Yang Merusak Generasi Muda Itu Bukan Ibu Pekerja

Jumat, 20 April 2018 | 21:51 WIB
0
1060
Yang Merusak Generasi Muda Itu Bukan Ibu Pekerja

Aku mengerutkan dahi membaca kolom komentar di status facebook Tirto.id. Status tersebut membagi artikel yang berjudul “Menteri Susi: Perempuan Sekarang Masih Terkungkung Norma-norma”. Seorang laki-laki (kalau dilihat dari gambar profil dan namanya) memberi komentar dengan menulis bahwa seorang ibu yang bekerja dan berpemikiran bebas dapat merusak generasi muda dan membuat bangsa ini selesai di tahun 2030.

Ni orang apa, sih? Tanyaku dalam hati.

Padahal, di artikelnya hanya dituliskan bahwa Bu Susi merasa perempuan terkungkung oleh norma-norma dan ketakutan-ketakutan yang ada di kepalanya. Sehingga, dia sulit untuk melangkah maju. Ibu Susi tidak menyarankan perempuan harus bekerja. Menurut yang aku baca, beliau hanya ingin perempuan tidak takut untuk melakukan apa yang dia inginkan.

Contohnya adalah meme yang dulu sempat tersebar luas tentang pendidikan perempuan. Dalam meme itu digambarkan perempuan yang berpendidikan tinggi mengejar-ngejar laki-laki. Aku kaget ketika temanku ada yang menolak beasiswa S3 karena khawatir tidak ada laki-laki yang mau menikahinya. Mungkin, perempuan-perempuan seperti ini yang dimaksud Bu Susi. Padahal seperti kematian, jodoh itu sudah ada yang atur.

Aku tidak tahu bagaimana orang yang berkomentar di status milik Tirto.id bisa berkata kalau ibu yang bekerja dapat merusak generasi muda. Kakak sepupuku adalah seorang wanita pekerja. Dia adalah seorang manager store di sebuah perusahaan retail. Suaminya adalah seorang perawat di sebuah rumah sakit besar. Apakah anaknya kemudian menjadi terlantar dan rusak?

Tidak. Anak-anaknya tumbuh menjadi anak yang pintar, lucu, dan tahu aturan. Kakak sepupuku bahu membahu dengan suaminya untuk mengasuh anak-anaknya. Sebisa mungkin, mereka mengatur jadwal kerjanya supaya anak-anak selalu ada yang menemani. Kalau ternyata jadwal kerja mereka bentrok, mereka meminta bantuan seseorang untuk menjaga anak-anak mereka.

Setiap pulang kerja, kakak sepupuku selalu sempat untuk mengobrol dengan anak-anaknya dan mendengarkan anak-anaknya bercerita. Dia memeriksa pekerjaan rumah anak-anaknya dan mengajari hal-hal yang tidak dimengerti oleh anak-anaknya. Dia juga menjalin hubungan baik dengan guru-guru di sekolah anak-anaknya sehingga dapat memantau perkembangan anaknya di sekolah. Anak-anaknya, sampai bisa mengajariku Bahasa Sunda halus lho...

Buatku, yang dapat merusak anak-anak bangsa atau membuat bangsa Indonesia selesai pada tahun 2030 adalah orang tua yang belum siap punya anak. Kesiapan ini bukan hanya masalah usia, tapi lebih ke masalah psikologis. Ada aja lho, orang yang berusia lebih dari 30 tahun tapi masih belum siap punya anak. Kuberitahu sebuah sebuah cerita.

Ada tetanggaku yang sering menjadi perbincangan di antara tetangga yang lain karena anak sulungnya yang berusia 3 tahun sangat nakal. Beberapa kali anak ini menyembunyikan sandalku. Aku sempat berbicara dengan ibunya yang merupakan ibu rumah tangga. Dia nampak kesulitan dengan 2 orang anak yang selisihnya hanya 1 tahun. Bapak anak ini seorang yang bekerja dengan memperbaiki alat elektronik milik orang-orang.

[irp posts="8735" name="Nyi Roro Kidul itu Bernama Susi"]

Kemarin, saat aku sedang duduk santai di teras rumah, tetangga sebelahku juga duduk di teras rumah setelah dia menjemur pakaian. Kami kemudian mengobrol kesana kemari hingga sampailah kami pada topik Si Anak Nakal ini. Tetangga sebelahku itu bercerita kalau Si Anak Nakal ini sebenarnya hanya mencari perhatian karena kurang kasih sayang dari orang tuanya. Ibunya terlalu berfokus pada anak bungsunya sehingga Si Anak Nakal ini kurang diperhatikan.

Dibanding teman-teman sebayanya yang sudah mulai berbicara, Si Anak Nakal ini tidak pernah mengeluarkan kata-kata. Menurut tetangga sebelahku, Si Anak Nakal ini jarang diajak berkomunikasi oleh orang tuanya sehingga masih tidak bisa berbicara.

Aku jadi ingat beberapa waktu yang lalu, Si Anak Nakal ini menangis di luar rumah sambil menggedor-gedor pintu rumahnya. Tetangga sebelahku kemudian mengetuk-ketuk pintu rumah itu dan bertanya kenapa Si Anak Nakal di luar dan pintu rumah dikunci. Ibu Si Anak Nakal hanya mengatakan kalau anak sulungnya rewel dan mengganggu adiknya.

Yang seperti ini termasuk tindakan penelantaran kan? Senakal-nakalnya anak usia 3 tahun, apakah perlu dia diusir dari rumah seperti itu?

Ini ibunya tidak bekerja, lho. Dari perilakunya, sepertinya dia tidak siap dengan ada 2 anak balita di rumahnya. Dia tidak bisa merangkul kedua anaknya dan hanya berfokus pada si kecil.

Jadi, tidak ada hubungannya antara perempuan bekerja dan anak terlantar. Semuanya kembali lagi ke kemampuan perempuan itu dalam mengatur waktunya. Dan satu hal lagi yang penting: dukungan dari suaminya.

Kita tidak bisa menyalahkan 100% ibunya kalau ada anak yang nakal atau terlantar. Kita harus melihat juga bapaknya. Apakah bapaknya bersikap cukup baik pada anak dan istrinya?

Bapaknya Si Anak Nakal ini, galak pada anak sulungnya. Pernah suatu kali Si Anak Nakal ini bermain ke rumahku dan menungguiku masak. Bapaknya kemudian menyuruhnya pulang. Si Anak Nakal tidak mau pulang. Bapaknya kemudian menyeret dan memukulnya hingga anak itu menangis.

Beberapa kali aku juga mendengar ibu Si Anak Nakal ini dibentak oleh suaminya. Kata temanku, korban kekerasan bisa berpotensi menjadi pelaku kekerasan. Dan seperti itulah yang aku lihat dari ibu Si Anak Nakal sehingga dia tega membiarkan anaknya menangis meraung-raung di luar rumah.

Berbeda dengan suami kakak sepupuku. Kakak sepupuku hobi nonton di bioskop. Kalau dia mau nonton di bioskop, suaminya akan di rumah menjaga anak-anak. Dia bisa pergi dengan teman-temannya yang dikenal oleh suaminya.

Kalau memang mau pergi nonton di bioskopnya sama suami, ya anaknya dititipkan ke orang lain. Mampu nonton di bioskop masak tidak mampu bayar daycare? Kalau mau mengajak anak-anaknya ikut serta menonton di bioskop, mereka akan memilih film yang memang layak ditonton oleh anak-anak.

Suami kakak sepupuku berusaha menjaga istrinya tetap gembira dengan memberikan waktu untuk bersenang-senang. Ibu yang bergembira, akan merawat dan menyayangi anaknya dengan baik.

Kupikir-pikir lagi, sepertinya yang bisa merusak generasi muda adalah orang yang suka berkomentar ‘sempit’ di sosial media.

***