Partai Gerindra, Nilai Dollar AS dan Dollar Zimbabwe

Kamis, 3 Mei 2018 | 06:05 WIB
0
1439
Partai Gerindra, Nilai Dollar AS dan Dollar Zimbabwe

Saya merasa perlu meluangkan waktu untuk membuat tulisan ini. Untuk memenuhi komitmen menjawab secara "serius" keraguan (bully-an, malah) beberapa kawan. Beberapa waktu lalu, saya menjawab sebuah meme "humor politik" yang menertawakan cuitan Partai Gerindra, bahwa untuk menutup defisit anggarannya, Amerika Serikat bisa melakukannya dengan mudah, yaitu dengan mencetak dollar sesuka hati.

Pengelola "humor politik" menjadikannya olok-olokan, dan sebagaimana lacur, sahut-sahutan "tawa" bahak-berbahak menyambut olokan itu. Saya meng-capture meme itu dan memberi jawab: Ya, Amerika memang bisa melakukan itu. Sebagaimana dugaan saya, saya pun jadi bahan bully. Sayangnya, saya tahu mereka hanya bisa berbicara dengan teori ekonomi-dasar dan tidak siap dengan hal-hal yang melebihi sekedar teori dasar.

Benarkah Amerika bisa menutup defisit anggaran mereka dengan hanya "mencetak dollar" sesuka hati? Ya. Itu benar. Sudah dan SEDANG terjadi!

Tentu saja hal ini bertentangan dengan hukum ekonomi-dasar bahwa pencetakan uang yang kelewat banyak oleh suatu negara akan menyebabkan INFLASI dan membuat mata uang negara tersebut JATUH nilainya. Kawan-kawan yang mem-bully saya terbahak-bahak dengan membawa kasus Zimbabwe dan (yang terbaru) kasus Venezuela.

Sekali lagi, saya maklumi tawa-tiwi mereka karena pijak-pikirnya terbatas. Dollar Zimbabwe dan Bolivar Venezuela memang rontok karena ketidakmampuan kedua Negara menyelenggarakan anggaran (Ah, mungkin terlalu tinggi bahasanya. Saya sederhanakan dengan: ketidakmampuan kedua Negara MENYEDIAKAN dana) dijawab dengan mencetak uang. Hukum ekonomi segera melibas kedua Negara: hyper-hyper-hyper-inflasi terjadi.

Mata uang kedua Negara kehilangan daya beli. Parah. Untuk membeli seketul roti di Zimbabwe, warga di sana harus merogoh kocek bermilyar-milyar. Duitnya bukan tidak ada. Duitnya ADA. Dan dalam pecahan Milyar pula! Bahkan ada yang dalam bentuk pecahan 100 Trilyun!

Harap maklum, untuk menyamai daya beli 1 Dollar Amerika, dibutuhkan 35 Dollar Zimbabwe dengan 15 angka nol di belakangnya. Dipersingkat: 35 ribu trilyun. Bayangkan uang 1 trilyun, lalu KALI dengan faktor 35.000. Susah? Uang 35 ribu ada 1 trilyun kali.

Pemerintah Zimbabwe telah menyerah dengan kondisi yang terjadi. Mata uang Zimbabwe sudah di-suspend untuk batas waktu yang tidak ditentukan. Alias tak berlaku lagi. Sebagai ganti, Pemerintah Zimbabwe mengesahkan penggunaan berbagai mata uang asing sebagai mata uang mereka.

Apakah kasus yang sama terjadi pada Dollar Amerika (USD)? Sejauh ini TIDAK. Mengapa Dollar Zimbabwe (dan Bolivar Venezuela) dicetak sebanyak-banyaknya langsung berdampak pada hyper-hyper-hyper inflasi sementara USD sejauh ini tidak mengalami nasib serupa?

Inflasi alamiah dialami semua mata uang di dunia. USD juga mengalaminya. Mata uang kuat lainnya, Poundsterling Inggris, juga mengalami. Mengapa itu terjadi? Ya karena rasionalitas otak manusia. Contoh: dulu orang bayar parkir roda-4 di pinggir jalan, berapa? Seribu rupiah. Lalu, Pemerintah Indonesia meng-emisi atau mengedarkan pecahan duit 2 ribu rupiah. Sejumlah barang dagangan yang harga satuannya 1.500 sampai 1.900 rupiah di pasar tradisional saat itu, katakanlah satu siung bawang merah, oleh pedagang dipatok menjadi 2 ribu rupiah. Rasionalitasnya: biar enggak repot nyediain uang kembalian.

Lama kelamaan, tukang parkir liar digerakkan oleh rasionalitasnya sendiri mulai memungut biaya parkir 2 ribu rupiah. Orang yang membayar dengan pecahan 2 ribu tak diberi uang kembalian. Yang keberatan langsung minta duit kembalian. Dijawab sama tukang parkir: wah, harga bawang saja udah 2 ribu. Sebagian tidak merasa keberatan, karena sudah merasakan sendiri belanja bawang di pasar satu siung udah 2 ribu.

Lama-kelamaan, Pemda setempat melihat tarif parkir tak resmi sudah 2 ribu. Yah, sekalian dibuat regulasi baru: Tarif parkir resmi 2 ribu. Daya bayar parkir dan daya beli bawang kita mengalami inflasi. Alamiah. Inflasi alamiah akan terus terjadi. Selama manusia masih punya rasio.

Kembali ke hyper-inflasi. Untuk mengalami hyper-inflasi (dengan satu "hyper" saja) karena mencetak dollar dalam jumlah banyak untuk menutup defisit, USD tidak. USD tidak mengalaminya. Mengapa?

Daya beli mata uang suatu Negara tergantung valuasi atau nilai perekonomian Negara bersangkutan. Namun ini bukan syarat cukup. Syarat paling utama adalah seberapa kuat pengaruh mata uang tersebut di mata dunia. Masih susah membayangkan? Saya perinci: seberapa besar volume transaksi dagang antar-negara menggunakan atau didasarkan pada mata uang tersebut, seberapa macam item komoditas dagang dipatok dengan mata uang tersebut, seberapa banyak Negara lain yang menggunakan mata uang tersebut sebagai cadangan devisa. Saya tambahkan satu lagi: seberapa kreatif Negara tersebut membuat mata uangnya "berenergi".

USD, beruntungnya, menguasai semua faktor di atas. Ekspor-impor Negara kita saja, Indonesia, pengukuran Nilai-nya menggunakan mata uang USD. Komoditas paling berpengaruh pada perekonomian dunia saja, yaitu minyak bumi, dipatok dengan mata uang USD, cadangan devisa berbagai negara di dunia (termasuk Negara kita) dihitung dengan satuan USD.

Ini membuat daya beli uang Amerika itu KUAT. Ditambah lagi valuasi perekonomian Amerika yang sangat besar dan terhitung terbesar di dunia: telah mencapai USD 20 Trilyun. Agregat kesemua hal itu adalah: USD adalah mata uang yang kuat. Inflasi yang menyapunya, sejauh ini, hanyalah inflasi alamiah.

Bretton-Woods

Sejak era kepresidenan Nixon di dekade 70-an lalu, Amerika Serikat mengeluarkan deklarasi sepihak: keluar dari sistem Bretton-Woods. Mahluk apa pula ini? Ini nama sebuah kampung di Negara-bagian New Hampshire di Amerika tepat konferensi penyepakatan sistem keuangan itu diselenggarakan. Itulah "pintar"nya orang Amerika dan orang Inggris. Saking pintarnya menciptakan suatu hal baru, sampe-sampe untuk mengidentifikasi hal baru itu, mereka harus mencari sebutan sederhana untuknya. Disebutlah ia "Bretton-Woods System".

Sistem ini digagas Amerika sendiri bersama Inggris, dan langsung menjadi acuan di seluruh dunia pasca Perang Dunia II. Namun, Amerika pula yang pertama kali menarik diri dari sistem. Secara sederhana, sistem ini mewajibkan pencetakan sejumlah uang oleh suatu Negara harus dijamin dengan sejumlah emas yang nilainya setara. Tiba-tiba, di tahun 1971, Amerika menarik diri dari kesepakatan. Singkat kata: mata uang USD boleh dicetak sesuka hati Amerika.

