Bagaimana Seharusnya Aktivis Islam Memperjuangkan Cita-citanya?

Jumat, 18 Mei 2018 | 05:59 WIB
0
718
Bagaimana Seharusnya Aktivis Islam Memperjuangkan Cita-citanya?

Memperjuangkan demokrasi, terjun ke dunia politik bukanlah tugas ringan.

Aktivis Islam harus paham betul rimba politik yang super keras ini.

Perjuangan Nelson Mandela menggulingkan rezim apartheid di Afrika Selatan memakan waktu 20 tahun lebih, Mandela sendiri harus mendekam dalam penjar nya Jenderal De Klerk selama 23 tahun lebih.

Anwar Ibrahim di Malaysia, perjuangannya tidak kurang 20 tahunan, keluar masuk penjara dan kena fitnah kiri kanan, diri dan keluarganya.

Presiden pertama Chile yang terpilih secara domokratis di Amerika latin Salvador Allende di serang dengan senjata dalam Istananya sendiri, mati dalam Istana saat melawan pengkudeta Jenderal Augusto Pinnochet, jasad Allende dibawa keluar Istana Presiden Chile dalam kondisi tak bernyawa.

Hampir semua Mursyid Aam Ikhwanul Muslimin di Mesir merasakan penjara sampai puluhan tahun, bahkan pendirinya Hasan Al Banna dibunuh, ideolog besarnya Sayyid Quthb digantung.

Pejuang revolusioner besar Kuba Ernesto Che Guevara dieksekusi mati di Bolivia, dokumen eksekusinya baru dibuka 30 tahun kemudian oleh CIA, Guevara adalah kawan seperjuangan Fidel Castro, mantan gubernur bank sentral Kuba sebelum dia memilih kembali masuk hutan di Bolivia.

Vladimir Lenin di Soviet harus bejuang keras melawan kerajaan Nicholas Tsar II, 30.000 pasukan merah Lenin di bawah Trotsky melawan 150.000 pasukan Nicholas dalam revolusi Bolshevik, Lenin Tumbangkan Nicholas.

Ketua partai demokrat Turki Adnan Menderes digantung, kemudian Erbakan dikudeta, keluar masuk penjara, Erdogan juga masuk penjara, dicoba kudeta 2013 dan 2016, partainya AKP 2 kali mengalami upaya pembubaran lewat MK Turki, ratusan pendukungnya syahid 15 juli 2016, perjuangan politik memang sangat keras.

Mursi dikudeta di Mesir, ribuan pendukungnya dibunuh, dibakar dan ditembak hidup hidup, hari ini 60.000 tahanan politik pendukung mursi masih mendekan di penjara As Sisi.

Saat Gerakan Islam FIS di Aljazair menang pemilu tahun 1991, 50.000 pendukungnya dibunuh, rata-rata pemuda, gerakannya disapu bersih oleh militer.

Saat anak anak muda di China melakukan unjuk rasa menuntut demokrasi, pemerintah setempat tahun 1989 menggilas para demonstran dengan mobil tank, mayat bergelimpangan di sana sini, kejadian itu dikenal dengan tragedi lapangan Tiannanment, pemerintah China menutup rapat kejadian itu dengan membangun prasasti peringatan Tiannanmen dengan menulis di atas batu dengan tulisan "in 1989, nothing happen here".

Lusinan Tokoh Hamas di Palestina dibunuh oleh zionis Yahudi, mulai dari Ahmad Yassin sampai Shalah Syahadah, mulai dari Izzuddin Al Qassam sampai Yahya Ayyash, Mulai dari Mahmud Mabhouh sampai Al Ja'bari.

Sebelum Partai An Nahdhah lahir di Tunisia, gerakan An Nahdhah ini embrionya adalah gerakan mahasiswa di Az Zaytonah, 24 tahun perjuangan Rasyid Ganoucci melawan Jenderal Zein Al Abidin Ben Ali, baru minggu lalu partai An Nahdhah memenangkan pemilu secara mutlak di Tunisia.

Semua gambaran di atas adalah gambaran gamblang betapa kerasnya perjuangan politik dalam berbagai aliran dan agama, ini adalah pelajaran berharga.

Bahwa setiap pejuang politik dan demokrasi harus paham bahwa dia butuh ilmu yang dalam, mental baja, iman yang kuat, strategi yang jitu, mampu bertahan dalam badai, dan mampu berjuang dalam jangka panjang, tidak ada tempat bagi kebodohan, lelet, polos, lugu, ilmu pas pasan, wawasan yang cetek dan mental kerupuk.

Nasib umat islam tergantung bagaimana cara umat Islam itu sendiri berjuang dalam politik, berjuang dalam demokrasi dan memiliki pola perjuangan yang tepat sesuai zaman mereka hidup.

Kedaulatan politik umat Islam adalah nafas umat Islam abad ini, suka gak suka, keras atau gak, pahit atau manis, jalan itu harus ditempuh dengan gigih, karena tidak ada kesempatan kedua bagi orang yang serba lemah dan serba lelet dalam politik, begitu kata salah satu musuh besar Muslim sekarang mantan menteri luar negeri Israel, Avigdor Lieberman.

Tengku Zulkifli Usman,

Analis Geopolitik Dunia Islam Internasional, Jakarta.

***