Kalau membaca catatan sejarah, pemikiran pemikiran Kartini tentang Islam begitu banyak, tapi entah kenapa yang bagian ini jarang diangkat ke permukaan, dibandingkan pemikiran Kartini tentang persaman hak wanita, misalnya. Ratusan tahun lalu, saat baru berusia belasan tahun alias masih ABG, seorang Kartini sudah mampu berpikir kritis terhadap agamanya sendiri.
Segala kegelisahan dan curhat Kartini tentang kondisi umat Islam tang banyak dijumpainya saat itu, ia tuangkan dalam surat surat kepada dua org sahabatnya yang orang Belanda, Mrs Abendanon dan Stella.
Saya membayangkan, jika Kartini hidup saat ini, mungkin dia tinggal "curhat" saja di medsos tentang segala kegelisahannya, dan mungkin akan dengan mudah mendapatkan likes dari mereka yang setuju atau malah sebaliknya, mendapat komen semacam "agamamu apa sih?", "Kamu Islam bukan?" dari yang kontra atau sudah merasa paling beragama.
Otokritik (kritik terhadap diri sendiri, termasuk terhadap Budaya dan Agama sendiri) saat itu terbilang sangat tabu. Tapi di dalam surat-satunya, Kartini mengkritisi dan mempertanyakan banyak hal tentang femomena yang dijumpai di masyarakat, seperti mengapa orang Islam diharuskan menghapalkan kitab ayat-ayat Alquran tanpa memaknai isi dan artinya (karena di zaman Belanda, Alquran dilarang diterjemahkan ke dalam bahasa lokal).
Kartini juga mengkritisi Agama yang dijalankan hanya sebatas ritual saja, di sisi lain Agama juga sering dijadikan "alat" oleh sebagian orang untuk melakukan dosa.
Apakah bentuk otokritik dalam agama sendiri diharamkan? Dan dengan mempertanyakan banyak hal tentang agamanya sendiri, apakah lalu menjadikan Kartini seorang Muslim yang lemah Iman?
Padahal dalam banyak catatan sejarah, orang orang beragama yang mampu melakukan otokritik terhadap agamanya, akan terus melakukan pencarian menuju kebenaran Ilahi dengan menggunakan akalnya sendiri yang merupakan anugrah Tuhan yang luar biasa. Sedangkan orang orang yang menerima ajaran Agama hanya sebagai sekedar dogma adalah berbahaya.
Lalu dengan banyak melakukan otokritik terhadap Agamanya, menjadi "kurang Islami" kah Kartini?
Setiap orang mungkin punya jawaban masing-masing tergantung persepsinya. Tapi Sejarah telah mencatat, bahwa dalam hidupnya, Kartini telah mengamalkan dan menjiwai nilai nilai Islam yang substansial ke dalam seluruh perjalanan hidupnya, yang terwujud dalam segala ucapan (lisan/tulisan), perilaku, tindak tanduk dan karya baktinya untuk sesama, sepertt menolong begitu banyak orang di sekitarnya untuk ke luar dari kemiskinan dan kebodohan.
Kartini pula, yang mendorong seorang Kyai Soleh Darat, untuk menterjemahkan Alquran ke dalam bahasa lokal (bahasa Jawa), yang di kemudian hari menjadi cikal bakal diterjemahkannya Alquran ke dalam bahasa Indonesia.
Dalam hidupnya, Kartini telah menunjukkan bahwa keberanian dan kemampuan melakukan otokritik terhadap agama sendiri adalah sebuah proses untuk terus menemukan spritualitas dan kebenaran Ilahi. Otokritik Kartini terhadap situasi Islam saat itu, adalah pemikiran yang progresif dan jauh melampaui zaman di mana ia hidup, tapi juga masih relevan hingga kini.
Mungkin kalo Kartini hidup di Indonesia saat ini dan berani mengungkapkan segala otokritik terkait agamanya sendiri kepada publik, ia akan dengan mudah dilaporkan sekelompok orang dengan tuduhan "penistaan agama".
Untungnya Kartini tidak hidup di zaman now, yang keimanan sekaligus sensitivitasnya lebih tebal dibanding zaman old.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews