Prabowo Subianto menyatakan kesiapannya dirinya sebagai calon presiden pada Pilpres 2019 saat diberi mandat oleh partainya. Mandat tersebut diberikan Gerindra kepada Prabowo dalam Rakornas Partai Gerindra yang berlangsung di kediaman Prabowo di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Rabu 11 April 2018.
Sekjen Gerindra Ahmad Muzani mengatakan kepada media bahwa sebanyak 34 ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan 529 ketua dewan pimpinan cabang (DPC) Partai Gerindra menginginkan Prabowo maju sebagai capres. Dukungan juga datang dari 2.785 anggota DPRD kabupaten/kota dan 251 anggota DPRD tingkat provinsi, serta 73 anggota DPR asal Gerindra.
Timbul spekulasi dan pertanyaan di benak kita semua, termasuk mungkin juga di pikiran Pak Jokowi sebagai salah satu calon presiden yang akan maju, apakah Prabowo akan maju sebagai playmaker atau akan memberikan mandat kepada orang yang dipilihnya, dia menjadi kingmaker. Nah, penulis mencoba menganalisis dinamika politik calon lawan potensial pak Jokowi pada pilpres 17 April 2019, khususnya dari kubu Gerindra. Mari kita bahas.
Mandat sebagai Desepsi
Prabowo selama beberapa tahun terakhir bersama partai koalisisnya menjadi pihak yang berada di luar pemerintahan era Presiden Jokowi. Koalisi Prabowo secara perlahan sedikit demi sedikit tergerus oleh kekuatan penguasa. Golkar sebagai teman sejawat, kemudian beralih menjadi pendukung Presiden Jokowi. Kepentingan masa depan dan pragmatisme memang menjadi bagian dari partai politik, tidak ada yang abadi memang, semua mudah dicairkan.
[caption id="attachment_14100" align="alignleft" width="591"] Prabowo Subianto[/caption]
Setelah ikut dalam pilpres 2014, Prabowo walau kalah nampak mampu membangun Gerindra menjadi parpol nasionalis yang mampu menyaingi Golkar sebagai partai senior. Di Indonesia, parpol banyak tergantung kepada kekuatan pemimpinnya sebagai patron, disebabkan karena masih berlakunya budaya paternalistik. Penulis melihat, mungkin hanya PKS yang kadernya tidak terlalu tergantung kepada pemimpinnya. Prabowo kini menjadi salah satu patron, disamping Megawati dan SBY.
Kini Prabowo sudah diberi mandat partainya untuk maju sebagai capres. Menurut penulis, belum tentu 100 persen Prabowo akan mendeklarasikan diri sebagai capres, ada sisi yang jelas disembunyikannya dan benar-benar harus diwaspadai lawan politiknya. Penulis menilai ini sebuah desepsi agar Jokowi lengah dan salah hitung. Masih ada sekitar empat bulan dalam kubu Jokowi dalam menentukan cawapresnya. Berbeda jelas strateginya, melawan Prabowo atau tokoh/pemain pengganti.
Keputusan akhir hanya ditangan Prabowo sebagai patron, siapa orang Gerindra yang berani membantahnya. Penulis sementara ini memperkirakan Prabowo akan mengukur dinamika politik dari sisi intel taktis yaitu Kekuatan, Kemampuan dan Kerawanan.
Mengukur Prabowo dari Sisi Intelijen
Menurut penulis, sebagai mantan militer yang memiliki wawasan ilmu intelijen, pertama dia akan menilai dari sisi kekuatan, seberapa besar kekuatan yang akan mendukungnya, berupa besarnya dukungan publik, baik dari kalangan nasionalis, kaum muslim dan mereka yang non muslim, serta etnis China dan Arab.
Secara demografis kini komposisi penduduk Indonesia didominasi oleh usia muda produktif yang mayoritas beragama Islam. Aksi Bela Islam memunculkan fenomena baru menyatunya berbagai harakah (gerakan) Islam yang sebelumnya tidak pernah bisa menyatu. Aksi 212 jelas mencengangkan sebagai fenomena baru dimana agama secara masif menyentuh politik.
Prabowo akan mengukur, dan menunggu kepastian seberapa besar Presidium Alumni 212 yang kini ribut, namanya menjadi Persaudaraan Alumni 212 akan menjadi kekuatannya. Selain itu dia akan mengukur pandangan rakyat terhadap dirinya, dimana pada era demokrasi menjadi presiden adalah mandat dari rakyat.
Di era digital kekuasaan itu bukan owning (kepemilikan), tapi sharing (harus berbagi), menjadi milik bersama. Semua itu belum dimilikinya dengan penuh keyakinan, baru sebatas pemahaman, sementara Pak Jokowi sebagai petahana, lebih bebas dan selangkah lebih maju dalam menatanya.
Bagian kedua yang akan diukur oleh Prabowo adalah kemampuan. Hal yang paling dominan untuk bersaing adalah soal kesehatan dan dukungan logistik, yang mana dua hal ini akan sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan Prabowo untuk menang. Mampukah Prabowo menaikkan elektabilitasnya?
Elektabilitas Jokowi sebagai petahana sudah cukup tinggi. Oleh karena itu penulis melihat strtategi pilkada DKI sudah dimainkan, kalau tidak bisa menyaingi petahana maka turunkan elektabilitasnya, kalau mampu luruhkan, agar terjadi keseimbangan. Anies mampu menang setelah Ahok sebagai petahana terkena masalah dengan gelegar solidaritas Islam.
Ketiga, masalah kerawanan, dimana pada masa lalu Prabowo memiliki kerawanan disaat pemerintahan Gus Dur, sehingga terpaksa mengungsi ke Yordania. Walau pada pilpres 2014 kerawanan itu dapat dinetralisir, sebagai manusis jelas Prabowo sadar dia memiliki kelemahan dalam bentuk kerawanan.
Prabowo faham bahwa pasti ada bocornya rencana, gerakan dan ucapannya yang sudah dimiliki lawan politiknya akan menjadikan dirinya tersandera. Bila kerawanan tersebut dibuka ke publik akan menyebabkan kelumpuhan permanen. Hanya dua tokoh yang faham masalah ini, menurut penulis hanya Prabowo dan Jokowi.
Perkiraan Pemain Pengganti Prabowo
Penulis menyebut sosok yang akan didukung dan diajukan Prabowo sebagai capres apabila dia tidak maju sebagai pemain pengganti. Belum tentu dia sosok atau kader Gerindra, karena belum ada kader Gerindra yang pantas dan bisa menyaingi Pak Jokowi.
Saat Pilkada DKI Jakarta pada awalnya kader Gerindra yang diusung adalah Sandiaga Uno dan mau membiayai operasi pemenangan di DKI. Saat itu Prabowo mengukur, dalam melawan petahana, maka Anies Baswedan yang bukan apa-apanya tetapi karena sudah lebih terkenal kemudian diajukan sebagai cagub, Sandi menjadi cawagub. Strategi saat itu, Prabowo sebagai patron, lebih menguasai situasi dan kondisi perpolitikan.
Di lain sisi SBY membentuk kubu ketiga, AHY sebagai cagub dari koalisis Demokrat. Sebagai Kingmaker, saat Pilkada DKI Prabowo sukses. Mungkin saja Sandiaga percaya apabila seperti perkiraan penulis, dengan konsep pilpres 2019 Anies sukses menjadi Wapres maka dia akan menjadi DKI-1.
Dengan menurunkan popularitas dan elektabilitas Ahok, maka elektabilitas Anies dan AHY mampu di dongkrak naik. Ahok yang tetap masih agak kuat kemudian berhadapan dengan Anies diputaran kedua, Anies menang. Sementara AHY walau kalah mendapat keuntungan, popularitasnya naik pesat di tingkat nasional. SBY ahli strategi, konsepnya mengalah untuk menang dengan target masa mendatang , menyiapkan medan juang bagi anaknya, kira-kira begitu.
Nah, apabila Prabowo tidak maju, siapakah calon yang akan diusung koalisi Gerindra?
