Probosutedjo Wafat dan Ceritanya tentang Supersemar

Rabu, 28 Maret 2018 | 17:31 WIB
0
814
Probosutedjo Wafat dan Ceritanya tentang Supersemar

Adik tiri Presiden kedua RI Soeharto, Probosutedjo, telah dimakankan di Kemusuk,  Yogyakarta. Ia meninggal dunia pada Senin, 26 Maret 2018 pukul 07.10 WIB di RS Cipto Mangunkusomo, Jakarta.

Pengusaha yang sukses di era Orde Baru ini, dalam buku biografiya, Memoar Romantika Probosutedjo: "Saya dan Mas Harto," karya Alberthiene Endah, menceritakan berbagai hal termasuk mengenai peristiwa G30S Oktober 1965 dan misteri hilangnya naskah asli Supersemar.

Jumat, 1 Oktober 1965, dini hari, dua orang mengetuk pintu rumah Panglima Kostrad Mayjen Soeharto di Jalan Agus Salim, Menteng. Keduanya datang untuk melaporkan bunyi rentetan tembakan di kediaman Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal AH Nasution.

Menerima laporan tersebut, Soeharto, yang baru tidur tak lebih dari satu jam, bergegas bangun. Mengenakan seragam Kostrad, dia langsung menuju Markas Kostrad di kawasan Gambir. "Tak biasanya Mas Harto berangkat ke kantor sepagi itu," kenang Probo, seperti dikutip Anekainfounik.net dari Detikcom, Senin 26 Maret 2018.

Pada Jumat dini hari itulah terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal dan satu perwira menengah TNI Angkatan Darat. Jenazah ketujuh Pahlawan Revolusi itu baru ditemukan tiga hari kemudian di sebuah sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai G30S itu kemudian menorehkan sejarah panjang bagi perjalanan republik ini.

Presiden Soekarno mengakhiri kekuasaannya dan kemudian digantikan Jenderal Soeharto. Setelah Soeharto akhirnya berkuasa selama 32 tahun dan baru turun pada 1998, muncul berbagai spekulasi atas peristiwa G30S. Ada yang menuding Soeharto tahu peristiwa tersebut dan bahkan berada di belakang tragedi berdarah itu.

Probosutedjo sebagai adik yang tinggal serumah dengan Soeharto mengaku memiliki kisah tersendiri atas G30S. "Ini catatan perasaan yang muncul karena saya melihat langsung, mendengar, dan menyerap apa yang dikatakan dan dikeluhkan Mas Harto tentang peristiwa itu," cerita Probo.

Menurut dia, Soeharto memiliki pengalaman dengan gerakan PKI sejak 1948. Saat itu Soeharto ikut menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Jadi, begitu PKI aktif kembali pada 1965 dan berusaha merapat ke Presiden Soekarno, Soeharto justru menjaga jarak.

Dia juga menjaga jarak dengan prajurit TNI, yang ketika itu diduga kuat memiliki hubungan dekat dengan PKI, seperti Kolonel Latief dan Letkol Untung bin Syamsuri. Sampai meletus G30S, Latief dan Untung selalu berusaha merapat ke Soeharto.

Namun, kata Probo, Soeharto selalu berusaha menjauhi mereka. Tercatat dua kali Latief menemui Soeharto sebelum G30S meletus, yakni pada 26 September dan 30 September malam. Pada Minggu, 26 September 1965, Latief menemui Soeharto di kediamannya.

Latief mencari tahu soal isu Dewan Jenderal. Padahal Soeharto menganggap isu tersebut tidak ada dan tak penting dibahas. Bagi Soeharto, isu yang lebih penting dibahas adalah soal ekonomi masyarakat yang kian sulit.

"Dalam beberapa kesempatan, Mas Harto mengatakan, kenapa orang-orang mempertanyakan hal yang tidak penting dibahas," kata Probo.

Pada Kamis malam, 30 September 1965, Latief berusaha menemui Soeharto, yang tengah menunggui Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) yang dirawat di RSPAD lantaran tersiram air panas. Menurut Probo, saat itu Latief tengah memata-matai Soeharto.

Soeharto baru meninggalkan RSPAD sekitar pukul 04.00, Jumat dini hari. Di saat hampir bersamaan, enam jenderal dan satu perwira menengah diculik dan dibunuh di Lubang Buaya.

Baru satu jam memejamkan mata, Soeharto dibangunkan dan mendapat laporan adanya aksi penculikan tersebut. Dia pun bergegas mengenakan seragam dan berangkat ke kantor. Lima hari dia tak pulang ke rumah.

Siti Hartinah (Tien Soeharto) khawatir terhadap keselamatan suaminya. Kepada Probo, Tien meminta dibuatkan sesajen. "Di tengah situasi tidak menentu itu, sempat terjadi sesuatu yang menggelikan. Mbakyu Harto adalah seorang muslimah yang menganut pula paham kejawen," kata Probo.

Hari itu, 2 Oktober 1965, Tien meminta dibuatkan sesajen. Ada beberapa syarat sesajen yang disiapkan seperti: kue-kue tradisional, kopi, teh, buah-buahan, dan bunga. Setelah semua prasyarat itu terpenuhi, Tien menghampiri Probo.

"Dik Probo, tolong carikan saya nasi kebuli. Saya perlu untuk sesajen. Saya was-was terus dengan kondisi Mas Harto," kata Probo menirukan ucapan Tien.

Sehari setelah sesajen dibuat dan doa dipanjatkan, keluarga mendapat kabar bahwa Pak Harto ada di Kostrad, mengendalikan situasi Jakarta pasca-G30S. "Mendengar itu, kami pun menjadi tenang," kata Probo.

Probo juga bercerita tentang Supersemar (Surat Perintah 11 Maret). Cerita ini persis sama dengan isi buku yang saya tulis, "Jenderal TNI Basoeki Rachmat dan Supersemar." Buku yang diterbitkan PT. Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo/ penerbit grup buku Kompas)  ini diterbitkan dua kali, pertama, tahun 1998 dan kedua, tahun 2008.

Apa yang dikatakan Probo persis sama dengan isi buku setebal 184 halaman ini. Khususnya dalam kepangkatan militer, almarhum Basoeki Rachmat sewaktu dipanggil Pak Harto dan diperintahkan pergi menemui Bung Karno di Istana Bogor bersama M Jusuf dan Amirmachmud, dikoordinir oleh Basoeki Rachmat yang waktu itu berpangkat Mayor Jenderal. Sementara M Jusuf dan Amirmachmud sama-sama berpangkat Brigadir Jenderal.

Hanya pernyataan Probo tentang pengetikan kembali dan distensil di Sekretariat Negara, di  buku yang saya tulis tidak ada. Tulisan Probo ini sekaligus mengisyaratkan bahwa Supersemar asli dibawa ke Sekretariat Negara. Di manakah surat asli itu sekarang? Kenapa yang beredar Supersemar palsu, ditandatangani di Jakarta.

Di halaman buku yang saya tulis halaman 73-74, mantan ajudan Basoeki Rachmat, Stany Subakir mengatakan surat asli Supersemar ditandatangani di Bogor, bukan di Jakarta sebagaimana Supersemar palsu yang beredar dan tersimpan di Arsip Nasional sekarang.

Tulisan pernah dimuat di wartamerdeka.net