Bulog Desa Bikin Bangga, Bulog Negara Saja Tak Bisa Begini

Selasa, 27 Maret 2018 | 06:47 WIB
0
751
Bulog Desa Bikin Bangga, Bulog Negara Saja Tak Bisa Begini

Senin kemarin saya tengok kampung: di Magetan. Tepatnya ke desa Tegalarum. Masih 16 kilometer dari kota Magetan.

Tiba-tiba saya ingin ke makam ibu. Di desa tetangga, yang sudah masuk wilayah kabupaten Madiun.

Rumput liar menguasai makam itu. Sampai bisa untuk alas duduk saat tahlil di dekat pusara.

Meski rumah di tempat kelahiran sudah tidak ada tapi masih banyak keluarga di desa itu. Kami pun ngobrol tentang masa lalu. Terutama tentang ibu saya. Yang meninggal saat saya berumur 11 atau 12 tahun.

Tiba-tiba pula saya ingin ini: apakah mungkin masih ada orang yang menyimpan batik karya ibu saya. Maka orang-orang tua di desa kami sibuk mengingat-ingat: siapa yang dulu pernah meminta ibu untuk membikinkan batiknya.

Kesimpulannya: mereka minta waktu. Akan bertanya ke tetangga yang lebih jauh.

Kami sendiri tidak menyimpan batik bikinan ibu. Tidak mungkin.

Ibu hanyalah orang yang baru membatik kalau ada orang yang order. Itu pun yang memesan itu harus membawa kain putih sendiri. Umumnya kain mori.

Ibu juga tidak mampu beli malam, bahan yang kalau dipanaskan mencair, bahan utama batik. Ibu selalu minta sebagian upah dibayar di depan. Untuk beli malam. Dan soga; pewarna utama batik.

Ibu tidak pernah kekurangan order. Sepanjang hari duduk di pembantikan. Saya, yang masih kecil, sering bermain di antara kain yang sedang dibatik.

Kadang, dari balik kain, jari saya mengikuti garis yang baru dilewati canting berisi malam cair. Ibu pernah bilang, sering juga menyusui saya sambil terus membatik.

Semua yang pernah memesan batik pada ibu sudah meninggal. Kami harus menelusuri lewat keturunan mereka.

Terakhir ibu membatik kira-kira tahun 1962. Sebelum sakit. Perutnya membesar. Berisi air. Tetangga bilang ibu saya kena santet. Dibawa ke dukun. Opname di rumah dukun. Akhirnya meninggal.

Saya belum mengerti apa-apa.

Ternyata, seandainya pengetahuan saya saat itu seperti sekarang sakitnya ibu itu sepele sekali. Apalagi biayanya. Dokter Puskesmas pun bisa mengatasi.

Mengapa ibu tidak punya warisan batik karyanya sendiri? Biar pun selembar? Ibu tiap hari memang mengenakan batik. Tanpa celana dalam.

Begitulah di kampung saat itu. Tidak ada wanita beli celana dalam.

Tapi batik yang dipakai ibu selalu batik rombeng. Yang dibeli dari pasar loak.

Jangan dianggap ongkos membatik itu cukup untuk hidup. Selalu saja ketika batiknya belum selesai ongkosnya sudah habis.

Saya, sebagai anak kecil, juga selalu pakai sarung batik. Untuk ke masjid. Tapi juga selalu batik rombeng. Pernah saya sangat gembira mendapat sarung batik baru. Katanya, batik Lasem.

Tapi begitu dicuci bolong-bolong. Rupanya itu batik rombeng yang dibatik ulang. Tentu setelah bolong-bolongnya dilem. Maka gagallah pakai sarung baru pada Lebaran hari itu.

Pulang kampung kali ini saya juga ketemu banyak petani. Tentu mereka berkeluh kesah. Tapi saya hanya mendengarkan. Tidak bisa menjanjikan perbaikan apa-apa.

Yang hebat adalah ini: ada di antara penduduk desa di kecamatan Untoronadi yang bisa ikut mengatasi salah satu kesulitan petani itu. Saya dengarkan ceritanya dengan detil.

Saya anggap dia itu telah mau memerankan diri menjadi Bulog di desanya. Sekaligus menjadi bank tani yang diimpikan itu. Bahkan sekaligus menjadi dewa.

Namanya Irwansyah. Umurnya 53 tahun.

