"Qoulan Layina", Perkataan Lemah Lembut Nabi Musa

Jumat, 27 April 2018 | 21:51 WIB
0
1386
"Qoulan Layina", Perkataan Lemah Lembut Nabi Musa

(43) "Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas; (44) Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut".

Al Qur’an, surah Thaha ayat 43-44.

Menurut para ahli tafsir, kata “qoulan layina” hanya disebut sekali dalam Al Qur’an, yakni terdapat dalam surah Thaha ayat 44. Wallahu a’lam.

Qoulan layina dalam ayat ini secara harfiah atau leksikal bermakna ucapan yang lemah lembut. Tafsir Jalalain mengartikannya dengan “sahlan latifa,” yaitu mudah, lemah lembut. Sulit memang mengartikan satu bahasa ke bahasa lain, apalagi bahasa Al Qur’an. Perkataan yang lemah lembut kalau berkaca pada pada penerapan yang dilaksanakan oleh Nabi Musa kepada Fir’aun rasanya kurang tepat.

Mohammad Natsir dalam buku “Fiqhud Da’wah” mengajak kita memperhatikan da’wah Nabi Musa kepada Fir’aun, dalam rangka mempraktekan ucapan lemah lembutnya seperti apa. Apakah merendahkan diri di depan Fir’aun? Apakah dengan berbasa-basi memuji Fir’aun? Apakah menyembunyikan kebenaran karena takut dengan Fir’aun?

Nabi Musa dan Nabi Harun memperkenalkan diri di hadapan Fir’aun, “Kami berdua adalah utusan Tuhanmu.” Nabi Musa tidak menyebut Tuhan kami, tapi Tuhanmu. Qoulan layina yang diucapkan Nabi Musa tidak kehilangan ketajamannya, tapi juga nampak kesopanannya.

Fir’aun telah memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan maha tinggi. Nabi Musa tidak mengucapkan bantahan secara langsung, “Kamu bukan Tuhan!" Tapi “Tuhanmu” sudah cukup membuat Fir’aun paham bahwa misi da’wah Nabi Musa adalah memperkenalkan Tuhan kepada Fir’aun, bahwa Fir’aun yang mengaku tuhan adalah milik Tuhan pemilik alam ini.

Mohammad Natsir menggambarkan ucapan Nabi Musa itu sebagai “Begitu tajamnya tikaman isinya, dan begitu halusnya cara dan gayanya". Kalau anak jaman now bilang, sopan tapi makjleb.

Bahwa ucapan yang lemah lembut tidak berarti menyembunyikan kebenaran, tapi menyampaikan kebenaran dengan cara yang tepat. Bahwa sejarah menulis Fir’aun sampai akhir hayatnya tetap mengaku dirinya Tuhan, itu soal lain. Bagi Nabi Musa sebagai utusan Tuhan yang diperintahkan menasehati Firaun telah dilaksanakan dengan baik, tanpa harus merendahkan diri di depan Fir’aun, sekaligus bersih dari unsur ‘Annaniyah” atau “akuisme “para pembawa risalah.

Nabi Musa dan Nabi Harun tidak menempatkan diri sebagai orang pertama, sebagai penasihat, tapi menempatkan diri sebagai pihak ketiga. Pihak yang hanya mengantarkan pesan, pesan dari Allah yang tidak bisa ditawar.

Bagaimana reaksi Fir’aun? M.Natsir menggambarkan, Fir’aun menyadari dia sedang berhadapan dengan dua orang yang sedang berusaha membongkar sekrup-sekrup kekuasaannya menggunakan sarung tangan beludru.

Itulah hakekat “qoulan layina". Kalau sarung tangan beludru diumpamakan ucapan lemah lembut, maka membongkar sekrup bisa diartikan ketajaman atau istiqomah pada tujuan awal, menolak kemungkinan siasat atau rayuan penguasa, ya Fir'aun itu.

Fir’aun ngeles dengan membelokan pembicaraan, dia bertanya: "Siapa Tuhan kamu berdua wahai Musa ( dan harun )" (Thaha 49)

Pertanyaan itu membuat Nabi Musa merasa mendapatkan peluang untuk maju selangkah. Dia menjawab:

Musa berkata: "Tuhan Kami ialah yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk ( Thaha 50 )

Maksudnya: memberikan akal, instink (naluri) dan kodrat alamiyah untuk kelanjutan hidupnya masing-masing.

Lalu Fir’aun bertanya dengan maksud mengalihkan pembicaraan atau menggiring pembicaraan ke arah lain yang mungkin saja Nabi Musa sulit menjawabnya, "Kalau begitu, bagaimana keadaan umat-umat terdahulu?" (Thaha 51)

Tentu saja Nabi Musa tidak mau terpancing, dia mengembalikan fungsinya sebagai utusan Allah. Musa menjawab: "Pengetahuan tentang itu ada di sisi Tuhanku, di dalam sebuah kitab (Lauhul mahfuz), Tuhan Kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa". (Thaha 52)

Berangsur-angsur Fir’aun terdesak, dia hanya defensif. Sebaliknya, Nabi Musa terus offensif. Menyerahkan Fira’un? Tentu saja tidak. Dia boleh saja terdesak dalam ilmu kalam. Walaupun ahli sihirnya juga kalah melawan Nabi Musa, tapi dia punya kekuasaan absolut. Dia bisa berbuat apa saja, termasuk mengkriminalisasi Nabi Musa. Dan itulah yang terjadi.

Nabi Musa datang ke istana Fira’un dengan tujuan yang jelas, tetap istiqomah pada tujuannya walaupun berhadapan dengan Raja yang mengaku tuhan. Tidak ada tawar menawar. Itulah “qoulan layina,” perkataan lemah lembut yang dipraktekan oleh Nabi

Musa. Wallahu a'lam bimurodih.

***

27042018