Ada beberapa calon yang mulai mencuat kepermukaan. Survei Poltracking yang dilakukan medio 27 Januari-3 Februari 2018, elektabilitas Jokowi paling tinggi dalam simulasi tiga nama capres yaitu mencapai 57,9 persen saat dihadapkan dengan Prabowo (31,5 persen), dan mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo (2,3 persen).
Survei Indo Barometer yang dirilis di Hotel Atlet Century, Jakarta, Kamis 15 Februari 2018, apabila Prabowo tidak maju, Anies menjadi lawan terberat Jokowi dengan elektabilitas 12,1 persen. Di bawah Anies adalah mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo (7,8 persen) dan Agus Harimurti Yudhoyono (5,3 persen).
Lantas, dalam waktu empat bulan mendatang, siapa yang akan dipilih Prabowo sebagai capresnya apabila dia tidak maju?
Sedikit melihat bahasa tubuh dan apa yang disampaikan Prabowo beberapa waktu terakhir, dia meniupkan bahwa tahun 2030 Indonesia bubar. Jelas ini agenda politik, mungkin maksudnya, pada pilpres 2019 agar rakyat memilih presiden yang faham geopolitik serta perkiraan intelijen jangka panjang (tersisa 10 tahun hingga 2030).
Pesan Prabowo sebagai hidden agenda, presiden yang akan datang harus orang kuat, karena akan terjadi konflik di Timor Leste yang menyebabkan Indonesia bubar pada 2030, yang lebih ekstrem bila dibaca yang tersirat, presiden sebaiknya dari militer. Sementara dari sisi taktis Pak Amin Rais terus menyerang Jokowi melalui kelemahan substantif.
Penulis sementara ini memperkirakan kemungkinan Prabowo akan memilih mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo sebagai capres dan Anies sebagai cawapres.
[irp posts="5797" name="Prabowo Subianto Semakin Meneguhkan Dirinya sebagai Kingmaker""]
Gatot sebagai mantan Panglima TNI sudah populer dan memiliki elektabilitas, sering melakukan safari politik sejak lama dan terus membangun hubungan dengan kelompok Muslim disegala lapisan. Di samping itu Gatot secara terbuka menyebutkan bahwa sahabatnya adalah salah satu konglomerat, Tomy Winata. Apabila TW turun gunung, ini berarti dukungan logistiknya akan teratasi.
Sementara Anies sebagai cawapres diharapkannya akan mampu menarik para konstituen kaum muda Islam. Sebagai keturunan etnis Arab yang sama seperti etnis China yang disebut kelas dua di masa kolonial, Anies masih bisa berkiprah dalam dunia politik di Indonesia karena tidak ada persoalan dengan agama.
Mereka (etnis Arab), bisa langsung bercampur dengan masyarakat. Terlebih pada era masa kini dengan membesarnya slogan solidaritas Muslim posisi Anies bisa menjadi magnit penguat. Dari kalangan kelompok yang menyebut dirinya persaudaraan Muslim 212, nama Tuan Guru Bajang mulai disebut-sebut, tetapi menurut penulis peluangnya lebih kecil akan dipilih Prabowo.
Kesimpulan
Analisis intelijen memang sangat sulit dan akan berakhir menjadi sebuah prediksi, karena itu penulis sementara ini menyimpulkan kemungkinan besar Prabowo akan memberikan mandatnya sebagai capres. Dia akan menjadi Kingmaker, menurunkan pemain pengganti yaitu Gatot Nurmantyo berpasangan dengan Anies Baswedan.
Pasangan ini sebaiknya dihitung benar oleh pendukung Jokowi, karena akan bergabungnya kelompok etnis Arab, etnis China serta kaum muda Muslim ke kubu Prabowo. Tanpa bersusah payah, Prabowo tetap akan menjadi patron dan berpeluang menduduki kursi kebesaran terhormat seperti yang kini dialami oleh Megawati.
Kira-kira begitu.
***
Marsda Pur Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen, www.ramalanintelijen.net
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews