Jakarta dalam Cengkeraman Kemiskinan, Mengapa Dibiarkan?

Senin, 30 April 2018 | 08:39 WIB
0
931
Jakarta dalam Cengkeraman Kemiskinan, Mengapa Dibiarkan?

Kereta arah Bandara Soekarno Hatta Jakarta dari Sudirman memang sangat canggih dan nyaman. Ini prestasi besar bagi bangsa Indonesia, walaupun sudah seharusnya dari dulu diciptakan. Namun, karena politik yang lamban dan korup, ia akhirnya baru tercipta sekarang. Kereta ini merupakan jalan keluar efektif untuk kemacetan dan kekacauan perjalanan dari dan ke arah Bandara Soekarno Hatta, Jakarta.

Tempat duduknya sangat nyaman. Peraturan juga ditegakkan dengan baik. Suasana juga amat bersih dan aman. Dalam banyak hal, kereta ini bahkan lebih nyaman, daripada kereta yang biasa saya tumpangi di negara-negara dengan tingkat ekonomi maju.

Sekitar 10 menit setelah kereta mulai berjalan dari Stasiun Sudirman Baru, suasana mulai berubah. Tampilan pemukiman kumuh langsung tampil sepanjang jalan jendela kereta. Orang tidur di pinggir jalur kereta, tidak menggunakan baju, di atas kasur bekas. Saya menyaksikan pemandangan yang amat kontras: di satu sisi kemewahan dan kenyamanan kereta, di sisi lain wajah kemiskinan dan kekumuhan Jakarta.

Banyak pertanyaan muncul di kepala saya. Misalnya, apa saja kerja wali kota dan Gubernur selama ini? Mengapa pemukiman kumuh ini dibiarkan? Ini adalah wajah memalukan kegagalan pemerintahan ibu kota.

Kemiskinan dan godaan radikalisme

Saya pun mencoba membayangkan, bagaimana jika saya hidup seperti penghuni pinggir rel ini. Kamar kecil diisi lima anggota keluarga. Uang hanya pas untuk hidup sehari. Tak ada masa depan gemilang di depan mata. Pun tempat untuk tidur di malam hari masih jauh dari kepastian.

Di tengah keadaan seperti itu, segala tawaran yang menghasilkan uang pasti menjadi menarik. Tawaran menjadi pengedar narkoba, preman atau anggota kelompok radikal pasti akan langsung saya sambut dengan tangan terbuka dalam keadaan seperti itu. Belakangan ini, wacana hadirnya kelompok radikal agamis di Indonesia banyak dibicarakan. Namun, ada satu hal yang terlupakan, yakni kemiskinan.

Secara umum, kemiskinan bisa dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah kemiskinan sebagai dampak dari kemalasan. Kemalasan, dalam arti ini, biasanya terkait dengan banyak hal, misalnya kekecewaan, depresi dan sebagainya. Hal ini bisa dilampaui dengan campur tangan yang tepat dari keluarga dan masyarakat.

Yang kedua adalah kemiskinan struktural. Di dalam jenis kemiskinan ini, orang bisa berusaha keras, namun tetap gagal, dan terjebak dalam cengkraman kemiskinan. Ini terjadi, karena struktur masyarakat yang memang menindas sebagian kelompok masyarakat, baik karena sistem hukum, politik, budaya maupun kebijakan ekonomi. Akibatnya, mereka tetap terjebak dalam cengkraman kemiskinan, walaupun sudah berusaha keras.

Apapun jenisnya, kemiskinan membuat orang tak berdaya. Di dalam keadaan tak berdaya, orang cenderung bertindak secara tak masuk akal. Kecerdasannya seolah menurun, dan digantikan oleh kemarahan yang merupakan wajah luar dari rasa takut yang mencekam. Orang semacam itu mudah sekali jatuh ke dalam segala bentuk radikalisme dan terorisme, termasuk radikalisme agama.

Tentu saja, ada perkecualian. Ada orang-orang yang memang cerdas dan memiliki tingkat ekonomi tinggi, lalu menjadi radikal. Namun, jumlah mereka jauh lebih kecil, daripada orang-orang yang terjebak kemiskinan, lalu tersesat dalam radikalisme ataupun tindak kriminal. Hal inilah yang kiranya terlupakan.

Radikalisme hanya dilihat sebagai hasil dari kesempitan berpikir. Itu memang betul. Namun, mengapa orang jatuh ke dalam kesempitan berpikir? Unsur sosial ekonomi jelas memainkan peranan besar.

Kemiskinan kota Jakarta dibarengi dengan pamer kemewahan hidup beberapa kelompok warganya. Mobil mewah dengan mudah dapat ditemukan di Jakarta. Apartemen maupun rumah mewah juga menjamur. Kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin ini tentunya menciptakan kecemburuan sosial yang memiliki banyak dampak jelek.

Beberapa Langkah

Membongkar radikalisme harus ditempuh dengan berbagai cara, mulai dari pendidikan sampai dengan ekonomi. Pemerintahan Jokowi sudah mencoba memperbaiki infrastruktur di berbagai tempat. Ini merupakan langkah yang tepat, karena secara langsung berdampak pada peningkatan mutu ekonomi rakyat. Namun, pada dirinya sendiri, langkah itu tak cukup.

Rakyat miskin juga perlu diberikan pinjaman lunak untuk memulai bisnis, atau untuk melanjutkan pendidikan. Yang terakhir ini bisa diberikan dalam bentuk beasiswa yang mudah diakses dan tersebar luas informasinya. Ini juga ditambah dengan penyuluhan terus menerus dari pemerintah terkait dengan bahaya dari kekumuhan dan radikalisme dalam segala bentuknya. Penyuluhan ini harus dibuat secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Jakarta adalah kampung halaman saya. Selama puluhan tahun, ia hidup dalam ketegangan antara kemiskinan dan kekumuhan rakyatnya di satu sisi, dan kesombongan yang lahir dari kekayaan di sisi lain. Apakah pemerintah daerah Jakarta tidak melihat hal ini? Rasanya tak mungkin, kalau tak melihat.

Atau mungkin ada sebab lain? Apakah ada yang diuntungkan dari kemiskinan dan kekumuhan ibu kota, yang melahirkan radikalisme dalam segala bentuknya? Hmmm.