Soal Politik Beretika, Sandiaga Perlu Belajar kepada Aher

Senin, 30 April 2018 | 20:07 WIB
0
763
Soal Politik Beretika, Sandiaga Perlu Belajar kepada Aher

Hampir semua yang menjadi kepala daerah, baik bupati/walikota dan gubernur adalah kader partai politik. Bahkan yang menjadi kepala daerah juga punya jabatan di partai politik, ada yang sebagai ketua DPC, DPD dan DPP, tergantung jabatan sang kepala daerah.

Biasanya setelah menjadi kepala daerah ada jabatan di partai yang dilepas dan menjadi anggota partai biasa supaya bisa fokus pada pekerjaan sebagai kepala daerah, ada juga yang tidak melepaskan jabatannya di partai politik. Tergantung kebijakan partai politik masing-masing.

Bahkan ada kepala daerah yang ditugaskan oleh partainya untuk membantu kampanye kepada kader partai yang maju dalam pilkada di daerah lainnya.

Kadang sebagai kader partai, seorang kepala daerah harus ikut hadir dalam kegiatan partai, padahal  masih di hari kerja. Artinya para kepala daerah akan meninggalkan pekerjaannya untuk hadir dalam kegiatan partainya.

Bisa saja ketika mereka hadir dalam kegiatan partai, sang kepala daerah mendelegasikan tugasnya kepada wakilnya. Tetapi kalau kepala daerah dan wakilnya, dua-duanya hadir dalam kegiatan partai dan meninggalkan tugasnya sebagai kepala daerah.

Sebagai contoh, Gubernur Anies Baswedan dan wakilnya Sandiaga Uno, pada bulan April kemarin menghadiri acara Rakornas partai pada hari kerja, bukan pada hari libur. Terkesan biasa saja, toh tidak lama hanya beberapa jam saja.

Di satu sisi seorang kepala daerah adalah bawahan pemerintah pusat yang harus mendukung dan melaksanakan program pemerintah pusat dan tidak boleh menolak. Untuk mengkritik pun seorang kepala daerah tidak bisa seperti seorang pengamat yang boleh melontarkan kritik seenaknya pengamat ngomong karena tidak ada aturan atau sanksi. Tetapi seorang kepala daerah ada tata caranya apabila ingin mengkritik atau memberikan masukan untuk kemajuan daerahnya.

Sekarang adalah tahun politik, seorang kepala daerah punya target dan diberi target oleh partai pengusungnya untuk memenangkan calon presiden atau wakil presiden yang diusungnya.

Apalagi kepala daerah itu di ibukota Jakarta, wakil gubernur Sandiaga Uno adalah kader partai yang mempunyai jabatan di DPP yang tidak sembarangan, ia menjadi tim lobi yang ditugaskan oleh partainya.

Lihat saja pertemuan antara Sandiaga Uno dan ketum PPP Romahurmuziy, di situ membahas politik nasional untuk kepentingan sang ketum partai dalam rangka pilpres 2019. Itu pertemuan yang terekspose, belum yang sifatnya tidak ketahui oleh media masa.

Bahkan Sandiaga Uno dalam kegiatan partainya atau sebagai wakil gubernur sering membawa pesan atau misi politik. Salah satunya pesannya, yaitu "Pada tahun 2019 kita sudah punya presiden baru". Yang dimaksud presiden baru adalah bukan presiden Jokowi atau #2019GantiPresiden.

Nah, di sinilah ada konflik kepentingan antara perannya sebagai kader partai dan sebagai seorang wakil gubernur yang notabene adalah bawahan pemerintah pusat.

Apalagi dalam kata sambutan pembentukan rumah bersama atau sekretariat bersama antara Gerindra dan PKS, Sandiaga Uno menempatkan sebagai kader partai yang isinya dalam kata sambutan juga cenderung menyerang atau mengkritik presiden saat ini.

Tentu sebagai kader partai Sandiaga Uno akan berjuang mati-matian untuk calon presiden yang di usungnya yang tak lain ketum partainya. Dan ini di ibukota yang menjadi barometer politik Tanah Air. Di satu sisi Sandiaga Uno juga harus membenahi ibukota Jakarta yang lebih baik, bukan malah lebih jelek dari gubernur sebelumnya dan ini tidak mudah untuk membenahi ibukota.

Sebenarnya kalau mau meniru atau menjadikan contoh adalah gubernur Ahmad Heryawan. Ia juga kader partai PKS, tetapi ia jarang terlibat dalam urusan partai yang telah mengusungnya menjadi seorang gubernur. Dan ia juga tidak pernah mengkritik atau membawa misi atau pesan politik. Padahal ia juga sebagai calon cawapres dari PKS. Ia bisa menempatkan diri sebagai seorang gubernur dan seorang kader partai.

Mudah-mudahan bisa lebih fokus membenahi ibukota menjadi lebih baik, bukan malah awut-awutan.Yang gubernur seperti menteri luar negeri,berkunjung ke luar negeri dan wakil juga nyambi sebagai tim sukses. Kalau seperti ini,yang dirugikan tentu masyarakat Jakarta.

***