Berbeda dengan Hatta yang hanya menerbitkan Majalah “Daulat Ra’jat”, Soekarno dulu menerbitkan dua buah majalah sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan rakyatnya. Dua majalah itu adalah “Soeloeh Indonesia Moeda” dan “Fikiran Ra’jat”.
Soeloeh Indonesia Moeda diterbitkan bagi kalangan terdidik. Tentu saja ukuran keterdidikan masa itu, dekade 1930-an, masih sangat sederhana, yaitu mereka yang mampu membaca dan menulis dengan baik. Mereka dianggap bisa mencerna gagasan rumit melalui bahasa yang dalam kosakata kita hari ini disebut “akademis”. Demikianlah isi majalah itu.
Sementara itu, Fikiran Ra’jat adalah majalah yang ditujukan kepada kaum Marhaen yang tak cukup pandai membaca dan menulis. Oleh karena itu, majalah yang terakhir ini ditulis dengan bahasa yang mudah.
Model karangan Soekarno, yang oleh sejumlah kalangan Indonesianis dianggap sebagai tidak akademis, dan untuk itu selalu dihadirkan karangan Hatta sebagai pembanding, menurut saya merupakan buah dari kebiasaannya untuk selalu berusaha mengkomunikasikan gagasan-gagasan rumit dan abstrak ke dalam rumusan sederhana yang masuk ke dalam penalaran rakyat jelata. Dan itu, selain dibentuk oleh tradisi rapat umum yang diakrabinya, menurut saya juga dibentuk oleh corak Majalah Fikiran Ra’jat.
Majalah Daulat Ra’jat, yang dikelola oleh Hatta dan Sjahrir, bahkan hingga hari ini, bisa disebut sebagai majalah yang “berat”. Berbeda dengan Fikiran Ra’jat yang menghadirkan kartun politik untuk membantu menyampaikan sejumlah laporan dan karangan yang dimuat di dalamnya, Daulat Ra’jat sepenuhnya hanya berisi teks. Anatomi itu sudah cukup menjelaskan untuk siapa majalah-majalah itu ditujukan.
Apa yang dilakukan Soekarno, Hatta dan Sjahrir dengan majalah-majalahnya menjadi pelajaran bahwa setiap pemimpin memiliki kewajiban untuk mengkomunikasikan ide-idenya kepada masyarakatnya. Lebih jauh lagi, setiap pemimpin memiliki kewajiban untuk mendidik masyarakatnya, karena hanya masyarakat yang terdidiklah yang bisa menerima dan menyari ide-ide dan sekaligus memberikan tanggapan balik kepada para pemimpinnya.
Oleh karena itu kita harus merasa miris terhadap para pemimpin yang menganggap tidak penting untuk mengkomunikasikan ide dan konsep-konsepnya. Masalah kita hari ini bukanlah “terlalu banyak ide, tapi tak ada yang sungguh-sungguh mengerjakannya”.
Masalah kita hari ini adalah “tak pernah ada ide yang benar-benar matang” sehingga “siap untuk menangani persoalan” Republik ini. Ide yang matang tak selesai dirumuskan hanya sehari dua, dan tak cukup hanya diomongkan lewat media sekali dua.
Ketika para pendiri Republik ini berkumpul dalam BPUPKI/PPKI pada 1945, gagasan yang mereka diskusikan di dalam forum itu sudah mereka rumus-uraikan sejak dua puluhan tahun sebelumnya, gagasan yang telah mereka hidupi semenjak masih sangat muda.
Jika hari ini masih ada saja pemimpin yang mencoba membuat distingsi antara “konsep” dengan “kerja, kerja, kerja”, seolah salah satu lebih penting dari yang lainnya, maka pemimpin yang demikian harus kita curigai sebagai tak belajar sejarah dengan benar. Bahkan, bisa jadi ia sebenarnya sedang menyembunyikan kefakirannya mengenai konsep dan gagasan.
Saya selalu teringat petilan pidato Soekarno pada 1959 ini, ketika ketemu dengan para pemimpin yang sepertinya enggan ketika ditanya mengenai ide dan konsep: "Saya bukan seorang fasis, saya bukan pengikut Hitler. Bukan! Yakinlah saya bukan pengikut Hitler; saya seorang sosialis.
Tetapi ada satu perkataan Hitler yang benar, yaitu bahwa untuk masa pembangunan, untuk masa berjoang buat satu cita-cita, maka... semboyan untuk jaman yang demikian itu ialah: 'viel sprechen, viel arbeiten'; banyak bicara, banyak bekerja. Dan itu adalah semboyan yang benar."
Jadi, wahai para pemimpin, banyaklah bicara mengenai gagasanmu. Bernyalilah untuk menyampaikannya, jika kamu benar-benar memilikinya!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews