Beberapa waktu lalu, di banyak sudut Selatan kota Jogja terdapat banyak banner besar. Seperti biasa meminta sumbangan, kali ini untuk penduduk Ghouta. Ghouta? Kota yang nyaris tak saya dengar sebelumnya, misal dibanding Alleppo, yang saya kenal sangat dekat sebagai situs world heritage paling penting di Suriah. Kota yang hancur luluh lantak, sekaligus harta karun peradabannya yang telah habis dicuri dan dijual sebagai modal perang ISIS. Yang kelak akan tercatat sebagai sejenis perang "multinasional" paling brutal di abad XX.
Inilah perang yang campur aduk antara ideologi, agama, sosial, dan ekonomi yang paling menyedihkan di era global yang semestinya gampang sekali dicegah agar tak terjadi. Mudah dicegah, karena inilah buah politik "dua kaki, double standart" dari Amerika Serikat. Di belakang ia menciptakan monster teroris, membiayai dan mendidik ISIS untuk memerangi rezim yang tidak mau tunduk padanya. Namun di atas permukaan atas nama demokrasi dan perdamaian kawasan, ia memerangi dan menumpasnya seolah mereka iblis yang tak pantas ada di muka bumi.
Dalam konteks inilah Ghouta menjadi penting, karena inilah basis terakhir ISIS yang berhasil direbut dan ditaklukkan oleh sejenis pasukan multinasional lainnya. Ketika rakyat Suriah kembali bisa sedikit bernafas lega, di tengah puing-puing kehancuran peradaban mereka yang sebenarnya sempat menjadi contoh sukses akulturalisme, toleransi, dan kemakmuran di Timur Tengah. Hal yang tak bisa diciptakan oleh negara Arab manapun yang bahkan memiliki GNP yang jauh lebih tinggi.
Dalam hal ini, memiliki dua makna berbeda. Secara internal, sangat jelas bahwa sejelek-jeleknya opini yang ditabalkan pada Dinasti Al Assad, mereka sangat dicintai rakyatnya yang bersedia membela mati-matian. Secara eksternal, hal ini menjelaskan kenapa dibutuhkan "prajurit bayaran multi-nasional", yang berasal dari berbagai etnis di banyak negara.
Mula-mula mereka terpikat pada "mimpi peradaban baru (tapi rasa lama)", peradaban yang akan mengubah dunia menjadi lebih berkeadilan. Namun ketika mereka makin terdesak dan ketahuan belangnya, mereka mulai menipu publik dengan impian "peluang kerja dengan gaji menggiurkan dan jaminan sosial tinggi". Hingga terjadilah proses human trafficking, yang juga bisa tercatat paling memilukan.
Banyak wanita yang jatuh dijadikan budak sex, maupun laki-laki yang akhirnya menjadi sekedar "tameng peluru". Arab Saudi yang menjadi sponsor utama ISIS, satu hal yang paling absurd karena sebenarnya ia dikerjain AS untuk mendukung politik luar negerinya yang hegemonik itu akhirnya kewalahan. Sebuah "blessing in disguese, berkah terselubung", karena keuangan negaranya jadi berantakan, makin rapuh sehingga justru mendorongnya melakukan reformasi sosial-politik-budaya di negaranya.
Seorang pangeran yang saat ini masih berkuasa (karena banyak pangeran lain yang korup dan hedonis, sudah dirumahkan) mengatakan bahwa negaranya justru berkesempatan untuk keluar dari cengkeraman paham wahabisme yang sempit dan tekanan politik AS, berkat kasus ISIS di Suriah ini.
Sial, di negara asalnya wahabisme mulai dijauhi dan diperangi, di Indonesia justru mulai menunjukkan hidungnya, mulai berani berteriak-teriak: ganti ideologi, ganti baju, ganti presiden, intinya pokoknya pengen ganti suasana!
Lalu apa hubungannya dengan Ahok? Harusnya gak ada!
Peninjauan Kembali atau PK Ahok adalah upaya mencari keadilan, dengan novum baru bahwa ada kemungkinan kesalahan hakim dalam mengambil keputusan. Karena diambilnya keputusan tersebut dalam situasi kalut dan absurd tekanan massa yang kental mencampuradukkan politik dan agama. Sial pula Ahok, karena situasi pengajuan PK-nya juga pada situasi tak lebih sama.