Lho, bagaimana dengan hyper-inflasi? Itu "jauh dari kejadian". Mengapa? Ya karena USD sudah kepalang menjadi mata uang standar dunia. Kelancaran (currency) transaksi Ekspor-impor minyak dunia dipatok dengan USD. Negara-negara pada mencadangkan devisa dengan USD. Valuasi perekonomian Amerika (ketika itu pun) adalah yang terbesar di dunia. Dollar telah kepalang meraih kepercayaan (trust) di seluruh dunia.

Ini yang tidak masuk "akal" kalau hanya bermodal teori ekonomi-dasar. Saya maklumi yang tidak mengerti. Tahun 70-an itu dunia saja "kaget" ketika Amerika menyatakan dollar-nya tidak lagi dijamin cadangan emas, tapi kok ya dollar tidak kena hyper-inflasi, malah makin digandrungi. Coba anda cek di papan ketik komputer. Atau di layar smartphone. Anda akan menemukan simbol $ tersedia secara khusus. Tak usahlah saya jelaskan simbol apa gerangan itu.

Silahkan bandingkan dengan Dollar Zimbabwe. Dijadikan cadangan devisa oleh negara lain, kagak. Dipake mbayar transaksi ekspor-impor, nehi. Valuasi perekonomian Zimbabwe? Hanya 16 Milyar Dollar. Teramat kecil. Harapan hidup orang Zimbabwe? 59 tahun. Orang dengan usia 50 tahun susah dapat kredit bank untuk tenor 10 tahun. Keburu mati, kredit belum lunas. He he he... Ketika Pemerintah Zimbabwe "mengakali" defisit anggaran dengan hanya sekedar mencetak uang, kontan langsung hyper-inflasi. Makin banyak nyetak, makin hyper inflasinya.

Kata para pem-bully saya, mana mungkin Amerika bisa seenak udel mencetak duit? Bukankah ada aturan internal yang ketat yang diberlakukan tiap negara dalam mencetak duit? Nah, ini, lagi-lagi saya maklumi karena kawan-kawan ini kurwas (kurang wawasan, tapi ngotot).

Ya, aturan pencetakan uang tentu tiap negara punya dan (harus) dilakukan secara ketat. Satu yang tidak terpikirkan oleh orang kebanyakan: bagaimana kalau pencetakan uang secara seenak perut itu dilakukan dengan cara sah? Artinya, tetap memenuhi syarat ketat, tapi seenak perut. Saya perjelas: Contoh, anggaran Amerika defisit, katakanlah, 100 Milyar Dollar.

Ok, cetak 100 Milyar Dollar (seenak perut), penuhi syarat-syarat ketat: nomor seri-nya resmi, kualitas lembaran duitnya memenuhi syarat, dan lain-lain, dan lain-lain persyaratan ketat lainnya. Sekedar catatan, ini bukan contoh tapi memang kenyataan, defisit APBN Amerika akan melampaui 1 Trilyun Dollar pada tahun 2020 nanti.

Anda masih ingat berbagai peristiwa "government shutdown" di Amerika? Terjadi beberapa kali di era Obama, dan yang paling baru di era Trump sekarang, terjadi pada bulan Januari lalu. Pemerintah Federal Amerika tutup beberapa hari. Tidak melakukan pelayanan, kecuali untuk urusan pertahanan dan kesehatan. Apa pasal? Walau dilatardepani oleh tarik-menarik kebijakan anggaran, persoalan di latar belakang umumnya tetap sama: bagaimana menutup defisit?

"Ribut-ribut" di Kongres Amerika itu bikin dunia "tahan nafas". Karena jika para kubu yang berdebat di parlemen Amerika itu tidak mencapai sepakat, perekonomian dunia adalah taruhannya. Dunia menunggu APBN Amerika disahkan (pada waktunya) atau tidak, atau tidak sama sekali.

