Perjuangan Warga “Waduk Sepat” Kandas di Tangan Hakim PN Surabaya

Rabu, 4 April 2018 | 06:16 WIB
0
695
Perjuangan Warga “Waduk Sepat” Kandas di Tangan Hakim PN Surabaya

Pupus sudah harapan Dian Purnomo untuk mendapatkan “setitik” keadilan atas gugatan Praperadilan sebagian warga Dukuh Sepat, Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya. Harapan itu kandas di tangan Hakim Dwi Winarko, SH.

Pada Selasa, 27 Maret 2018, Hakim PN Surabaya itu menolak gugatan Praperadilan warga Dukuh Sepat atas Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Polda Jatim terhadap laporan pidana Pemalsuan Surat yang dilakukan Ir. Muh Adi Dhramawan, MEng, SE.

Sebagaimana dugaan tindak pidana Pemalsuan Surat yang dilaporkan oleh Dian Purnomo kepada Polda Jatim dengan Laporan Polisi Nomor: LPB/911/VIII/2016/UM/ Jatim pada 10 Agustus 2016 yang diduga dilakukan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya I itu.

Dugaan tindak pidana Pemalsuan Surat yang dilaporkan oleh warga diduga dilakukan Muh. Adi Dhramawan yang kapasitasnya selaku Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya I yang menerbitkan dan menandatangani Sertifikat Hak Guna Bangunan “Waduk Sepat”.

Sertifikat HGB Nomor 4057/Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya itu, Surat Ukur tanggal 21-12-2010 Nomor 641/Lidah Kulon/2010, Luas 59.857 m2 atas nama PT Ciputra Surya, Tbk.

Dus, akhirnya warga Dukuh Sepat kalah dalam praperadilan melawan Polda Jatim. “Hakim mestinya menilai kenyataan materill bahwa obyek Waduk Sepat tersebut masih ada hingga sekarang,” ungkap Subagyo, SH.

[caption id="attachment_13708" align="alignleft" width="400"] Dwi Winarko[/caption]

Tapi, Hakim Dwi Winarko malah melandaskan putusannya pada surat-surat Pemkot Surabaya pada 2008 bahwa lahan itu “bekas waduk”. Istilah orang Jawa, lanjut kuasa hukum Dian Purnomo itu, “Adalah micek atau memejamkan mata sehingga tidak melihat kenyataan.”

Padahal, katanya, secara teori hukum acara pidana, kebenaran yang dicari adalah kebenaran materiil (kebenaran sejati), bukan kebenaran formil. “Lha anehnya seorang pria tua tukang becak di depan Pengadilan ketawa berkata kepada saya, kalah duit ya kalah hehehe....”

Dian Purnomo adalah salah satu warga di Dukuh Sepat RT 004 RW 005, Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya. Ia bersama dengan warga lainnya saat ini sedang berjuang untuk mempertahankan Waduk Sepat yang ada di wilayah itu.

Waduk Sepat merupakan bekas Tanah Kas Desa (TKD) atau bondho deso yang berfungsi sebagai waduk yang dinamakan Waduk Sepat yang dimanfaatkan oleh masyarakat Dukuh Sepat, Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya.

Waduk itu berfungsi sebagai daerah resapan air pada saat musim penghujan, karena Waduk Sepat yang berada di wilayah Surabaya Barat adalah wilayah rentan terjadi bencana ekologis seperti banjir.

Sehingga, keberadaan Waduk Sepat dan waduk-waduk lainnya di wilayah Surabaya Barat berfungsi, antara lain untuk menjaga kestabilan muka air tanah, sehingga pada musim kemarau warga sekitar masih bisa menggunakan sumur yang ada sebagai sumber air bersih.

Yang kedua berfungsi sebagai limpasan air permukaan pada saat musim penghujan bisa tertampung pada waduk-waduk yang tersedia, sehingga mengurangi volume limpasan air yang mengalir ke saluran bawahnya, mengingat kapasitas saluran yang ada di hilir sangat terbatas.

Selain itu, fungsi Waduk Sepat bagi masyarakat sekitar yaitu sebagai perekat ikatan sosial dan budaya masyarakat, yang digunakan sebagai tempat kegiatan sedekah Waduk, istighosah serta pagelaran budaya.

Dian Purnomo dan warga di Waduk Sepat saat ini berjuang untuk mempertahankan Waduk Sepat, yang pada 2008 Pemkot Surabaya melakukan tukar -menukar dengan melepaskan Waduk Sepat kepada PT Ciputra Surya.

Setelah adanya tukar menukar tersebut pada 2010 Kantor Pertanahan Kota Surabaya I menerbitkan Sertifikat HGB Nomor 4057/Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri Kota Surabaya berdasarkan Surat Ukur tanggal 21 Desember 2010 Nomor 641/Lidah Kulon/2010, Luas 59.857 M2 atas nama PT Ciputra Surya.

Bahwa, atas penerbitan sertifikat pada 2010 tersebut, Dian Purnomo dan warga Waduk Sepat baru mengetahui adanya sertifikat ini pada 2011 setelah adanya eksekusi berupa pengosongan Waduk Sepat yang dilakukan PT Ciputra Surya dengan dasar adanya Sertfikat HGB itu.

Sertifikat HGB Nomor 4057 atas nama PT Ciputra Surya, yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Surabaya I terdapat manipulasi data fisik, yaitu yang tertulis atau diterangkan sebagai “tanah pekarangan”.

“Padahal dalam kenyataanya Waduk Sepat dari dulu hingga saat ini masih berfungsi sebagai waduk,” ungkap Subagyo. Dengan adanya keterangan yang tertulis dalam sertifikat itu yang tidak benar dan tidak sesuai dengan fakta, Dian Purnomo dan warga Waduk Sepat menuntut.

“Mereka menilai adanya dugaan tindak pidana pemalsuan surat/memalsukan surat dan/atau menggunakan surat palsu yang ada dalam Sertifikat HGB tersebut,” ujar Subagyo. Pada 10 Agustus 2016, Dian Purnomo melaporkan dugaan pidana itu kepada Polda Jatim.

Menurut Subagyo, tindak pidana pemalsuan surat, yakni memalsukan keterangan data fisik Waduk Sepat dalam Sertifikat Nomor 4057 atas nama PT Ciputra Surya, yang tertulis atau diterangkan sebagai “tanah pekarangan”.

Sebagaimana Laporan Polisi Nomor: LPB/911/VIII/2016/UM/JATIM pada 10 Agustus 2016. Atas Laporan Polisi itu, Polda Jatim menghentikan proses penyidikan perkara ini melalui menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

“SPPP/520.A/V/2017/Ditreskrimum, pada 29 Mei 2017 dan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan Nomor: S/Tap/71/V/2017/Ditreskrimum, pada 29 Mei 2017, dengan alasan bahwa perkara tersebut bukan merupakan tindak pidana,” ungkap Subagyo.

Dalam jawaban pada persidangan 19 Maret 2018, Polda Jatim menyatakan kedudukan dan legal standing Dian Purnomo tidak mempunyai alas hak/legalitas atas objek tanah Waduk Sepat serta dalam hal melaporkan tidak berdasarkan Surat Kuasa warga Waduk Sepat.

“Sehingga Pelapor/Pemohon tidak mempunyai hak untuk melaporkan dugaan tindak pidana sebagaimana laporan tersebut,” demikian mengutip jawaban Polda Jatim. Selain itu, menurut Polda Jatim, Dian Purnomo hanya menggunakan dasar fotokopi Sertifikat HGB Nomor 4057.

“Pemohon melaporkan dugaan tindak pidana pada 10 Agustus 2016, hanya menggunakan dasar foto copi Sertifikat HGB No 4057, sehingga foto copi tidak dapat dijadikan barang bukti dalam perkara ini,” tegas pihak Polda Jatim.

