Pelukan Rinjani

Kamis, 26 April 2018 | 07:04 WIB
0
767
Pelukan Rinjani

Para tamu undangan menit demi menit mulai berdatangan. Beberapa tamu mulai bergerilya mencari hidangan. Beberapa tamu mengantri untuk memberi selamat pada pengantin. Beberapa tamu yang lainnya asyik berswafoto dengan pengantin.

Semua bergembira. Anak-anak bergembira mendapatkan es krim. Ada juga yang bergembira mendapatkan potongan kambing guling. Dan aku cukup bergembira menikmati suasana ini dengan memegang segelas jus jeruk.

Langit malam nampak cerah. Bintang-bintang berkelip terang. Bertambah sempurna ketika aku lihat bulan memandikan cahayanya dengan terang. Angin malam mendesir, membuat suasana pesta bertema kebun ini semakin hangat. Aku masih tenang berdiri di sini. Di pinggir kolam renang yang mencermikan indahnya malam resepsi sahabatku.

Pikiranku tenang, hatiku damai. Aroma zuppa soup yang hangat sesekali menyerbak masuk ke dalam hidungku. Sesekali aku meneguk jus jeruk yang aku pegang. Menikmati cita rasa yang ada. Dan kedamaian ini.

“Kamu masih sama seperti yang dulu..." Eh, apa? Ada suara seseorang masuk ke dalam telingaku. “...menyendiri dalam keramaian."

Aku masih memegang segelas jus jeruk yang masih sisa setengah. Aku menoleh untuk memastikan suara itu benar adanya, juga mematahkan rasa penasaranku. Seketika aku refleks bersuara. Hanya basa-basi yang ku lontarkan. “Apa kabar?”

“Dua tahun menghilang begitu saja, kamu tanya aku, apa kabar?” Wanita itu tersenyum. Giginya yang gingsul terlihat. Sungguh manis senyumnya. Kedamaian hatiku terusik. Hatiku gemetar melihat parasnya yang cantik. Aku coba berusaha tenang dengan meneguk jus jeruk yang masih aku pegang lalu menjawab, “Aku di Yogyakarta”.

“Yogyakarta. Piknik?”

“Aku nggak piknik...”

“Kabur? Menghindari aku yang selama ini mencarimu.”

Dia masih sama cantik seperti dulu. Masih suka Menepis ucapanku ketika aku mencoba berkata dengan perlahan. Aku tetap berusaha untuk tenang, bersikap semua terkendalikan. Meskipun parasnya yang cantik mendobrak-dobrak pertahanan hatiku. Bibirnya yang merah muda mencoba menombak batinku.

“...aku tidak menghindar. Aku tidak tahu kalau kamu mencariku. Sebenarnya ada pekerjaan yang membuat aku nyaman disana.”

“Nyaman? Wanita?”

Sial. Dia terus seperti sedang berusaha mengejar sesuatu dariku. Mungkin tentang kemana saja aku selama ini, mungkin tentang apa saja yang telah aku lakukan. Sialnya lagi, malam ini ia sangat sempurna dengan rambut panjangnya yang terurai. Tubuhnya terlihat anggun mengenakan gaun berwarna merah muda.

“Kamu rindu?”, kembali ia bertanya padaku.

“Itu pasti.”

“Biar aku tebak. Aku tahu kamu.” Ucapnya.

“Apa?”

“Kamu masih belum bisa melupakanku.”

“Ge’er.”

“Benar kan? Buktinya kamu masih mengenakan gelang itu”

Lagi dan lagi, aku benar-benar sial. Si cantik itu berhasil menghancurkan pertahanan hatiku. Aku akui, aku memang selalu lemah jika berdiri di hadapannya. Ia melihat gelang yang aku kenakan di tangan sebelah kiriku. Aku pikir gelang anyaman berwarna hitam ini tertutup batik lengan panjangku atau terselip diantara tali jam tangan yang juga aku kenakan.

Melirik gelang itu, lorong waktuku seakan terbuka kembali. Memperlihatkan kenangan manis dua setengah tahun yang lalu.

“Gluduk-gluduk... Gluduk-gluduk...” Begitulah suara laju kereta Argo Parahyangan yang terdengar dari dalam gerbongku. Aku memejamkan mata. Matanya yang indah terpejam. Kepala dangan rambut panjangnya yang lurus bersandar di bahuku.

Hangat, tenang, damai, nyaman. Entah apa yang aku rasakan. Aku bisa merasakan itu meskipun aku juga tertidur. Rasa ini terlalu sulit, rasa ini terlalu indah untuk dikatakan dengan kata-kata indah. Terlalu indah untuk dilambangkan dengan bunga yang terindah.

Mata indahnya masih terpejam. Kepalanya masih bersandar di bahuku. Tangannya bergerak memegang tanganku. Jari jemari aku dan dia bersatu. Kereta terus melaju kencang. Aku kembali menikmati suasana ini. Sekali lagi hangat, tenang, damai, nyaman.

Dua jam setengah aku dan dia berada di dalam perut ular besi ini. Mengantarkan kami berdua dari Stasiun Gambir menuju Stasin Bandung. Waktu terus berjalan seiring melajunya kereta api. Kami berdua tiba di Kota Bandung menjelang malam. Aku melanjutkan perjalanan menuju Lembang, sementara dia menuju Leuwipanjang.

"Aku dua hari di sini. Keberangkatan ku ke Yogyakarta jam 3 sore. Jangan lupa yah, kita ketemu lagi di sini."

“Siap." Dia mengucapkannya dengan tangan diangkat ke kening. Seperti hormat pada jendral. "Danu, kamu pakai ini yah. Gelang."

“Gelang apa?”

“Sebagai kamu udah aku ikat."

Dia tersenyum manis. Lesung pipinya terlihat indah. Matanya berbinar-binar. Sungguh aku akui, aku jatuh cinta mulai hari itu. Kupu-kupu berwarna-warni yang indah kini berterbangan di taman hatiku. Bunga-bunga yang aku jaga setiap hari bermekaran. Pelangi bersinar indah sebagai tanda ia telah masuk ke dalam hatiku.

Aku tersadar dari lamunanku. Kenangan itu masih terekam jelas. Aku coba melanjutkan pembicaraan, “Ya, Wanita. Wanita itu ibuku sendiri. Ia yang memintaku untuk pulang dan bekerja di sana. Semenjak kepergian ayahku. Ibu butuh sosok untuk menentramkan hatinya. Aku lah sosok yang dibutuhkannya.”

Lalu aku terkejut. Dia memelukku erat. Sangat erat. Bajuku diremas. Segelas jus jeruk yang aku pegang terlepas. Pacah, tumpahan jus jeruk itu mengalir ke dalam kolam rengan yang mencerminkan langit malam ini. Dia menagis. Terisak-isak. Aku membalas pelukannya, mengelus kepalanya dengan tanganku. Coba menenangkannya.

Dia terdiam. Sesekali mengatur nafasnya yang tak teratur. Kemudian berkata, “Danu... maafkan aku. Maafkan aku.. sungguh aku meminta maaf.” Dia terus berkata maaf dan maaf tanpa henti.

“Untuk apa?”

“Untuk aku yang telah melewatkanmu. Tidak mencarimu sepenuh hati. Aku masih ingin bersama kamu. Melanjutkan kisah cinta kita. Tapi aku sadar aku tidak bisa, Dan... Tidak bisa... Tidak bisa..." Perlahan Isak tangisnya terdengar. Semakin dalam menangis, semakin keras, semakin pilu. Air matanya menetes ke pundaku.

"Dewi Rinjani... Lihat! Aku udah di sini. Kita bisa memulainya."

"Enggak, Danu. Enggak bisa. Ini yang aku sesali. Aku yang tidak mencarinya sepenuh hati."

"Dua hari setibanya aku di Bandung dua tahun lalu. Aku menunggumu. Meskipun kamu tidak datang di hari keberangkatan ku menuju Yogya. Tapi aku tetap menyimpan rasa ini. Untukmu."

Dia semakin menangis. Menangis dan terus menangis. Dia terjatuh, mencium kakiku. Kemudian berkata, "Aku hamil. Aku mengandung bayi dari lelaki yang ingin menikahiku."

Aku sontak terkejut, hatiku terpukul. "Kamu hamil? Kamu..."

Rasa cinta yang aku simpan selama ini ternyata seperti ini. Aku bisa memeluknya tetapi pedang di sela-sela rambut panjangnya yang menusuk hatiku. Aku hancur dalam pelukannya.

Langit malam ini masih nampak cerah. Bintang-bintang masih berkelip terang. Menambah sempurna ketika aku lihat bulan memandikan cahayanya dengan terang. Angin malam mendesir menambah dingin hati ku yang kelu.

Di pinggir kolam renang yang mencerminkan indahnya malam, aku melihat pecahan gelas yang terjatuh ketika pedang itu menusuk. Hancur semua, berantakan.

Aku pulang ketika aku bahagia melihatnya dia kembali dengan wajah cantiknya. Ketika aku merasakan kenyaman pelukan itu lagi. Ketika aku percaya dia akan tetap mencintaiku. Tetapi tidak bisa memilikinya. Selamanya.

***