Kalau yang terakhir ini yang terjadi, sudah pasti perekonomian dunia kacau. Pada akhirnya, sejauh ini, selalu happy-ending. Republiken dan Demokrat saling berpelukan. "Menyelamatkan dunia". But, wait.... apa sih yang menjadi topik mereka? Ini dia (yang lagi-lagi) tak dapat dipahami dengan bermodal pengetahuan ekonomi-dasar belaka.

Utang Pemerintah Federal Amerika, alias kewajiban yang dipikul sebagai imbal-balik kesuksesan menjalankan pemerintahan Amerika selama ini, jumlahnya per tahun ini telah melebihi 20 Trilyun Dollar. Telah sama dengan Produk Domestik Bruto atau GDP Negara itu (!). Jangan lihat angka nominalnya, karena itu saja sudah besar sekali.

Itu artinya, segenap rakyat Amerika bekerja full dalam setahun, semua gajinya diambil dan segala hasil kerja beserta seluruh nilai-tambah dari hasil kerja itu diambil semua, untuk melunasi utang Pemerintah-nya, baru utang itu lunas. Artinya: mati.

Ada pun untuk membiayai APBN mendatang, yang menjadi penopang pencapaian GDP sejumlah 20 Trilyun Dollar itu, dana yang dikalkulasi akan ada ternyata akan TIDAK CUKUP. Untuk anggaran tahun ini (terhitung anggaran tahun 2017, tahun fiskal Amerika dimulai 1 Oktober dan berakhir 30 September tahun berikutnya) jumlahnya 4,147 Trilyun Dollar. Dana yang dikalkulasi akan ada jumlahnya kurang. Kurangnya berapa? Kurang 503 Milyar Dollar. Defisit 503 Milyar Dollar.

Nah, persoalan yang demikian besar ini menjadi "sangat sederhana" di gedung Kongres Amerika. Bagi Amerika (dengan mata uang dollar yang berlaku di mana-mana) persoalannya bukanlah pada "dari mana dapat dollar penutup defisitnya". Tetapi masalahnya ada di urusan legislasi. Urusan Undang-Undang.

Kongres Amerika memberi batas sampai pada angka berapa Pemerintah Amerika boleh ngambil utang (debt ceiling). Kalo dalam bahasa kita: sampai seberapa dalam lubang boleh digali. Contoh, katakanlah debt ceiling saat ini ditetapkan Kongres sebesar 20 Trilyun Dollar (disesuaikan dengan GDP). Anggaran yang harus segera disahkan untuk tahun anggaran mendatang defisitnya sebesar 500 Milyar Dollar. Ada pun utang tercatat hingga saat ini sudah mencapai 19,9 Trilyun. Jadi, dengan debt ceiling yang sedang berlaku, 100 Milyar Dollar defisit dapat diambil dengan ngambil pinjaman tanpa hambatan. Bagaimana dengan 400 Milyar sisanya?

Di sinilah topik bergeser. Topiknya bukan lagi “kita punya utang sangat besar, akan melebihi Produk Domestik Bruto, dan untuk membayar cicilan yang segera jatuh tempo pun kita sedang tidak punya cukup duit”. Topiknya bergeser menjadi “Hey, Bob, kita mesti menaikkan batas maksimal kita boleh berhutang. Supaya kita bisa mencari pinjaman lagi hari ini untuk membayar cicilan yang jatuh tempo besok”.

Ya, menjadi sesederhana itu. Ributlah Kongres Amerika dan membuat dunia "tahan nafas". Semua memantau bagaimana drama di Capitol Hill (Senayan-nya Amerika). Semua bernafas lega saat Kongres Amerika menyetujui (lagi dan lagi) debt ceiling Amerika Serikat. Semua pura-pura bahagia, pura-pura melupakan problema besar di balik drama itu: UTANG menggunung Pemerintah Amerika.

Setelah Kongres menyetujui debt ceiling baru, di sinilah dikatakan Pemerintah Amerika mencetak uang untuk menutup defisit sejumlah yang dibutuhkan. Caranya, Departemen Keuangan Amerika (US Department of Treasury) mencetak Treasury bills (jangka waktu 1 tahun), Treasury notes (jangka waktu 2, 3, 5, dan 10 tahun), dan Treasury bonds (jangka waktu 30 tahun). Tiga mahluk ini adalah uang.

Ya, karena (walau mereka dicetak secara sim sala bim hanya berdasar persetujuan Kongres, tanpa jaminan emas sama sekali) Pemerintah Amerika MENJAMIN nilainya BESERTA bunga (interest) yang akan dibayarkan di kemudian hari sesuai tanggal jatuh tempo. Coba anda bayangkan lagi: karena jumlah fisik Dollar yang beredar di seluruh dunia menjadi "relatif berkurang" karena ketambahan "nilai" 500 Milyar Dollar yang "disetujui" atau di-sim-sala-bim Kongres Amerika, Departemen Keuangan Amerika (yang juga bertanggung-jawab atas pencetakan mata uang dollar) dapat bertindak mengadakan FISIK uang tersebut.

Dalam arti sesungguh-sungguhnya: Amerika mencetak dollar dalam arti sebenar-benarnya mem-print lembaran-lembaran dollar, semilai 500 Milyar.

Gendang Amerika

Saya mengada-ada? Nggak! Sejak era Obama saja, debt-ceiling Amerika masih 15 Trilyun Dollar. Sekarang sudah 20 Trilyun. Sudah tercipta "nilai" 5 Trilyun, lho ya, hanya dalam jangka waktu kurang dari 10 tahun. Apakah Dollar mengalami hyper-inflasi? Tidak, bukan? Dunia hanya bisa pasrah. Kalau perekonomian Amerika rontok, yang membuat mata uang-nya hilang kepercayaan, maka serta-merta perekonomian dunia yang terpatri ke dollar pada hampir semua segi akan rontok semua.

Jadi, dunia mau tidak mau harus ikut pada irama yang ditabuh Amerika. Untuk berkelit dari tabuhan irama Amerika, butuh modal banyak, itu pun modal dalam bentuk dollar Amerika juga. Seperti yang baru-baru ini dilakukan China. Negara ini "menyetel" nilai tukar mata uang Yuan-nya agar produk ekspornya terasa lebih murah di pasaran internasional dibanding produk Amerika.

Itu bisa dilakukan China karena dia pegang dollar dalam bentuk cash beberapa trilyun. Cash. Cash. Cash. Itu pun, bikin Tuan Trump murka dan angkat kapak perang dagang tinggi-tinggi. Untuk "kesalahan" yang tiba-tiba ditemukan, Amerika mulai memberlakukan aturan sepihak: dalam sekian tahun ke depan, raksasa teknologi informasi China ZTE dilarang menggunakan teknologi Amerika.

Ah, setidaknya ada "pegangan" bagi dunia internasional untuk tetap manut pada hegemoni Dollar Amerika. Katakanlah Dollar Zimbabwe (ZD) tidak mengalami jatuh nilai. Katakan juga transaksi dagang internasional tidak lagi dipatok menggunakan mata uang Dollar Amerika. Masyarakat internasional tetap akan lebih cenderung memegang USD ketimbang ZD.

Mengapa? Amerika menyimpan banyak alasan untuk menjadi destinasi. Destinasi wisata, pendidikan, bahkan destinasi hidup. Pegang USD, anda masih bisa mengunjungi Hollywood. Bisa pula main-main ke Harare, ibukota Zimbabwe. Sebaliknya, pegang ZD, anda bisa ke Harare, tapi sulit ke Hollywood.

Selain itu, Amerika punya cara dan kemampuan memberi energi pada lembar-lembar dollarnya. Saya kasih contoh yang mungkin saja ekstrem, tapi saya jamin masuk akal. Amerika mencetak lembar-lembar dollar senilai 1 juta dollar, tanpa jaminan cadangan emas. Lembar-lembar itu adalah dollar zombie, karena dicetak begitu saja tanpa jaminan emas, hanya jaminan Pemerintah Amerika doang bahwa uang itu berlaku.

Untuk saat itu, ya, itu dollar zombie alias mayat hidup alias dollar tanpa energi. Kalau diedarkan langsung dalam negeri Amerika, tanpa ada yang sesuatu yang "dikerjakan", jelas duit itu akan menjadi faktor penyumbang inflasi di sana. Itu sama persis dengan tindakan Pemerintah Zimbabwe mencetak duit menutup defisit.

Untuk meng-energize duit 1 juta dollar itu, sebagai satu contoh saja, dibukalah program beasiswa bagi mahasiswa asing. Kebetulan anda dari Indonesia terpilih mendapat beasiswa itu. Maka, duit 1 juta dollar itu akan tersalur menjadi tuition fee (biaya kuliah), dari sana akan tersalur menjadi gaji dosen dan karyawan universitas. Tersalur pula menjadi biaya hidup anda di sana: makan, minum, transport, tempat tinggal, komunikasi.

Anda juga butuh hiburan. Ke bioskop, nonton sirkus, nonton Bon Jovi. Pergi ke sana dan kembali ke tanah air, apalagi kalau tiap libur semester dapat tunjangan transport, anda menyalurkan dana beasiswa itu ke maskapai penerbangan Amerika. Beli pakaian musim dingin, anda menyalurkan dana ke toko dan karyawannya. Satu orang penerima beasiswa, sekian jumlah orang Amerika anda topang hidupnya di tanah airnya.

Sejumlah "NILAI" berhasil di-energize pada lembar dollar zombie. Dollar-dollar itu jadi hidup beneran. Ada pun sisa dana beasiswa di bawa pulang ke tanah air (orang Indonesia paling kuat berhemat di Amrik, bukan?). Cukup untuk beli mobil baru, tipe city car.

Dollar yang anda pake beli mobil itu masuk ke dalam sistem keuangan dalam negeri, selanjutnya terserap ke dalam pasar uang, dibeli di pasar uang untuk digunakan bayar impor, lalu ia kembali ke kampung halamannya. Ia berenergi, setidaknya setara dengan sebuah mobil baru, kelas city car juga, di sana. Di sana itu, mobil tidak semuanya masuk dalam kategori barang mewah. Tidak dikenakan PPn-BM. Harga di sana beti-beti dengan harga di sini.

Itu contoh "sederhana" lho. Saya belum bicara tentang minyak sintetis. Bagaimana USD yang sejak tahun 70-an lalu berhasil mengikat harga komoditi minyak bumi dan membuat USD susah goyah. Sekarang Amerika telah menemukan teknologi yang memungkinkan minyak sintetis "diperas" dari bebatuan di sana secara ekonomis. Dan ini bisa membuat dunia harus ikut lagi pada "definisi baru" bagaimana meNILAIkan USD.

Belum juga berbicara bagaimana sekelompok orang di sana mengolah sekian gram logam semikonduktor, hanya sekian gram saja, yang modalnya hanya beberapa dollar, menjadi benda kecil ajaib bernama mikroprosesor yang harganya ratusan dollar. Bendanya ada di dalam komputer dan smartphone anda. Kalau-lah itu bertulis "made in taiwan" atau "made in china", itu karena industriawan Amerika memberi izin produksi. Bukan apa-apa. Karena lebih murah dimanufaktur di kedua negara itu.

Untuk membuat "warga dunia" bisa membeli barang itu, Pemerintah Amerika mencetak dollar banyak-banyak..... Hyper-inflasi? Kagak... wong bahan bakunya hanya beberapa dollar, nilai tambah yang tercipta setelah pengolahan bernilai ratusan dollar. Tercipta "gap". Gap itu mengalahkan emas, dan harus segera diisi.

Di sana, sambil tertawa bahagia, Paman Sam menulis sebaris kalimat di atas kertas khusus dengan tinta khusus: In God We Trust. Lalu mengedarkan.

Aduh... tak cukup tempat untuk saya menceritakan Tuan Bill Gates, yang hanya bermodal OTAK bisa membuat Amerika mencetak ratusan Milyar dollar. Mungkin juga sudah Trilyun. Dan menceritakan pemilik tempat saya menulis ini: Tuan Mark Zuckerberg.

***