 menjadi momen bagi kita untuk ambil alih kendali dan menjadi pemimpin di Asia, atau setidaknya di ASEAN.

Memang, selama ini banyak yang mengeluh, jangankan untuk menjadi pemimpin teknologi informasi. Untuk mengupayakan seluruh Indonesia supaya Zero Percent Blank Spot koneksi internet saja kita kewalahan. Sementara Industry 4.0 butuh setidaknya koneksi 4G atau kalau bisa bahkan 5G. Bagaimana mungkin ini bisa tercapai kalau infrastruktur saja kita masih ketinggalan? Bagaimana mencetak engineer dan technopreneur tangguh kalau mau dapat sinyal GSM di daerah saja kita harus memanjat pohon kelapa dulu?

Tunggu dulu…

Sebenarnya kita harus bersyukur bahwa bangsa kita punya dua modal besar. Pertama karakter bangsa yang kreatif dan senang mengakali. Kedua adalah saat ini kita punya kepemimpinan yang tegas, transparan, dan berkinerja cepat. Itu adalah dua kapital luar biasa kita untuk mengejar ketertinggalan.

Sesuai dengan teori Bourdeau, ada tiga kapital besar dalam kehidupan; Economy Capital, Social Capital, dan Cultural Capital.

Kita mungkin masih harus mengejar dalam hal economy capital, namun kita punya modal jejaring sosial luar biasa dan bakat-bakat jenius dalam memanfaatkan teknologi. Buktinya Jakarta bisa menjadi ibukota Twitter di Asia. Di balik segala kekurangan, diam-diam Indonesia sebenarnya punya peran besar dalam lahirnya internet.

Pada saat bayi Internet baru lahir pada akhir 80an, mahasiswa dan dosen-dosen teknik kita sudah ikut dalam perjuangan perang kebebasan informasi.  Protokol Internet (IP) pertama dari Indonesia, UI-NETLAB (192.41.206/24) didaftarkan oleh Universitas Indonesia pada 24 Juni 1988. 

RMS Ibrahim, Suryono Adisoemarta, Muhammad Ihsan, Robby Soebiakto, Putu, Firman Siregar, Adi Indrayanto, dan tak mungkin ketinggalan, Onno W Purbo, menjadi pejuang bambu runcing untuk mengupayakan dunia yang borderless di tengah arus pengekangan yang mewarnai akhir hayat pemerintahan Orde Baru. Ide mengenai Internet sudah muncul sebagai artikel-artikel pendek di Majalah Elektron buatan mahasiswa ITB tahun 1989. Tahun 1994, saat dunia baru mulai meributkan trend berinternet ria, Indonesia sudah punya ISP pertama bernama IndoNet.

Pak Onno adalah aktivis kebebasan informasi saat pemerintah waktu itu getol melarang layanan internet dengan semangat indie. RT RW Net yang bikin provider profesional ketar ketir harus menghadapi berbagai ancaman hukum. Namun hingga kini gerakan ini eksis dan banyak pendukungnya, sembari memupuk bakat-bakat baru yang senang mengakali keterbatasan menjadi sebuah peluang. 

(Bersambung)

***

Kartika Djoemadi