Mengapa 2019GantiPresiden?

Kamis, 3 Mei 2018 | 09:01 WIB
0
727
Mengapa 2019GantiPresiden?

Kontestasi Pilpres 2014 adalah ajang untuk mengisi pos jabatan kepresidenan yang akan ditinggalkan Susilo Bambang Yudhoyono, yang oleh Konstitusi hanya diperkenankan menjabat sebanyak 2 periode. Para Kontestan ketika itu bertarung gagasan.

Catatan prestasi dan info latar belakang lainnya turut berperan serta mempengaruhi kecenderungan pemilih, namun tidak ada satu pun catatan prestasi atau info latar belakang yang menggambarkan apa laku para calon sebagai Presiden, karena kedua calon sama sekali belum pernah menjadi dan merasakan bagaimana memegang jabatan (dan tanggung jawab) sebagai seorang Presiden.

Apabila Kontestasi 2019 mendatang diikuti (lagi) oleh Joko Widodo, maka kondisinya akan berbeda. Joko memenangkan Kontestasi 2014. Dengan demikian Kontestasi 2019 akan menjadi ajang mempertahankan pos jabatan (di sudut Joko). Melihat fakta Prabowo Subianto telah menyatakan maju, maka terlepas berapa pun Kontestan yang bertarung nanti, Kontestasi Pilpres 2019 akan lebih dari sekedar tarung gagasan. Itu akan menjadi ajang evaluasi kepemimpinan Joko Widodo sebagai presiden.

Artinya, Joko tidak hanya akan berhadapan dengan Prabowo dan siapa pun kontestan lainnya (jika ada). Joko akan berhadapan dengan dirinya sendiri, pula.

Prabowo dan siapa pun kontestan lainnya (jika ada) dapat menawarkan gagasan dengan sesuka hati. Bahkan, bagi Prabowo, cukup hanya dengan me-refresh tawaran gagasan yang pernah dia ajukan di 2014. Ditambahin sedikit dengan potensi bubarnya Indonesia kalau bangsa ini tidak waspada. Why not?

Sementara, di sudut Joko, ia tidak akan leluasa menawarkan gagasan baru (pun apabila ia punya), karena Prabowo dan siapa pun kontestan lainnya (jika ada) dapat meng-intercept (mencegat) Joko di tengah jalan, menuntunnya kembali ke "jalan yang pernah dia janjikan sendiri": sudah lunaskah janji-janji Anda tempo hari?

Nawacita sekarang ini lebih terasa sebagai dukacita.

Mana itu yang namanya rasa aman pada seluruh warga negara ketika secara nyata dan jelas Negara tampak tidak hadir atau "menghilang" saat peran-peran kenegaraan dibutuhkan? Seorang penyidik KPK (dari institusi kepolisian pula) mendapat teror air keras dan kejelasan kasusnya makin jauh? Seorang pengamat IT dianiaya di jalan tol sampai nyaris meregang nyawa? Kriminalisasi terhadap sejumlah pemuka agama juga tampak jelas di depan mata?

Kepala Negara sendiri seakan-akan "hilang" saat RUU MD3 yang telah dilegislasi di parlemen, di mana ia secara sengaja tak menandatangan? Lapangan kerja yang semestinya di-secure untuk rakyatnya sendiri malah dikarpetmerahkan untuk pekerja asing?

Saat daerah sedang giat-giatnya bekerja, eh, transfer dana ke daerah harus berhenti dulu di tengah tahun anggaran... karena Negara harus "hilang" sejenak disebabkan duit APBN tak cukup? Di mana rasa aman itu? Di mana itu komitmen melaksanakan politik luar negeri bebas aktif, baru bertemu Obama saja sudah buru-buru menyatakan dukungan pada program Trans-Pacific Partnership (TPP) yang "pro-Amerika"?

Itu di atas baru butir pertama Nawacita. Error-in-application pada 8 butir lainnya saya kira butuh tulisan tersendiri. Indikator-indikator "error"-nya sangat jelas dan sudah terpapar di depan mata. Butir pertama di atas sekedar contoh saja. CONTOH.

Kalau nanti Nawacita ini dibawa Joko ke ajang kampanye dan debat Pilpres, saya rasa nasibnya akan sama dengan Nawaksara yang pernah diajukan Bung Karno di akhir masa jabatannya: DITOLAK rakyat. Lha, dalam Nawacita Joko menjanjikan kepemilikan tanah seluas 9 hektar, itu di mana juntrungannya?

Bagaimana dengan Infrastruktur yang selama ini (justru) menjadi andalan Joko Widodo? Genjotan pembangunan infrastruktur itu sendiri malah melenceng dari Nawacita. Coba perhatikan 9 butir Nawacita, masuk di mana "mahkuk" bernama infrastruktur ini? Alih-alih disebut membangun Indonesia dari pinggiran atau meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional (butir 3 dan butir 6), pembangunan infrastruktur malah menjadi beban berlebih pada APBN, sehingga menarik UTANG pun menjadi salah satu formula pemecahan masalahnya. Itu pun tak cukup untuk mengatasi masalah.

Berbagai proyek infrastruktur di-ijon. Belum "berbuah" sudah harus dijual (murah). Bacalah laporan semester akhir 2017 dari KPPIP (Komisi Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas). Situasinya "menyedihkan". Hanya beberapa persen capaian kerja. Kalau merujuk data Bank Indonesia, lebih parah lagi. Hanya 2% capaian. Yang ditampilkan selama ini, pose-pose Joko Widodo di lokasi pembangunan infrastruktur itu, tak lebih sebagai pencitraan belaka.

Bagaimana dengan program Listrik 35 ribu MW? Ini juga butuh tulisan tersendiri. Kesimpulannya: jauh panggang dari api. Panggangnya dipaksa dekat pun, bukan solusi. Panggangnya akan terbakar (!). Ini akibat cetusan kebijakan Joko Widodo yang terlihat asal-asalan. Asal terdengar "indah".

Sekarang, tabir asap (smoke) penutup sedang dimunculkan: bahkan pembangkit listrik yang masih dalam tahap konstruksi sekalipun, yang belum sama sekali memproduksi listrik, sudah dibuatkan "setara produksi"nya. Bahwa, walau belum sama sekali menghasilkan listrik, pembangkit-pembangkit itu dihayalkan telah berkontribusi listrik sekian persen. He he he...

Saya melihat rezim Joko Widodo bingung sendiri... Pertumbuhan ekonomi 7% yang dijanjikan AKAN dapat tercapai, itu karena Joko berhasil menyiapkan tambahan tenaga listrik 35 ribu MW (listrik menopang pertumbuhan)? Atau, tambahan tenaga listrik 35 ribu MW tak bisa disajikan sebesar itu karena pertumbuhan ekonomi stagnan di kisaran 5 persenan (angka pertumbuhan tak cukup untuk mencetak tambahan tenaga listrik 35 ribu MW)?

Itu belum kita bicara Tol Laut, lho ya.

Pembangunan infrastruktur dan listrik mode Joko Widodo akan menjadi bom waktu bagi perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Infrastruktur (yang telah selesai) sesegera mungkin harus memberi return yang cukup untuk bisa dihitung "berperan" dalam memberi pemasukan pada APBN tahun-berjalan di masa depan, namun melihat trend pertumbuhan yang "betah" di kisaran 5%, harapan itu akan pudar.

Itu untuk infrastruktur yang tidak di-ijon ke swasta. Lha, untuk infrastruktur yang kepalang di-ijon ke swasta, harapan penggunaan dana yang didapat dari swasta mana mungkin "bertuah" kalau digunakan sesuai angan besar, yaitu: dibuat untuk membangun infrastruktur lainnya?

Infrastruktur yang telah tersaji saja belum maksimal-guna, ngapain bangun infrastruktur berikutnya? Menggenjot pembangunan infrastruktur itu semestinya kalau Negara sedang punya banyak dana segar dan ruang fiskal yang lebar. Saat penggenjotan dilakukan dalam kondisi sebaliknya, ya bom waktu namanya.

Katakan-lah Joko Widodo berhasil mencapai "target" 35 ribu MW. Dengan trend pertumbuhan di atas, siapa yang akan mengkonsumsi tambahan tenaga listrik yang melimpah itu? Menyediakan puluhan ribu Mega Watt listrik memang tak semudah sekedar menyediakan genset. Itu, saya lihat, apalogy yang sedang dibangun untuk berkilah dari sengkarut. Pertanyaannya: mengapa tempo hari mencanangkan pembangunan 35 ribu MW semudah "menyediakan genset"?

Masih mending genset, lho ya. Kalo lagi nggak dibutuhkan, genset tak perlu dihidupkan. Kalau pembangkit listrik? Lagi nggak dibutuhkan (dan harus di-shut down) ya RUGI. Dioperasikan tapi tenaga listrik yang dibangkitkan tidak dikonsumsi ya RUGI SEKALI. Jadi bom waktu-lah. Malah, untuk bidang yang satu ini, BPK mulai mengendus sesuatu yang dalam kaca mata pemeriksa keuangan tercium sebagai penyimpangan.

