Nyata, Indonesia Menuju “Republik Bagi-bagi Sembako”

Senin, 30 April 2018 | 08:25 WIB
0
920
Nyata, Indonesia Menuju “Republik Bagi-bagi Sembako”

Sekarang ini sedang musim bagi-bagi sembako. Yang membagi-bagikan sembako beragam. Mulai dari Presiden sampai LSM. Sebelum saya teruskan, saya terpaksa menciptakan singkatan baru, yaitu BBS untuk “Bagi-bagi Sembako”, bukan Bobo-bo Siang sebagaimana yang dikenal selama ini.

Kenapa harus pakai singkatan baru? Karena menjelang pilpres dan pileg tahun depan diperkirakan kita akan banyak menggunakan frasa “bagi-bagi sembako” ini. Jadi, supaya menghemat waktu dan ruang penulisan, saya memakai BBS untuk membahas soal “bagi-bagi sembako”.

Baik. Kita lanjutkan. Kegiatan terbaru BBS berlangsung Sabtu kemarin, 28 April 2018 di lapangan Monas, Jakarta. Luar biasa! LSM yang menamakan diri Forum Untukmu Indonesia (FU) menyebarkan 400,000 kupon untuk paket sembako dan kupon untuk makan gratis di lokasi. Menurut panitia, para penerima kupon juga diberi transpor untuk datang dan pulang.

Kita bicarakan dulu “kehebatan” FU. Satu kupon bisa ditukar dengan 2kg beras plus uang tunai Rp10,000 (sepuluh ribu rupiah). Kalau harga beras Rp12,500 per kilo, berarti nilai total satu kupon sama dengan Rp35,000. Kemudian ada lagi kupon makan gratis. Katakanlah satu paket makanan berharga Rp15,000. Dengan demikian, satu orang yang datang ke Monas mendapat total hadiah Rp50,000.

FU menyebarkan 400,000 kupon. Berarti dana yang tersedia untuk dibagikan kepada penerima kupon adalah 400,000 x Rp50,000, menjadi Rp20,000,000,000. Dua puluh miliar. Sekali lagi, dua puluh miliar. Datang atau tidak semua penerima kupon, tentu Panitia sudah “mengantongi” dana sebesar 20M itu.

Ini baru biaya kupon. Ada lagi kegiatan khitan gratis, pengobatan gratis, perntujukan musik, dlsb. Untuk menggerakkan panitia yang jumlahnya pastilah ribuan orang, tentu memerlukan dana juga. Belum lagi biaya yang sifatnya logistikal. Apalagi, menurut panitia, banyak mahasiswa dan anak sekolah yang mereka kerahkan untuk acara BBS ini.

Sumber pendanaan

Dari mana FU mendapatkan uang tunai 20 miliar? Jumlah ini untuk sebuah LSM, tidaklah sedikit. Seorang anggota panitia yang bernama Leo Paisal, seperti dikutip Detikcom, kelihatan agak kesulitan untuk menjelaskan sumber dana mereka. Dia hanya mengatakan, ada bantuan dari “banyak orang”.

Duit 20 miliar dari “banyak orang”? It sounds unconvincingly weird! Terasa aneh. Susah diterima akal yang masih sehat. Artinya, tanpa “sponsor besar”, hampir mustahil sebuah LSM bisa mengumpulkan dana sebesar itu.

Lantas, siapakah “sponsor besar” itu? Wallahu a’lam. Kita hanya bisa melihat aba-aba saja. Misalnya, panitia menggunakan “merah” sebagai warna operasional mereka. Isyarat lainnya, Leo Paisal menyebutkan bahwa tujuan BBS ini antara lain adalah untuk “menyatukan” warga. Dia menggunakan jargon-jargon nasionalisme, kebersamaan, dlsb. Yang digunakan adalah tema-tema kebangsaan.

Tidak baguskan tema-tema ini? Tentulah sangat elok. Aspek-aspek itu saya sebutkan hanya sekadar ingin menelusuri sumber dana puluhan miliar itu. Tema kebangsaan dan kebersamaan adalah jargon semua partai politik dan para penguasa tinggi. Maknanya, kalau kita mau mengarahkan pandangan ke orpol-orpol sebagai peyandang dana, maka orpol-orpol itu tidak mungkin yang kecil-kecil. Sebagai contoh, tidak mungkin BBS 400,000 kupon dengan nilai minimal 20 miliar dilakukan oleh parpol seperti PAN, PBB, PPP, PKB atau PKS.

