Umrah dan Penipuan Berkedok Ibadah

Selasa, 27 Maret 2018 | 18:08 WIB
0
730
Umrah dan Penipuan Berkedok Ibadah

Beberapa hari yang lalu, seorang kawan baru pulang umrah bersama kurang lebih 150-an orang jamaah dan ikut rombongan travel yang berasal dari Magetan, Jawa Timur. Entah kenapa dirinya lebih memilih ikut bergabung dengan rombongan dari daerah ini, padahal dirinya tinggal di wilayah Tangerang Selatan, Banten. “Ikut gabung dengan kerabat saja dan harganya relatif lebih murah,” sebut kawan saya.

Rasionalisasi harga murah untuk umrah, sejauh ini memang menjadi pilihan masyarakat Indonesia, karena dengan harga yang sedikit miring, mereka mungkin saja memboyong sanak saudaranya untuk “beribadah” ke Tanah Suci Mekah. “Saya bayar cuma Rp22 juta, walaupun saya kecewa,” imbuhnya dengan menarik nafas dalam-dalam di hadapan saya.

Kekecewaan terjadi karena sejak keberangkatan ternyata pesawat yang mengangkut jamaah umrah harus transit terlebih dahulu di Singapura sehingga jamaah menunggu beberapa waktu untuk melanjutkan perjalanan hingga sampai di Jeddah.

Tidak hanya itu, tempat tinggal selama di Mekah dan Madinah, ternyata tidak sesuai yang dijanjikan pihak Travel, karena jarak yang terlalu jauh dengan masjid dan hotel yang kurang memadai. Anehnya, salah satu pengantar dari pihak travel justru harus rela tidak tidur di hotel dan memilih emperan masjid, karena konon biaya yang tadinya cukup untuk meng-cover seluruh jamaah ternyata kurang.

Saya rasa, dari sini kita semakin bertanya-tanya, lalu sebenarnya pembiayaan umrah itu yang dibebankan kepada setiap jamaah, rinciannya untuk apa saja? Tiket pesawat, hotel, katering mungkin adalah item terpenting dalam soal pembiayaan umrah. Lalu, apakah masih ada lagi? Ya, ternyata masih ada, karena biaya yang diambil oleh para “calo umrah” yang mendatangi para jamaah ternyata tidak sepenuhnya di setor ke pihak travel.

Lucunya, setiap jamaah yang didatangi para calo ini bervariasi harganya dan setiap jamaah selalu dinasehati, “Ini harganya sebenarnya tidak segini, tapi jangan bilang-bilang yang lain. Kalau ditanya bilang aja segini ya”, nasehat para calo kepada setiap jamaah umrah sesuai versi cerita kawan saya.

Sekelumit cerita diatas, barangkali yang menyebabkan mata rantai umrah “bodong” sulit diberantas, karena yang bermain dalam soal ibadah ini, tidak sekadar pihak travel, tetapi juga dimanfaatkan oleh para calo untuk mengeruk keuntungan dengan cara tidak halal. Mereka paham, bisnis ibadah ini telah menjadikan mereka kaya harta, hanya dengan bermodalkan cuap-cuap belaka.

Celah bisnis di bidang umrah sangat menjanjikan, karena melihat antusiasme masyarakat Indonesia yang memang getol “ibadah” sekalian travelling atau jalan-jalan. Siapa yang tidak tergiur umrah murah? Di saat antrian haji yang sedemikian horor karena harus menunggu puluhan tahun, umrah seakan menjadi jawaban singkat atas dahaga mereka pergi ke Tanah Haram.

[irp posts="2900" name="Apa Yang Bisa Kita Pelajari dari Kasus First Travel?"]

Cerita ihwal para pemilik travel umrah yang bergaya glamour bukan sekadar isapan jempol. Bahkan model bisnis ini seperti ide monarki dalam dunia politik, turun temurun kepada keluarga dan koleganya. Bukan saja bos First Travel yang bergaya hidup mewah, pemilik Abu Tours yang saat ini menghuni jeruji besi tak jauh jetset dengan para pendahulunya.

Entah apa yang ada dalam benak para penipu uang jamaah yang sedianya untuk beribadah ini, mereka justru lupa, bahwa mengantar tamu-tamu Allah jauh lebih mulia dan bernilai pahala yang tak ada batasnya, tanpa harus berpikir soal keuntungan pribadi sekalipun. Uang triliunan rupiah yang masuk kantong pribadi mereka, justru dimanfaatkan untuk mendulang bisnis lainnya atau sekadar melampiaskan shock culture bergaya hidup mewah, menyesuaikan dengan bos-bos lain pada umumnya.

Saya kira, mencuatnya kasus penipuan umrah yang diramaikan oleh First Travel, SBL, dan Abu Tours, hanyalah segelintir saja dari dana triliunan jamaah yang “ditilep” demi pemuasan nafsu serakah para pengelolanya. Hal ini karena banyaknya laporan dari para jamaah yang merasa dirugikan sehingga pihak kepolisian kemudian merasa bertanggungjawab untuk menyelesaikan.

Dapat dibayangkan, ketika puluhan ribu jamaah umrah harus menelan pil pahit, setelah dana yang mereka setorkan untuk ibadah, ternyata hilang begitu saja dan kecil kemungkinan dana itu seutuhnya kembali. Lalu, bagaimana jika tidak dilaporkan? Sesuai cerita kawan saya yang merasa dirugikan dan sekian ratus orang yang juga dirugikan, enggan melapor, karena bagi mereka melaporkan hanya akan memperpanjang masalah, bukan menyelesaikan masalah.

Hal ini, persis seperti yang juga dialami salah satu tetangga saya yang menjadi korban First Travel. Uang sekitar 16 juta yang sudah dibayarkan untuk umrah di perusahaan milik Andika-Anniesa, diyakini sebagai “sedekah” sehingga dirinya malas berjibaku mengurus tetek-bengek agar dana yang dulu disetorkan dapat dikembalikan.

Cerita ini pun hanya sekelumit dari sekian banyak jamaah umrah yang mungkin telah lebih dahulu menjadi korban penipuan berkedok ibadah, tetapi enggan mengurusnya karena sebagian menganggap ini sudah menjadi musibah. Kontras sekali kenyataan, dimana masyarakat yang ingin berumrah memang tujuannya beribadah, tetapi para pihak travel nakal justru memanfaatkannya sebagai ajang pengerukan keuntungan yang akan cepat membuat diri mereka kaya.

Saya sudah tak lagi terkejut dengan praktik penipuan berkedok ibadah ini, hanya saja menyayangkan masyarakat yang terlampau naif memilih travel yang biayanya murah, tetapi pada akhirnya bermasalah. Tiga tahun yang lalu, saya ditawari umrah oleh salah satu travel kecil yang mungkin tidak terlalu terkenal tetapi memberikan pelayanan yang cukup memuaskan. Proses dari mulai pendaftaran, pembayaran, hingga pengurusan visa, tak lebih dari 10 hari dan saya berangkat bersama 40 jamaah umrah dengan pesawat Saudia langsung Jakarta-Madinah.

[irp posts="9740" name="Setelah First Travel, Kini PT SBL Menipu 12.000 Calon Jamaah Umrah"]

Tak ada janji-janji muluk, atau ungkapan-ungkapan manis soal bagaimana nanti selama di Tanah Suci, hanya menjelaskan dalam satu kali pertemuan soal gambaran sejumlah kondisi yang harus diketahui para jamaah. Waktu itu, saya dikenai biaya umrah sekitar 2400 US dolar—sekitar hampir 33 juta rupiah—harga itu saya kira sangat masuk akal jika menghitung biaya tiket pulang-pergi, hotel, dan makan selama 9 hari di Tanah Suci.

Saat ini, masyarakat Indonesia seringkali tergiur dengan biaya umrah murah, padahal untuk beribadah seharusnya tidak berpijak pada soal untung-rugi. Umrah, tentu saja ibadah, bukan sekadar travelling atau hiburan semata sekadar ingin menapakkan kaki di Tanah Kelahiran Nabi. Belakangan ini, umrah menjadi tren kaum muslimin di negeri ini, dimana seakan-akan, jika belum berumrah, tidak lengkaplah status keislaman seseorang.

Hampir setiap hari—diluar bulan-bulan syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah—Mekah dan Madinah ramai dikunjungi jamaah umrah asal Indonesia, sampai-sampai hampir semua pedagang di Arab Saudi hafal bagaimana melafalkan dagangan mereka dengan berbahasa Indonesia. Jika ingin beribadah dengan khusyuk, berumrahlah secara wajar, dengan melihat biaya sewajarnya ke Tanah Suci.

Segala iming-iming harga murah, terlebih berangkat dengan jeda waktu tertentu, seharusnya dipahami bahwa mungkin saja didalamnya akan timbul masalah. Semoga kasus First Travel, SBL, dan Abu Tours menjadi pelajaran sangat berharga, sehingga kaum muslim tak lagi masuk perangkap para travel nakal yang menjalankan penipuan berkedok ibadah.

***