"In Memoriam" Dietje dan Pakde

Senin, 26 Maret 2018 | 14:17 WIB
0
11787
"In Memoriam" Dietje dan Pakde

Sebenarnya tidak banyak yang memahami bahwa ada peristiwa titik balik di mana Pak Harto punya kesempatan baik untuk dikenang sebagai Bapak Pembangunan secara hakiki. Di mana ia harusnya merasa cukup, dan tak lanjut lagi memaksakan dirinya terus berkuasa. Periode mana ketika ia berubah dari "Pemimpin Yang Baik", hingga tinggal diingat sebagai "Bapak yang Baik".

Peristiwa itu bukanlah sesuatu yang penting secara sosial-politik, walau sebagai sebuah skandal tetap saja ia menyedot perhatian yang sangat luar biasa pada masanya. Peristiwa yang sampai sekarang, bahkan beberapa media masih menganggap tabu untuk secara terang-terangan menyebut siapa saja yang terlibat secara jelas. Bahkan masih menggunakan "pasemon", si ini dan si itu, yang pernah jadi ini dan jadi itu. Jenis kebohongan, yang terus berlanjut, bukan saja atas nama sopan santun, namun terutama atas dasar ketakutan itu sendiri.

Peristiwa ini juga banyak memberi makna, setelah dikaji secara lebih mendalam, dengan kata kunci: "seandainya". Yah, seandainya saja bukan keputusan itu yang dipilih, seandainya saja bukan jalan itu yang ditempuh. Kasus ini menyangkut pembunuhan model cantik, sehingga ia dianggap pantas untuk dibunuh, bukan dari satu sisi tapi banyak sisi. Seorang perempuan yang kita anggap ia bisa membuat orang lain "karem". Karem, puas karena kenikmatan yang diberikannya. Namun sekaligus karam, tenggelam karena harus terlibat dengannya.

Baiklah kita dedah satu-persatu "seandai"-nya itu.

[caption id="attachment_13262" align="alignleft" width="413"] Pak De dan Dietje (Foto: Facebook.com)[/caption]

Seandanya satu: Dietje (nama lengkapnya Dietje Budiarsih, namun setelah menikah menjadi Dietje Budimulyono). Ia seorang foto model laris, yang dalam khazanah kultur Jawa ia dapat dianggap sebagai sejenis perempuan reinkarnasi Ken Dedes. Seorang wanita legendaris era Jawa Kuno yang meyimpulkan silang sengkarut antara kecantikan, kenikmatan, dan kekuasaan.

Ia simbol wanita yang dari luar tampak sederhana dan sangat bersahaja. Namun memiliki sorot mata tajam, dengan kulit kuning langsat dan bau tubuh harum nan memikat. Kekuatan terbesarnya konon (maaf) ada sinar terang yang muncul dari bagian kewanitaannya. Sehingga ia tidak saja menjadi perhatian namun juga selalu jadi rebutan.

Dietje secara tidak resmi adalah wanita simpanan Suwoto Sukendar (eks KSAU), namun ia kemudian diumpankan kepada Indra Rukmana (mantu Soeharto) untuk memuluskan proyeknya, setelah ia menjadi masyarakat sipil. Di sisi lain, Dietje tetap "ngobyek" melayani banyak pelanggan lain seperti misalnya Sudwikatmono. Bahkan tak kurang Mbak Tutut (istri Indra Rukmana) juga jatuh cinta.

Cerita cinta yang rumit ini, berakhir saat di dalam perutnya ada kandungan janin berumur dua bulan. Tidak jelas betul, siapa laki-laki yang dimintai pertanggungan jawab, hingga akhirnya ia dibunuh.

Masalahnya, jadi besar karena justru cara pembunuhannya yang sangat sembrono dan sembarangan. Ketika mayatnya "cuma" dibuang ke kebun Karet di Kalibata tak jauh dari rumahnya. Seandainya saja ia dilenyapkan tanpa jejak!