Kalaulah orpol yang menyediakan duitnya, maka orpol itu pastilah memiliki sumber dana atau memiliki akses dan kekuatan untuk mengerahkan orang-orang yang berduit.

Apakah ada parpol yang berduit banyak? Kabarnya, ini hanya “kabarnya” (belum pernah tanya langsung), ada parpol besar yang memiliki dana puluhan triliun rupiah. Tentulah parpol tersebut memiliki “jalur khusus” ke berbagai sumber duit.

Baik. Kita tinggalkan masalah pendanaan BBS di Monas itu. Kita tengok aspek yang malah lebih mengkhawatirkan lagi. Yaitu, mengapa kita melakukan inisiatif BBS? Apakah BBS bagus bagi pembinaan masyarakat? Apakah BBS akan terus digunakan sebagai insturmen untuk merebut simpati rakyat? Apakah BBS akan melepaskan rakyat dari penderitaan harian mereka?

Pertama, BBS adalah bentuk pengakuan bahwa rakyat sedang mengalami kesulitan hidup. Dari sisi ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri ikut mengakui penderitaan rakyat itu. Beliau sendiri telah berkali-kali melakukan BBS di berbagai tempat. Barangkali, FU adalah kumpulan anak-anak muda yang sepikiran dengan Pak Jokowi.

Nah, apakah orang lain tidak mengakui penderitaan rakyat miskin itu? Kita semua, saya yakin, malah jauh lebih paham soal penderitaan itu. Tetapi, saya dan Anda tentu tidak perlu melakukan BBS secara terbuka dan dipublikasikan.

Kedua, baguskan BBS dari sisi pembinaan masyarakat? Satu kata: BBS yang berpublikasi adalah bentuk penghinaan yang berbalut simpati. Tetapi, kalau Anda antarkan sendiri ke rumah-rumah rakyat miskin tanpa rekaman dan publikasi apa pun, barulah tidak ada citarasa penghinaan. Kecuali rekaman itu Anda perlukan untuk bukti pertanggungjawaban kepada para donatur, bukan untuk pemberitaan.

FU dan Presiden Jokowi sangat merendahkan martabat penerima BBS. Karena mereka melakukan BBS dengan publikasi, baik atas kehendak sendiri maupun kehendak media. Dan, siapa pun juga, orpol apa pun juga, LSM mana pun juga, pastilah menghina dan melecehkan harga diri penerima BBS kalau mereka lakukan itu dengan publikasi.

Ketiga. Kelihatannya, BBS akan terus digunakan untuk merebut simpati. Bisa jadi juga untuk mengajak agar, di musim pemilihan, penerima BBS memberikan suara kepada pihak penyedia. Kalau inilah tujuan BBS, tentu kita harus prihatin.

Keempat, apakah BBS akan melepaskan rakyat dari penderitaan? Kalau setiap hari ada BBS di semua kantung kemiskinan, boleh jadi kegiatan ini bisa meringankan penderitaan si penerima. Tapi, kalau Anda lakukan secara musiman, kelihatannya tidak akan berdampak apa-apa.

Kelima, saya kutipkan pernyataan Leo Paisal tentang “tujuan mulia” BBS menurut pandangan dia yang masih belum paham terhadap “tujuan khusus” si penyandang dana BBS.

Begini kata Leo: “Yuk, Indonesia itu butuh satu suara minta Indonesia untuk jadi keren, mulia, dan dahsyat.”

What? Indonesia menjadi keren, mulia, dan dahsyat lewat BBS? My goodness! Betapa hancur-leburnya sekarang ini pemahaman anak muda seperti Leo tentang “keren”, “mulia”, dan “dahsyat”.

Di manakah gerangan anak muda ini menuntut ilmu? Di universitas mana kamu sekolah, Leo?

Kalau kamu atau temanmu ada yang kuliah di jurusan sosial-politik, saya usulkan judul skripsi atau thesismu seperti ini: “Indonesia Menuju Republik Bagi-bagi Sembako”. Supaya kamu atau temanmu bisa membahas secara ilmiah bahwa masyarakat Indonesia bisa menjadi “keren”, “mulia”, dan “dahsyat” melalui program BBS.

***