Mudah sekali mencari benang merah-nya: ambisi menyediakan tenaga listrik dalam jumlah besar dengan waktu singkat yang dicanangkan pucuk kepemimpinan nasional membuat para eksekutor listrik di tingkat bawah mencari cara apa pun yang mungkin agar bisa berkontribusi "menyukseskan" ambisi di atas. Para pelaksana di tingkat bawah "bekerja" menyediakan tenaga listrik, faktor efisiensi dikesampingkan, belakangan ketidakefisienan yang timbul menjadi temuan BPK. Siapa yang korban?

Itulah sebabnya mengapa jauh hari sebelum Pilpres 2019 digelar, thematik kontestasi lima tahunan ini sudah mengarah ke #GantiPresiden. Itu wajar dan harus.

Selain tantangan yang sifatnya "given" dalam membangun Negara ini (tantangan yang sudah semestinya ada sebagai kita adalah Negara yang sedang berkembang), bangsa ini sekarang memiliki tantangan tambahan. Yaitu: kebutuhan "recover" dari kondisi yang tercipta akibat kebijakan yang dicetuskan Joko Widodo selama menjabat.

Permasalahan yang kita hadapi bukan lagi sekedar Joko Widodo ingkar pada banyak janjinya. Soal yang satu ini sebenarnya adalah masalah "internal" para pendukungnya sendiri. Sebagian dari padanya, di level masyarakat, sudah banyak yang mafhum telah salah pilih dan bertekad memperbaiki kesalahan dengan tidak lagi memilih Joko (apabila maju). Sebagian lagi masih "bersedia" menerima kondisi. Tetapi, permasalahan bukan lagi pada titik ingkar-tidaknya Joko, melainkan sudah pada urusan DAMPAK (dari kebijakan yang tidak tepat). Pada urusan yang satu ini, semua KENA. Semua MERASAKAN.

Supaya tidak dikatakan mengada-ada atau mengawang-awang, saya kasih contoh konkrit. Bahan bakar jenis premium langka di berbagai SPBU di berbagai daerah. Ini akibat Pertamina mencoba untuk sejalan (harus sejalan) dengan kebijakan rezim Joko Widodo. Di lapangan, bahkan SPBU-SPBU sudah sampai pada tahap MENGURANGI jumlah pompa penyedia premium. Pompa pertalite dan pertamax bertambah.

Dalam publikasi, Pertamina menggunakan strategi bahasa "PR" dengan mengatakan konsumsi premium menurun, minat masyarakat meningkat menggunakan pertalite. Singkat cerita, direksi Pertamina harus bergonta-ganti. Bahasa rezim: jangan susahkan rakyat dengan kelangkaan premium. Lucu, kan? Dirut yang barusan "disingkirkan" cukup berani mempertanyakan "arah kebijakan ke depan", karena ia tegas bahwa Pertamina tidak akan bekerja di luar regulasi, melainkan mengikuti ARAHAN pemerintah sepenuhnya.

Apa yang bisa ditarik sebagai benang merah di sini? Kebijakan alih-subsidi BBM yang dicetuskan Joko Widodo malah bikin susah rakyat. Bikin susah Pertamina juga. Ke mana pengalihan subsidi? Ya ke program-program Joko Widodo, yang dalam kampanye Pilpres lalu dia yakinkan masyarakat bahwa "dananya ada, dananya ada": ke Dana Desa, ke Kartu Indonesia Sehat, ke Kartu Indonesia Pintar, ke berbagai proyek INFRASTRUKTUR... Dananya ternyata diambil dari adana subsidi BBM, sisanya tutup dengan Utang dan ijon proyek-proyek infrastruktur (!).

Pun begitu, coba lihat. Apakah "strategi" itu sanggup mencetak pertumbuhan ekonomi sampai 7% sebagaimana diimpikan? Anda lihat sendiri, kan, itu tetap MIMPI. Siapa yang merasakan DAMPAK mimpi kosong itu? Kita semua. Tidak lagi melihat apakah anda pendukung Joko atau bukan pendukung.

Itu baru satu contoh. Baru satu. Sudah cukup untuk mengingatkan seluruh rakyat Indonesia agar tahun depan ganti Presiden. Joko Widodo silahkan menjalankan sisa jabatan, sampai Oktober 2019. Silahkan. Ekspresi aspirasi #2019GantiPresiden jangan ditekan-tekan. Lebih baik konsentrasi memelototin APBN tahun ini, yang mematok kurs dollar 13.400, sementara fakta yang sedang terjadi sekarang dollar hampir 14.000.

***