Bukan Buku yang Bisa Cegah Terorisme, Tetapi Masyarakat yang Literat

Kamis, 17 Mei 2018 | 10:44 WIB
0
784
Bukan Buku yang Bisa Cegah Terorisme, Tetapi Masyarakat yang Literat

Hari Minggu yang damai dan seharusnya penuh suka cita kemarin, bom meledak di 3 gereja di kota Surabaya. Malam harinya, sebuah bom meledak lagi di Sidoarjo. Paginya, sebuah bom kembali meledak di Polrestabes Surabaya. Kabar tentang peledakan bom kemudian simpang siur terdengar oleh masyarakat Surabaya.

Mereka yang ketakutan kemudian terteror oleh kabar kabur. Bila masih diteruskan, tidak menutup kemungkinan masyarakat akan saling mencurigai dan memusuhi.

Seorang kawan, tiba-tiba membagikan status Facebook seorang pegiat literasi yang menulis tentang wacana gerakan literasi agama. Saya merenung membaca tulisan itu. Sebenarnya, seperlu apa sih gerakan literasi agama? Ya, kalau ada yang tanya pendapat saya sih saya akan menjawab bagus-bagus aja sih kalau ada gerakan ini. Tapi, bentuk gerakannya seperti apa?

Saya pernah menghadiri diskusi kebangsaan dengan pemandu diskusinya adalah Inayah Wahid, putri bungsu mendiang Gus Dur. Ketika ada yang mengusulkan membuat kurikulum tentang toleransi di sekolah, Mbak Inayah berkata, tidak perlu gerakan atau kurikulum yang macam-macam untuk mengajarkan toleransi. Cukup kita menjadi contoh, bagaimana seharusnya berperilaku pada pada orang yang berbeda dengan kita.

Apakah kita akan berteriak ‘bakar’ pada orang-orang Ahmadi? Apakah kita menjuluki teman-teman yang berbeda agama sebagai kafir? Atau kita akan memilih untuk berteman baik dengan orang-orang yang berbeda kepercayaan dengan kita tanpa mempedulikan apa yang dia percayai?

Sama halnya hubungan literasi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat, sebenarnya literasi tidak berkaitan langsung dengan terorisme. Logikanya bukan jika A maka B. Orang yang tidak pernah baca buku otomatis jadi teroris gitu. Bukan seperti itu. Bisa jadi, malah teroris itu membaca lebih banyak buku daripada kita masyarakat biasa. Masalahnya memang, buku apa yang mereka baca? Bagaimana mereka menafsirkan buku yang mereka baca?

Sayang sekali, ada orang-orang yang berusaha untuk secara langsung mengaitkan literasi dengan tingkat pendapatan dan status sosial seseorang. Mereka lupa bahwa buku bukan superhero yang bisa menyelamatkan dunia dan memecahkan segala macam masalah. Buku hanyalah pembawa pesan, yang bisa ditafsirkan berbeda-beda oleh pembacanya.

Sebuah artikel di qureta.com berjudul Terorisme dan Pendidikan Agama menceritakan kisah penulisnya yang merasa pendidikan agamanya bersifat intoleran. Dia menceritakan tentang guru agamanya yang kelewat sok tahu tentang agama lain, mengolok betapa bodohnya penganut politeisme, dan mencibir betapa konyolnya manusia yang membuat patung Tuhan.

Hingga, Sang Penulis terbawa untuk mempersekusi teman-temannya yang berlainan agama dengannya. Namun ketika dia dewasa, dia mulai suka membaca buku dan pikirannya mulai terbuka. Dia mulai memahami tentang kepercayaan di luar kepercayaannya. Sehingga mulai bisa bersikap toleran.

Namun apakah sikap toleran itu serta merta hadir ketika dia suka membaca buku? Tentu saja tidak. Ada proses panjang yang disebut berfikir. Tanpa dia memikirkan apa yang dia baca, mencari tahu lebih dalam tentang apa yang tidak dia ketahui, dan memahami apa yang didapatnya, jelas dia masih menjadi orang yang suka mempersekusi orang yang punya keyakinan lain.

Pagi ini, di situs inspirasi.co, saya membaca sebuah artikel yang ditulis oleh Fahd Pahdepie, penulis novel Hijrah Bang Tato. Artikel tersebut berjudul ‘Melawan Terorisme dengan Literasi’. Dalam artikel tersebut, dia dengan tegas mengatakan budaya literasi tidak berhubungan langsung dengan terorisme.

Namun dikatakan bahwa literasi memiliki 2 fungsi dalam proses deradikalisasi dan kontraterorisme. Yang pertama, menyiapkan masyarakat yang lebih punya daya tahan terhadap narasi dan isu yang bisa menyulut teror. Yang kedua, melakukan kontra-narasi terhadap hal-hal yang berbau kekerasan dan teror.

Aku setuju dengan kata-kata Fahd Pahdepie ini. Bukan buku yang bisa mencegah terorisme. Namun masyarakat yang literat. Masyarakat yang tidak begitu saja percaya pada isu-isu yang memprovokasi, masyarakat yang mau memikirkan informasi yang mereka terima, yang mau mencari klarifikasi terhadap apa yang mereka terima.

Pertanyaanku sekarang, apakah gerakan literasi yang sedang marak sekarang ini sudah efektif untuk memenuhi fungsi literasi dalam deradikalisasi dan kontraterorisme?

***