[caption id="attachment_4006" align="alignleft" width="546"] Ahok (Foto: Liputan6.com)[/caption]
Namun dalam konteks eksternal, kali ini lebih internasional! Kekalahan ISIS di Ghouta membawa konsekuensi diekstradisikan para pejuang mereka dari Suriah ke negara asal mereka. Mereka ini terdiri dari bukan saja para "tenaga kerja kelas rendah", tapi terutama para combatan mereka. Combatan ini adalah prajurit lapangan, mereka yang biasa memegang senjata, yang sudah terbiasa membunuh manusia segampang menepuk lalat.
Mereka ini, yang secara psikologis sudah sangat sulit "di-manusia-kan" lagi, karena pengaruh ideologis yang sudah sangat kuat dan tentu saja gairah bertempurnya yang tinggi. Dan mereka inilah yang akan mengalir masuk, pulang lagi ke Indonesia secara resmi maupun tidak resmi.
Sial betul pemerintah Indonesia harus buang banyak uang dan energi untuk mengurus mereka, dengan harus bikin proyek de-radikalisasi. Tatkala keuangan negara juga gak bagus-bagus amat. Berdasar banyak kajian, mereka-mereka ini punya teman-teman potensial yang sekarang menjadi oposisi pemerintah!
Terdapat tiga lembaga yang dimungkinkan akan menjadi patron baru mereka: FPI, HTI, dan PKS. Tentu ketiganya (harus) tidak mengaku, mosok mau terang-terangan mengaku. Sayangnya banyak cerita untuk membuktikan hal itu (kapan ya nuliskannya, gak usah maksa dibuka sekarang ya).
Dalam konteks inilah, Artidjo Alkotsar dan kwan kawan yang memiliki integritas hukum yang baik itu, menunjukkan ketokohannya. Di mana ia tidak hanya menunjukkan bahwa keadilan dan kepastian hukum-pun harus berdimensi situasi sosial-politik masyarakat dan stabilitas keutuhan bangsa.
Sekali lagi Ahok harus bersabar dan untuk ke sekian kali berkorban. Karena bila dikabulkan, ia tentu akan menjadi amunisi yang sangat peka untuk mereka bergerak dan membakar lagi!
Sabarlah beberapa jenak lagi para Ahoker dan Piahok!
Tiga hari lalu saya membuat status dan video lucu-lucuan untuk ultah istri saya. Dari puluhan ucapan selamat yang indah dan sama lucunya, terselip sebuah komentar "salah kamar". Ia tiba-tiba berbicara panjang lebar tentang keunggulan khilafah. Tentu saja ini sangat annoying (baca: mengganggu). Ia lupa, bahwa organisasi-nya, HTI telah dilarang dan dibubarkan.
Hal sepele ini menunjukkan betapa sensitif dan frustasi-nya mereka saat ini. Perihal yang tentu saja akan disangkalnya!
Di sebuah diskusi kecil beberapa waktu yang lalu, saya katakan walau tampak damai dan tak ada hal-hal besar di permukaan. Sebenarnya saat ini, Indonesia memasuki masa yang disebut tintrim, mencekam!
Mei yang akan datang adalah 20 tahun reformasi yang dapat dianggap gagal itu. Tahun ini terjadi Pilkada di tiga daerah merah, karena selalu panas. Dan konon tahun depan bagi sebagian adalah "tahun wajib ganti presiden".
Bagi saya, nyaris tak ada sebuah silogisme, argumentasi logis apapun untuk bisa membuat mereka melihat realitas bergerak bersama mendukung pemerintahan yang sekarang. Tak akan terlihat betapa jujur dan tulusnya Jokowi bekerja, betapa ia bukan tipe pendendam, betapa ia tak punya agenda apa-apa kecuali bergerak memperbaiki!
Ia akan tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai orang yang memperbaiki, dan bukan (sekedar) membangun seperti yang sudah-sudah! Karena ilmu yang mereka (kaum "bani entahlan" ini) miliki sekarang tinggal "ilmu pokoke", pokoke manut sak karepe dewe!
Apakah saat ini ada bedanya dengan waktu-waktu lalu? Ada!
Sekarang di sekitar kita, tanpa kita suka dan sadari, telah hadir para combatan eks Suriah itu. Mereka tentu saja butuh medan baru untuk terus berperang!
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews