Membebaskan Stigma "Masjid Itu" sebagai Sarang Terorisme

Kamis, 24 Mei 2018 | 21:12 WIB
0
700
Membebaskan Stigma "Masjid Itu" sebagai Sarang Terorisme

Tak peduli Trump sebagai sosok iblis raksasa yang mau merebut tanah al-Quds dengan keputusan sepihak, atau Hillary Clinton yang telah sukses mendesain kerusuhan di Libya dan membidani kelahiran ISIS di Irak dan Suriah. Kelompok teroris di Indonesia tidak sadar bahwa mereka telah dikendalikan oleh kekuatan negara adidaya ini. Meski faktanya, Trump pernah mengatakan Hillary Clinton sebagai setan pada debat kandidat Calon Presiden Amerika 2016 lalu.

Karenanya, boleh jadi terorisme itu adalah patologi sosial yang dibentuk oleh Amerika, boleh juga kesengajaan Amerika membentuk musuh imajiner, untuk mengatasi sindrom "the single superpower": sebuah kecemasan akan kehancuran involutif karena tiadanya lagi musuh yang harus dilawan dalam merebut atau mempertahankan dominasi.

Seorang Profesor Linguistik Noam Chomsky memberi analisis mengenai hal ini sebagai suatu ambisi Barat, di bawah komando Amerika Serikat untuk mengambil alih seluruh jejak penjajahan masa lalu ke dalam satu persekutuan kaum kapitalis dunia. Karena, kapitalisme dapat berkembang dengan menciptakan musuh, baik riil maupun rekaan.

Musuh rekaan ini didesain sehebat mungkin, tersistem dengan jaringan-jaringan tertentu. Teror disusun secara cerdik, cerdas, masif, sistematis, dan sofistikat lewat sebuah simulacra, mencitrakan diri sebagai mujahid dan orang paling berislam dalam wajah virtual dunia maya yang nantinya bermetamorfosa menjadi sebuah realitas: kenyataan teror.

Hal ini menjadi sebuah realitas ciptaan yang sekedar menjadi pre-text bahwa ia seorang muslim sejati, dan bagi orang yang menentang dan menolaknya adalah kafir, halal darahnya.

Faktanya, saat ini berceceran di dunia maya berbagai berita dengan pilihan diksi propaganda. Berita-berita itu sudah menjelma menjadi sebuah retorik nyata yang dimanfaatkan oleh sebagian dari kita untuk kepentingan politik dan perebutan kekuasaan.

Jika begitu, kelompok teroris dan radikalis diasuh dong?

Teroris itu diasuh

Ketika anak masih di usia dini atau balita seorang ibu akan mendidiknya dengan pola asuh Authoritative Parenting (parenting otoritatif). Semua tindak tanduk, perilaku, karakter, dan Intelektual anak dibangun oleh pola asuh otoriter seorang ibu atau ayah. Pola asuh itu, biasanya dilakukan oleh orang tua dimana ketika si anak bayi hingga remaja, setelah melewati masa remaja biasanya orang mendidik anak dengan pola asuh parenting demokratis atau egaliter.

Menyangkut dengan parenting tadi, seorang teroris juga merupakan orang yang diasuh, diayomi, disuapi, dan dirusak server prefrontal cortex di otaknya.

Pengkaderan terorisme dan radikalisme itu sangat massif, dari mulai anak-anak hingga dewasa. Pola yang digunakan adalah pola parenting otoritatif, dalam rumus teroris seorang agen harus dalam batasan atau otoritas seorang mentor, dan mentor mereka adalah yang memodali dan mempersenjatai mereka, tiada lain adalah Amerika. Jadi tidak berlaku pola asuh demokratis pada teroris.

Bagaimana mereka mengasuh teroris itu?

Masjid dijadikan sarang teroris

Dan ternyata dunia saat ini sudah jauh dari titik puncak humanitarian yang dicita-citakannya. Kompleksitas masalah yang terjadi masih mendekap karakter lama sebagai rimba lebat di masa purba, yang tidak cukup dengan survival of the fittest namun lebih pada survival for the strongest, dunia yang masih diisi dengan nafsu-nafsu kehewanan yang tak peduli dengan moralitas apa pun, untuk mencapai tujuan utamanya: kekuasaan.

Perilaku yang melampaui demarkasi tradisionalnya, adalah perilaku yang sesat dan merusak tatanan sosial, dan infrastruktur masyarakat. Cukup kita melihat tragedi kemanusiaan di belahan Timur Tengah yang teramat tragik.

Hentikan provokasi politik di mimbar dakwah. Ummat butuh ceramah yang menenangkan hati dan menentramkan jiwa. Sangat tidak pantas masjid dijadikan kaderisasi paham intoleransi dan radikalisme. Lha buktinya apa?

Pola asuh tadi yang menjadi pola kaderisasi radikalisme, dan ini tersebar di berbagai instansi. Ia masuk ke mana saja, SD, SMP, SMA, perguruan tinggi, bahkan instansi pemerintah. Banyak di kampus terutama, gerakan Islam yang merasa benar sendiri dan tidak mau menerima pendapat orang lain. Saya lebih suka menyebutnya sebagai jama'ah takfir wal hijrah, sebagai kelompok yang merasa mengaku dirinya telah hijrah dari masa lalunya, namun ia malah mengkafirkan yang bukan kelompoknya.

Intoleransi terhadap pendapat orang lain itu juga bisa dikatakan mengkafirkan, secara bahasa. Karena memang benih dari ekstrimis dan radikalis adalah itu. Merasa suci.

Mereka sebenarnya tidak menguasai masjid-masjid besar di setiap wilayah atau daerah, namun yang mereka kuasai adalah masjid-masjid kecil di instansi-instansi yang kiranya strategis. Contoh, masjid kampus, masjid perusahaan, dan masjid pemerintah.

Mereka juga paham harus mampu menguasai Grassroots dan pos-pos strategis. Oleh karenanya, untuk menyebarkan paham jihadis, reformis, dan rejeksionis mereka harus mengadopsi metode gerak Ikhwanul Muslimin.

Masjid-masjid kecil yang dijadikan alat oleh mereka untuk memecah belah umat ini, sudah terekam dalam Al-Qur'an surat al-Taubah, ayat 108;

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang yang mendirikan (menjadikan) masjid untuk menimbulkan kemadharatan, untuk kekafiran (kafir-mengkafirkan) dan memecah belah antara orang-orang Mukmin.

Mereka menanam benih, dan memupuknya dimulai dari masjid-masjid kecil yang mereka kuasai, dan mulai berekspansi ke masjid-masjid besar. Oleh karenanya, potensi masjid dijadikan sarang dan ladang terorisme itu sangat bisa.

***

Rikal Dikri