Menurut Polda Jatim, tindakan yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan sudah sesuai dengan prosedur dalam penerbitan Sertifikat HGB, berdasarkan dokumen-dokumen yang diajukan dalam penerbitan Sertifikat HGB tersebut yaitu oleh PT Ciputra Surya.

“Tindakan penghentian Penyidikan yang dilakukan oleh Polda Jatim sudah melalui tahapan-tahapan penyidikan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan tindakan tersebut sudah sesuai dengan prosedur,” lanjutnya.

Terkait dengan dasar laporan Dian Purnomo yang sertifikat berupa fotokopi surat itu, Polda Jatim telah meningkatkan proses penyelidikan ke penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP-Sidik/520/III/2017/Ditreskrimum pada 8 Maret 2017.

Terkait prosedur penerbitan Sertifikat HGB, berdasarkan dokumen-dokumen yang diajukan dalam penerbitan sertifikat HGB tersebut sudah sesuai dengan prosedur, kata Subagyo, Polda Jatim mencoba mengaburkan perkara ini.

“Mengaburkan dari tindak pidana menjadi hanya terkait dengan prosedur hukum administrasi penerbitan sertifikat, padahal substansi laporannya adalah berkaitan dengan dugaan tindak pidana berdasarkan Pasal 263 KUHP,” lanjut Subagyo.

Sehingga menurut Dian Purnomo apabila diuraikan berdasarkan unsur-unsur yang ada dalam Pasal 263 KUHP seperti perbuatan yang dilaporkan ke Polda Jatim telah memenuhi unsur-unsur seperti diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP tentang Tindak Pidana Pemalsuan Surat.

Tampaknya, itulah yang dipakai Hakim PN Surabaya dalam memutus perkara Praperadilan Dian Purnomo tersebut. “Yang dipakai hakim itu rujukan SK Walikota Surabaya Bambang DH yang menyatakan eks Waduk Sepat,” katanya.

Padahal sampai sekarang tetap waduk aktif sesuai peruntukanya sebagai pengendalian banjir. Tapi, “Anehnya BPN menyulap menjadi tanah pekarangan, ini kok dikatakan tidak ada unsur pidana,” lanjut Darno yang juga warga Waduk Sepat.

“Gimana hukum di negeri ini, apa benar sudah dikuasai dan dikendalikan kaum Borjuis? Kalau sudah begitu hukum tidak bisa jadi Panglima di negeri ini, ya rakyat kecil bikin hukum sendiri,” tegasnya pada 27 Maret 2018.

 Menurut Subagyo, dalam putusan itu, hakim berpendapat, pencatatan data tanah pekarangan dalam sertifikat HGB atas nama Ciputra Surya itu didasarkan pada dokumen tukar guling dan izin lokasi yang diterbitkan Pemkot Surabaya.

“Karena hakim membenarkan SP3 Polda Jatim yang berkesimpulan itu bukan perkara pidana pemalsuan surat. Tapi, kan justru itu tidak sesuai dengan kenyataan bahwa waduk itu masih ada hingga sekarang, tidak pernah menjadi pekarangan,” tegasnya.

Orang awam saja bisa menilai itu putusan yang benar-benar ngacau. Para saksi yang diajukan menerangkan bahwa Waduk Sepat itu tidak pernah berubah dan tetap waduk hingga sekarang ini.

Keterangannya sama sekali tidak disinggung dalam putusan. Putusan itu bukan saja ganjil dan menabrak asas hukum acara pidana yang mencari kebenaran materiil, tapi juga tidak lulus secara teori ilmu hukum.

“Ibarat skripsi ilmu hukum, isinya hanyalah hayalan bahwa seolah waduk itu tidak ada,” ujar Subagyo. Dan, upaya warga mempertahankan Waduk Sepat pun kandas di tangan Hakim PN Surabaya tersebut. Adakah langkah hukum lain yang bisa ditempuh?

***