Jangan Cuma Nyalahin Jokowi!

Kamis, 24 Mei 2018 | 08:00 WIB
0
893
Jangan Cuma Nyalahin Jokowi!

Sebetulnya agak berat menulis tentang ini. Tapi ya, ditulis sajalah. Saya nggak mengajak berdebat, ya. Kalau setuju silakan like, comment, atau share. Yang nggak sepakat silakan melipir.

Yang bingung menentukan sikap, coba cari pegangan biar nggak bingung. Ini disclaimer yang nggak bisa diganggu gugat

Sambil menikmati makan malamnya kemarin, tak ada hujan tak ada angin, Fatih ngomong begini, "Bunda tau, kenapa Malaysia itu, negaranya lebih muda dari Indonesia, tapi mereka lebih maju?"

"Menurut Fatih kenapa?" saya balas tanya.

"Orang Indonesia itu suka buang sampah sembarangan, suka melanggar aturan. Bunda inget waktu kita ke Monas tahun lalu? Di rumputnya, kan, ada tulisan 'Dilarang menginjak rumput'. Tapi banyak banget orang yang nginjek rumput dan duduk-duduk di sana. Pas didatengin Pak Polisi [maksudnya Satpol PP], mereka minggir. Tapi begitu Pak Polisinya pergi, mereka nginjek rumput lagi. Padahal sudah jelas ada tulisannya."

"Iya, Fatih. Memang ada sebagian orang Indonesia yang menganggap peraturan itu dibuat untuk dilanggar. Seharusnya nggak boleh gitu, kan. Memang masih banyak juga orang kita yang suka buang sampah sembarangan. Tapi masih jauh lebih banyak orang yang patuh pada aturan, juga tertib buang sampah di tempat sampah, kok, Fatih."

"Ya, bagus kalau gitu. Tapi kalau Indonesia mau sama majunya dengan Malaysia, orang-orangnya harus kompak, work together, ikut peraturan. Jangan cuma nyalahin Jokowi. I think he's doing his best for his country."

Duh, Nak. Omonganmu bikin hatiku majkleb!

"Sure he is. Tapi dia nggak cocok jadi Presiden, Fatih. He's not a good leader. He's not strong enough. He doesn't have the capability to lead a big country like Indonesia," jawab saya. Keep calm and wash the dishes.

"Yes, I know. He's not a good president. Tapi orang-orang nggak boleh mengharapkan Jokowi untuk ngerjain semua sendirian. It's impossible if he has to do the president's tasks by himself."

"Presiden itu punya banyak asisten, menteri, gubernur, banyak pembantunya. Dia nggak sendirian."

"Iya, Bunda. Tapi rakyatnya ini, lho. Indonesian people have to support him. Help him. Jangan cuma bisa ngomel. Jangan berantem terus kalau mau maju. Samarbeid [kerja sama]. Masak kita kalah sama Malaysia?"

"Good point, Fatih. You're absolutely right. Pemimpin itu mencerminkan rakyat dan pendukungnya," saya harus mengakuinya.

[irp posts="15864" name="Ada Apa dengan Jokowi? Sebuah Contradictio in" Indonesia!"]

Percakapan dadakan seperti itu biasa di rumah kami. Termasuk soal politik. Fatih sering menonton kiprah Presiden Jokowi di YouTube. Yang paling sering dia komentari adalah video "I want to test my minister", dan video "Jokowi ngacir waktu ditanya wartawan". Dia miris melihat kualitas Presidennya.

"Jokowi harusnya bahasa Indonesia aja. Atau kalau dia mau, harusnya dia ikut kursus bahasa Inggris biar nggak malu-maluin".

Bagaimanapun saya tetap pada prinsip #2019GantiPresiden. Tapi apa yang disampaikan Fatih patut jadi renungan.

Selama ini kita yang tidak suka dan tidak setuju dengan Jokowi cenderung untuk selalu mencari kesalahannya. Mengomel, bahkan mencaci maki sang Presiden di media sosial. Padahal kita seharusnya yakin, bahwa hanya dengan mengomel, memaki, apalagi sampai mengulik kekurangan fisik/pribadi beliau, keadaan tidak akan berubah jadi lebih baik.

Bencilah secukupnya saja. Meski sedikit, pasti ada hasil kerja Jokowi dan timnya yang berhasil, meski tentu jauh dari cukup. Kalau kita tidak puas dan pemerintahan dianggap gagal, cukup amati, kritisi dengan baik, lakukan apa yang kita bisa. Pemilu nanti jangan dipilih lagi.

Ocehan spontan Fatih mengingatkan saya pada buah pemikiran Imam Ghazali: "Nasihat itu mudah. Yang sulit adalah menerimanya kerena terasa pahit oleh hawa nafsu yang menyukai segala yang terlarang."

Ramadhan ini bisa jadi milestone yang tepat untuk sedikit melakukan perubahan dalam diri. Tahan nafsu yang bisa mengurangi pahala puasa. Nafsu marah, mengomel, caci maki, menghina pemimpin, saling terpecah-belah, coba kita tahan. Sehari, dua hari, syukur-syukur bisa berlanjut sampai akhir Ramadhan dan seterusnya.

Itu saja. Kadang kita memang harus rendah hati mengakui kebenaran yang datang, siapapun penyampainya.

***