Cara yang dia tempuh: saat panen tiba, dia bersedia membeli gabah petani yang harganya lagi anjlok. Tapi tidak beli putus. Masih ada hak petani di gabah yang dibelinya itu.

Saat harga gabah sudah naik lagi, Irwansyah baru menjualnya.

Hasil jualan itu diperhitungkan begini: dipotong dulu uang sudah pernah diterima, dipotong pula biaya pengeringan. Kelebihannya dikembalikan ke petani.

Luar biasa.

Bulognya negara saja tidak bisa melakukan itu. Praktik yang dilakukan Irwansyah itulah yang oleh dunia modern disebut konsep resi gudang.

Konsepnya hebat. Tapi tidak ada yang menjalankannya. Irwansyah, orang desa Untoronadi itu, telah mengalahkan Bulog.

“Tapi saya hanya mampu membeli terbatas. Uang saya tidak banyak,” ujar Irwansyah.

“Saya hanya mampu menolong 40 petani di desa saya saja,” tambahnya. Dalam bahasa Jawa yang medok.

Di mana Irwansyah bisa dapat bisnis? Ternyata otaknya jalan: dia adalah penjual pupuk. Dan keperluan tani lainnya di desanya.

Dia tahu persis petani itu selalu ingin agar panennya segera menjadi uang. Tidak bisa menunggu harga baik. Tapi kalau dijual saat harga anjlok hasilnya tidak memadai.

Itulah problem hampir semua petani. Problem lama yang tidak pernah ada jalan keluar.

Apakah motif di balik kebulogan Irwansyah itu? Dia hanya ingin konsumennya loyal.

Dia ingin petani yang ditolongnya itu akan selalu beli pupuk dari kiosnya. Itu saja.

Semacam membuat ikatan batin dengan konsumen.

Ternyata Irwansyah ini orang Aceh. Ibunya Padang.

Bapak-ibunya sudah meninggal saat dia masih kecil. Lalu ikut neneknya. Buruh menguliti kelapa.

Irwansyah ikut membantu pekerjaan neneknya itu. Sambil jualan gorengan keliling kampung.

Lulus SD Irwansyah pamit ke neneknya untuk ke Jakarta. Naik kapal.

Info yang dia dengar: di Jakarta itu mudah cari uang. Terutama di Tanah Abang. Upahnya menguliti kelapa cukup untuk beli tiket kapal Pelni.

[caption id="attachment_13279" align="alignleft" width="525"] Dahlan Iskan bersaman Irwansyah berbaju putih (Foto: Diswat.id([/caption]

Di Tanah Abang Irwansyah ditolong seorang Tionghoa. Boleh tidur di rumahnya di hari pertama di Jakarta itu. Asal mau bantu pekerjaan rumah.

Tiap hari dia ikut ke Tanah Abang. Lalu punya kenalan-kenalan.

Bisa ikut jualan buku. Mulai punya uang. Bisa bayar kontrakan.

Irwansyah jualan apa saja yang lagi laku. Sambil tetap sekolah di SMP. Lalu STM.

Di dekat kontrakannya itu ada gadis yang juga mengontrak ruangan. Buruh di pabrik tekstil di Cimanggis.

Sering ada lelaki yang mengetuk pintu kontrakan gadis itu. Tapi gak pernah dibukakan pintu. Dia tahu lelaki itu tidak disukai sang gadis.

Suatu kali Irwansyah mencegat lelaki itu. Mengaku sebagai pacar sang gadis, meski sebenarnya belun kenal.

Singkat cerita, Irwansyah berkenalan. Lalu minta sang gadis pulang ke kampunya. Untuk minta ijin bolehkan jadi istrinya.

Boleh. Irwan pun mengawininya. Di kampung sang gadis: Untoronadi, Magetan. “Begitu susah saya mencari Untoronadi itu di mana. Saya belum pernah keluar dari Jakarta,” katanya.

Begitulah. Irwansyah jadi penduduk Untoronadi.

Melihat peluang jualan pupuk. Tapi dagang pupuk perlu modal besar. Dia putuskan cari modal: pergi ke Australia. Mau kerja apa saja. Dalam dua tahun harus bisa kumpulkan uang. Cukup untuk dagang pupuk di Untoronadi.

Itulah kisah sukses Irwansyah. Dari zero to hero. Beneran.

Latihan berjualan sejak kecil ternyata membuatnya bisa hidup sebatang kara di Jakarta. Bahkan kelak, di tahun 2018, bisa menjadi Bulog di desanya.

***