Berbagi Ilmu Menulis (1): Mati Gaya Cara Papua Akibat Internet Sekarat

Sabtu, 14 April 2018 | 11:22 WIB
0
750
Berbagi Ilmu Menulis (1): Mati Gaya Cara Papua Akibat Internet Sekarat

Tidak saya sangka, petaka yang melilit pihak lain itu, yaitu Telkomsel, telah memutar arah jarum waktu ke masa silam, setidak-tidaknya ke pertengahan tahun 90-an saat pertama kali memiliki ponsel. Fungsi ponsel saat itu hanya untuk menelpon thok. Kalaupun ada fitur canggih saat itu tidak lain SMS untuk mengirim “pesing” alias pesan singkat.

Saya teringat Siemens S4, ponsel yang baterainya besar dan karenanya tahan lama itu. Fungsinya hanya sebatas menerima dan menelpon, SMS juga terbatas karena karakternya dibatasi. Layar hitam-putihnya hanya lebih besar sedikit dari jempol saya dengan papan ketik yang besar di bawah layar. Tidak ada aplikasi apapun “hidup” di dalam mesin ponsel itu karena Android, OS, dan iOS baru akan lahir seperempat abad kemudian.

Makanya ketika Telkomsel, sebuah provider terbesar negeri ini kolaps di Papua, saya benar-benar mati gaya. Teringat buku yang pernah saya baca pertengahan tahun 80-an, “Mati Ketawa Cara Rusia” suntingan Z. Dolgopolova, maka saya terbersit bakal meminjam judul buku ini untuk judul laporan pertama saya ini, meski agak saya pelesetkan sedikit, “Mati Gaya Cara Papua”. KIra-kira begitulah.

“Kalau ada tulisan yang harus di-uplod, uplod saja darti sekarang atau menyewa editor selama Kang Pepih berada di Papua,” Iwan Kurniawan mengingatkan. Ia karyawan Maverick, pihak yang mengundang saya untuk mengajar menulis kepada karyawan Freeport dalam dua term; di Tembagapura dan Timika. Wah, sungguh menantang ini. Bersama Karen, kami bertiga ngopi-ngopi sore.

Tentu ini juga cara mengajar menulis yang ekstrem, yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Pertama, saya harus menyajikan materi bagaimana menulis semudah mungkin di antara para peserta di tambang emas dan tembaga Freeport dengan latar kehidupan dan keterampilan berbeda, bagaimana menggali pengalaman mereka dan menuangkannya dalam tulisan “Storytelling”.

Kedua, Timika dan Tembagapura di Papua adalah sangat jauh dari Jakarta, mungkin jarak kedua terjauh setelah Tokyo, Jepang, di mana saya juga pernah mengajar menulis di sana. Ketiga, durasi mengajar yang memakan waktu lima hari perjalanan sangatlah panjang dan sepanjang itulah saya mati gaya karena tidak bisa berinternet.

Seperti mampu menebak dengan tepat kegundahan saya, apa yang dikemukakan Iwan di sebuah warung kopi di Plasa Senayan itu memang benar demikian. Jujur, saya agak berberat hati meninggalkan PepNews! sebuah media alternatif yang saya urus dengan sepenuh hati, penuh passion dan tidak pernah berpikir bagaimana jadinya nasib situs yang saya kelola nantinya, termasuk nasib pengelolanya hahaha...

Mengutip ucapan Pramoedya Ananta Toer bahwa setiap tulisan akan menemukan takdirnya sendiri, begitupun sebuah website yang saya bangun dan dirikan; dia akan menemukan takdirnya sendiri. Yups, saya yakini hal itu dengan kesadaran penuh, bahkan harus beranjak dari zona nyaman yang telah saya diami selama 26 tahun. Epic bener...

Meski demikian, tatkala saya harus “berpisah” sementara karena saya belum bisa mempercayakan editing naskah yang masuk kepada editor –ini apologi saja di saat saya belum bisa menggaji editor- saya sedih juga kalau tidak menulis dan bahkan mengunggah tulisan gara-gara Telkomsel pingsan!

Benar saja, ketika saya ke luar dari perut pesawat Airfast Indonesia bersama beberapa kawan dan menjejakkan kaki di Bandara Moses Kilangin, Timika, setelah menempuh 5 jam perjalanan udara, bau-bau bakal mati mati gaya sudah saya rasakan.

Saat menghidupkan ponsel di ruang pengambilan bagasi, memang tercantum “4G” di ponsel saya, tetapi itu ternyata notifikasi “PHP” alias pemberi harapan palsu. Nyatanya, kecepatan data yang ke luar masuk hanya berkualifikasi “2G” saja. Menyedihkan.

Sselintas saya teringat tulisan Chris Anderson di Majalah Online "WIRED" beberapa tahun silam dengan judul "The web is dead", tulisan itu serasa menemukan kebenarannya di Papua. Keseharian, saya membuka aplikasi Android di ponsel tanpa harus mengetik "WWW" di mesin Google Chrome. Di Papua ini, otomatis yang saya cari adalah aplikasi yang memenuhi beberapa halaman ponsel saya. Tetapi, tak satupun yang bisa beroperasi. Mungkin saya harus menghubungi Anderson dan mengabarkan bahwa di Papua ini tidak sekadar "The web is dead", tetapi "All of Apps are dead!"

Praktis saya hanya bisa membaca pesan dari WA yang tidak lebih dari SMS masa silam, itupun sampainya selalu telat beberapa jam, seperti delayed message, begitu. Kalau untuk menelepon atau menerima panggilan telepon, tidak ada masalah. Tetapi, semua aplikasi baik di Android mupun iOS ya itu tadi, tewas tanpa ampun. Jangankan membuka aplikasi, bahkan untuk membuka email pun tidak bisa, apalagi mengunggah konten CMS PepNews yang setiap hari saya lakukan. Sakitnya tuh di sini (sambil nunjuk ulu hati).

Saya biasa menulis artikel sedikitnya tiga tulisan di PepNews berkualifikasi “hot issues”, bahkan kalau “gila nulis” sedang kumat, saya bisa menghasilkan tulisan dua kali lipat dari jumlah itu. Alhasil, ide menumpuk di otak dan menulis saya lakukan di Word saja, bukan CMS yang setelah menulis, pijit “publish” langsung deh tayang dan dibaca banyak orang.

[caption id="attachment_14083" align="alignleft" width="501"] Meja kerja di suite-room hotel (Foto: Pepih Nugraha)[/caption]

Saya berpikir baik, mungkin di Rimba Papua Hotel tempat saya menginap sebelum keesokan harinya terbang menggunakan helikopter (di sini dinamai chopper), sinyal Telkomsel yang di Papua sudah menjadi pembahasan di DPRD karena sangat merugikan penggunanya itu, akan dapat saya terima.

Nyatanya tidak. Suite-room seluas 36 meter persegi yang disediakan untuk saya “ngiler” barang beberapa jam saja tidak menolong. Kamar yang dilengkapi living room bersofa, meja kerja, lounge, dua televisi, dua WC serta menyediakan buah-buahan dan mesin pembuat kopi dengan kopi “Illy” di dalamnya itu tetap “buta”, tidak mampu menghidupkan seluruh aplikasi di ponsel saya. Benar-benar mati gaya.

Oh ya, 2 TV dan 2 WC yang tersedia itu tidak mungkin saya gunakan semuanya, wong saya cuma sendirian, tapi buah-buahan dan dua dari 15 “cube” kopi “Illy” yang sudah dipress sebagai espresso itu saya nikmati, 13 lagi saya masukkan ke kopor. Pengennya mesin espresso mungil fasilitas suite room itu juga saya masukkan sekalian hahaha....

Oh iya...saya tidak bermaksud sombong mengungkap fasilitas suite-room yang saya peroleh dari pihak pengundang, yang kalau saya sendiri yang bayar mana tahan. Pesawat terbang dan helikopter pun disediakan. Itulah kemewahan yang saya dapatkan selaku penulis sekaligus pemateri menulis yang tetap konsisten menggeluti dunia kepenulisan dan sebagaimana kata Pramoedya, menemukan taqdirnya di sana.

Ketika Iwan mengingatkan saya tentang pingsannya Telkomsel di Papua, saya sengaja membeli kartu provider pesaingnya, Ooredo. Saya baru tahu, chips nano yang saya beli juga tidak bisa digunakan lantaran Telkomsel adalah satu-satunya pemain di Timika ini alias monopoli blas. Karena monopolistik itulah keluhan warga pengguna kurang diperhatikan sampai anggota DPRD pun bereaksi. Mereka mempertanyakan komitmen Telkomsel yang katanya akan memperbaiki kerusakan secepatnya, tetapi waktunya mundur terus alias tidak tepat janji.

Koran Harian Papua edisi Rabu 11 April 2018 bahkan memuat tajuk utamanya dengan judul “Hari Ini DPRD Panggil Telkomsel”. Saya bayangkan, kehadiran Presiden Joko Widodo dan “pritilannya” untuk singgah sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Asmat tidak akan mengalami mati gaya seperti saya, tetapi boleh jadi di Asmat jauh lebih parah lagi. Lha, saya harus "menderita" selama lima hari di atas kuburan aplikasi.

Alhasil, menghabiskan waktu di suite-room sendirian hanya saya gunakan untuk kontemplasi saja, menyusuri waktu yang telah berlalu, memunculkan gambaran peristiwa yang saya lalui bersama orang-orang yang saya cintai, mulai saya “menyadari” keberadaan saya, masa kanak-kanak bawah tiga tahun yang samar-samar saya ingat, masa balita, remaja, kuliah, bekerja, sampai saya berhenti dari pekerjaan untuk menjadi manusia yang lebih bebas-merdeka. Semua berkelebat membentuk gugusan-gugusan cerita.

Saya harus berkompromi dengan diri sendiri untuk secepatnya tidur, karena pukul 5 pagi WIT yang berarti pukul 3 dinihari WIB, saya harus berada di lobi hotel, siap-siap menuju Tembagapura menggunakan “chopper” alias helikopter menuju atap Papua.

(Bersambung)

***