Seandainya kedua: Pakde (nama sebenarnya adalah Muhammad Siradjudin, lahir di Sumenep, 1932). Ayahnya, Manihotin M. Brojoturuno, seorang mantri polisi pada zaman Belanda. Ia sempat mengenyam pendidikan di HIS. Ketika revolusi pecah pada 1946, Pak De yang masih remaja berhenti sekolah, lalu menjadi tentara di depo batalyon Divisi Untung Surapati, Malang. Setelah keluar dari militer, ia berdagang namun gulung tikar dan berakhir sebagai seorang dukun.

Berdasarkan data-data yang terungkap di pengadilan dan berbagai invetigasi yang dilakukan. Ia memang sejak semula telah di-setting sebagai "orang yang disalahkan" sebagai pembunuh Dietje. Bukan saja karena, ia dianggap dekat dengan peragawati terkenal ini (sebagai penasehat spiritualnya), namun ia juga dikenal memiliki hubungan bisnis barang antik (tepatnya barang klenik) dengan Suwoto Sukendar. Masalahnya, Si "King Maker" tidak memperhitungkan kecerdasan (sebagai anak Polisi) dan ketabahannya saat ditindas (karena jelas ia biasa melakukan laku prihatin).

Sejak semula ia sudah tidak mau mengakui dan menolak semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya, dengan berbagai argumentasi logis. Walau tetap menjalani hukuman selama 13 tahun, ia dibebaskan begitu saja pada masa pemerintahan BJ Habibie tanpa pernah ia mengajukan grasi apa pun. Seandainya saja, bukan ia yang dipilih sebagai yang dikorbankan!

Seandainya ketiga: Peristiwa ini terjadi pada tahun1986, tepat 20 tahun setelah Soeharto memerintah. Angka 20 adalah angka kritis, pada jumlah yang sama Sukarno bisa diberhentikan oleh sebuah "kudeta merangkak". Suharto, sudah banyak diingatkan bahwa kasus ini adalah peringatan baginya. Pilihan untuk mundur dan meninggalkan jejak yang baik untuk dikenang oleh rakyat dan bangsanya. Atau melanjutkan pemerintahannya untuk sekedar melindungi keluarganya dan membesarkan bisnis anak-anaknya.

Sebelumnya, ia pernah "mengkhianati" saudara-nya sendiri: Sri Sultan HB IX (Wapres 1973-1978) yang konon akan gantian saling memerintah. Namun jangankan mengajaknya untuk jabatan kedua kali, ia lebih memilih Adam Malik sebagai penggantinya. Inilah awal mula terjadi "oposisi terselubung", yang kemudian membentuk apa yang mereka sendiri sebut sebagai Kelompok Seven-Up, yang kemudian berkembang menjadi Kelompok Petisi 50.

Ia telah diingatkan berkali-kali oleh kelompok sepuh seusianya yang sebenarnya pada awal Orde Baru berdiri, berperan besar mendukungnya dan menutupi segala sejarah kelamnya. Namun ia jalan terus, hingga pada titik balik Peristiwa Dietje ini. Di mana secara kasat, ia lebih membela kepentingan keluarganya, ia menjalankan 12 tahun masa selanjutnya hanya sebagai "Bapak Yang Baik"!

Pelajaran apa yang didapat oleh Keluarga Cendana: sejak peristiwa itu, tak terjadi lagi upaya "bersih-berish yang jorok dan sembrono". Konon bila terjadi kasus yang sama, mereka yang dianggap berkhianat atau membahayakan kepentingan mereka langsung dibuang ke kolam ikan. Kok cuma kolam ikan? Kolam ikannya besar sekali, seluas laut di Kepulauan Seribu, tempat Si Babeh menjalankan hobbynya mancing ikan.

Konon, sekali lagi konon menurut sahibul hikayat: saat ia memancing ikan, saat itulah ia menunjukkan kepada musuh-musuhnya mengenai resiko apa yang akan dihadapi manusia-manusia yang mengkhianatinya. Mereka yang akan berhenti sebagai makanan ikan.

Gitu kok dirindukan!

***

Editor: Pepih Nugraha