Terorisme Itu Bukan Fashion, Bukan Pula Soal Ekonomi, tapi Ideologi

Sabtu, 19 Mei 2018 | 13:56 WIB
0
937
Terorisme Itu Bukan Fashion, Bukan Pula Soal Ekonomi, tapi Ideologi

Ketika ada yang percaya bahwa Bumi itu datar, kita terheran-heran. Bahkan mencemooh orang-orang yang tidak lagi mempercayai kebulatan Bumi. Begitu juga ketika ada orang tua yang dengan bangga memposting foto anaknya dengan senjata tajam, siap bertindak kekerasan. Kok ada ya orang tua yang seperti itu?

Dua hal itu merupakan contoh sederhana menjelaskan bahwa pikiran membentuk ideologi. Terorisme adalah ideologi, bukan sekadar kesenjangan ekonomi, apalagi soal fashion. Ideologi bisa mempengaruhi pikiran, tingkah laku manusia, termasuk gaya hidup.

Kalau kita meyakini bahwa terorisme adalah ideologi, maka tak perlu tercengang bila ada orang bergelar profesor mendukung aksi teror. Juga tak perlu kaget kalau Ketua Pansus RUU Terorisme, Muhammad Syafi’i menyebut Mujahidin Indonesia Timur, Santoso, sebagai pahlawan, sedangkan polisi adalah teroris, sebagaimana terungkap dalam rapat tertutup Revisi UU Terorisme.

Sebelum berafiliasi ke jaringan teroris internasional, sampai tahun 2002, kelompok terorisme yang paling utama beraksi di Indonesia adalah Al-Jamaah Islamiyah (JI). Bisa dikatakan jaringan terorisme saat itu masih bersifat regional. Namun sudah tampak keterkaitan JI dengan Al Qaeda di tingkat global.

Al Qaeda menyediakan ideologi Salafi Jihadist, menyediakan anggaran, dan juga pelatihan. Satu level di bawahnya, dipimpin Hambali. Sudah ditangkap di Thailand tahun 2003. Sedangkan di tingkat lokal dipimpin Abu Bakar Baasyir.Ketika terjadi Bom Bali, 12 Oktober 2002, terkuaklah jaringan ini.

Banyak yang tidak percaya bahwa terror Bom Bali ada kaitannya dengan Peristiwa 9/11 tahun 2001. Setelah Polri melakukan penangkapan-penangkapan, barulah publik mahfum. Di Indonesia, aksi terorisme mereda seiring dengan keberhasilan menumpas Al Qaeda di tingkat global.

Dengan kata lain, ketika jaringan terorisme di Indonesia berafiliasi dengan jaringan terrorisme internasional, keberhasilan pemberantasannya terkait dengan pemberangusan terorisme di tingkat global.

Kali ini jaringan teroris yang paling eksis adalah ISIS (Islamic State in Iraq and al-Sham). Benderanya sering dikibarkan di beberapa unjuk rasa di Indonesia. Tidak banyak yang melihat bahwa itu merupakan sebuah ancaman serius.

ISIS menawarkan ideologi yang berbeda dengan Al Qaeda. Kalau Al Qaeda berideologi Salafi, ISIS adalah Takfiri.

Takfiri lebih pada konsep tauhid. Apa yang bukan berasal dari Allah adalah bid’ah, haram, harus dihancurkan. Maka ketika terjadi bom bunuh diri di Cirebon, pada saat Kapolres sedang menjalankan sholat Jumat, Polisi cepat mendeteksi bahwa pelakunya jaringan terorisme yang berafiliasi ke ISIS.

Di Indonesia, jaringan ini berpusat di Depok. Mereka melakukan pelatihan, mengumpulkan kader. Tokoh yang paling dihormati adalah Aman Abdurrahman. Kamis 18 Mei 2018, Aman Abdurrahman dikabarkan terkencing-kencing ketika hakim menuntut hukuman mati. Padahal ia disebut-sebut sebagai “Singa Tauhid” ISIS Indonesia. Sangat cerdas. Bisa mengubah cara pikir dan cara pandang orang.

[irp posts="15750" name="Benny Moerdani, Panda Nababan dan Fakta tentang Teroris"]

Pahami dulu bahwa terorisme adalah perang ideologi, bukan sekadar soal kesenjangan ekonomi, atau pilihan fashion. Kalau itu sudah dimengerti, maka kita tahu bagaimana melawan.

Ideologi tak akan mati sekalipun para pelaku teror sudah dihabisi. Ideologi harus dilawan dengan ideologi. Dalam konteks Indonesia, ideologi Pancasila perlu terus digelorakan. Kita harus membuktikan bahwa demokrasi dan sistem pemerintahan yang kita anut sekarang adalah cara paling tepat untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Apa itu berarti pemberantasan terorisme adalah tugas Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) saja? Tentu tidak. Di era revolusi teknologi informasi, penetrasi informasi melalui sosial media menjadi penting. Jangan pernah anggap remeh orang-orang yang memiliki pemikiran tak lazim. Jangan pula terlalu mudah menebar pendapat yang belum dikonfirmasi. Kita tak pernah tahu dampak informasi tak valid yang sudah kita sebar luaskan.

Kita sedang berperang melawan cara berpikir orang. Pahami bagaimana cara mereka berpikir. Lawan dengan cara itu pula.

***