Imam Syafii berguru pada Imam Malik. Tentu saja beliau sangat menghormati Imam Malik. Bahkan ketika beliau berbeda pendapat dengan Imam Malik dan menunjukkan beberapa kesalahan pendapat keagamaan Imam Malik, beliau menulis buku “Khilafu Malik. “ Tapi ketika ditanya pendapatnya soal pribadi Imam Malik, beliau dengan penuh takzim berkata, “Ustadziiii….ustadaziii..,” gurukuuuu…gurukuuuu….
Saya benar-benar nggak habis pikir, setelah kedatangan Sukmawati menemui Kyai Ma’ruf Amin, sebagian kita kehilangan adab pada ulama. Kita boleh saja tidak sependapat dengan ulama, masih banyak cara untuk menyatakan tidak sependapat.
Kalau kita (termasuk saya) tetap ingin Sukmawati tetap diproses hukum, nyatakan saja pendapat kita soal itu. Bahwa Pak Kyai Ma’ruf berpendapat berbeda itu hal yang biasa. Lagi pula beliau hanya mengimbau, bukan melarang. Atas dasar apa kita menghina Pak Kyai hanya gara-gara beda pendapat? Lagi pula bukan hanya Pak Kyai Ma'ruf seorang , mantan Ketum MUI, pak Dien Syamsudin juga bersikap yang sama.
Cobalah tanya pada diri sendiri. Apa kepuasan dalam diri kita saat kita tanpa merasa risih menghujat Kyai Maruf Amin? Tanyakan juga, apa manfaatnya? Padahal “musuh” kita adalah Sukmawati. Bukan hanya seorang Sukmawati, termasuk yang ikut bertepuk tangan menyemangati dan menyetujui puisi Sukmawati.
Jangan-jangan Sukmawati sudah memperhitungkan ini. Kedatangannya menghadap Kyai Maruf Amin yang dia tahu pemaaf akan berdampak seperti ini. Dia tinggal menikmati hasilnya karena telah berhasil membagi sebagian hujatan pada dirinya kepada Pak Kyai.
Jangan-jangan pemerintah juga sudah memperhitungkan sebagian sikap kita ini. Pak Kyai Maruf diangkat menjadi penasehat presiden, menjadi penjaga ideologi pancasila. Ketika beliau bicara soal politik kapasitas beliau sebagai penasehat presiden, tapi tetap saja media menulisnya sebagai Ketum MUI.
Beliau juga sangat perhatian pada perihal ekonomi umat yang mau tidak mau harus bergandeng tangan dengan pemerintah, kemudian sikap ini juga bisa disalah tafsirkan oleh umat, dan dimanfaatkan oleh pemerintah.
Apapun ceritanya, bisakah menjawab pertanyaan ini. Pernah adakah ulama yang tergabung dalam GNPF Ulama (dulu MUI) berkata buruk pada Pak Kyai Ma’ruf Amin? Sewaktu dulu jelang aksi 212 juga Pak Kyai kerap berseberangan pendapat dengan para ulama GNPF-MUI.
Pak Kyai berkali-kali mengimbau agar tidak mengadakan demo, agar membatalkan aksi demo Ahok, percayakan saja sama hukum. Tapi ketika keinginan umat tidak bisa dibendung, beliau juga merestui. Selama silang pendapat tidak ada hujatan yang ditujukan pada beliau. Lalu sebagian kita yang sekarang menghujat Pak Kyai, adab siapa yang kalian ikuti?
Ketika Pak Kyai bersaksi di persidangan, Pak Kyai mendapat kata-kata kasar dari Ahok. Padahal di persidangan itu hal yang biasa, tapi tetap saja umat tidak terima Pak Kyai dibentak, diancam di persidangan. Datang utusan dari Istana meminta maaf, Pak Kyai juga memaafkan.
Kenapa sekarang sebagian dari kita malah bersikap seperti Ahok yang tanpa bisa melihat siapa orang yang dia bentak, sebagian kita sekarang dengan tanpa rasa risih menghujat Pak Kyai hanya karena beliau minta memaafkan Sukmawati?
Ada yang menyoal, kenapa Pak Kyai beda sikap dengan saudara-sudara kita yang sedang berjibaku di pengadilan? Tentu saja kasusnya berbeda. Saudara-saudara kita diadili karena dianggap menghina pemerintah, dan itu sudah masuk ranah hukum. Pemerintahlah yang bertanggung jawab terhadap ketidak adilan ini, bukan Pak Kyai.
Pak Kyai hanya mengurusi jika ada penghinaan terhadap agama Islam. Tapi jika ada saat yang tepat, Pak Kyai juga akan bersikap, misalnya tiba-tiba beliau meminta pemerintah memberikan grasi pada Ustadz Abu Bakar Baasyir. Seingat saya tidak ada satu orang pun yang berani mengusulkan grasi ini takut dianggap pro teroris.
Saudara, medsos itu dunia cair, kita tidak tahu mana kawan mana lawan, kita hanya mengenal lewat tulisan. Ketika ada yang menghina Pak Kyai, kita tidak tahu apakah karena gemas dengan Sukmawati atau sengaja menghina Pak Kyai memanfaatkan situasi.
Bagi saya, apa pun ceritanya saya tidak paham lahir batin kalau ada orang yang dengan mudah menghujat Pak Kyai hanya karena berbeda pendapat. Bagi orang yang dididik menghormati ulama, saya yakin tidak akan tega menghina Pak Kyai.
Saya juga tidak setuju dengan pendapat Pak Kyai, saya tetap menginginkan Sukmawati diproses hukum, tapi saya tetap menghormati pendapat Pak Kyai walaupun pendapatnya tidak saya ikuti.
Terserahlah. Apakah tulisan ini dianggap sebagai tawashau bil haq atau cuma sekedar gerendengan biasa saja. Terserah.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews